Senin, 19 Mei 2008

(89) Wiro "Anak Rimba Indonesia"
Penerbit: Liong, Semarang (1956)

SAYA membaca Wiro kira-kira mulai kelas tiga sekolah rakyat. Pada 1957, saya membaca komik itu sampai jilid 10. Saya menangis ketika satu per satu hewan sahabat Wiro tewas ditembak Jepang.

Saya dan teman-teman sekelas menganggap Wiro sebagai Tarzan Indonesia. Tapi, dibandingkan dengan Tarzan, menurut saya, Wiro punya kelebihan. Gambarnya bagus, seperti gambar orang Indonesia. Saya dan teman-teman merasa lebih akrab.

Waktu itu komik dalam negeri bisa bersaing dengan komik luar negeri seperti Tarzan, Roy Rogers, Phantom, Rip Kirby, Superman, atau Flash Gordon. Saya lupa apakah komik luar negeri menjelang akhir 1950-an dilarang atau tidak. Seingat saya, saat itu memang mudah mendapatkan komik dalam negeri.

Bambang Bujono, wartawan senior dan seniman.

(90) Keulana
Penerbit: Firma Harris, Medan (1959)

TAGUAN Hardjo tak asing bagi saya. Ketika berumur delapan tahun, saya membaca karyanya. Sepulang sekolah, saya sempatkan diri menyambangi taman baca Persewaan Indah di kawasan Pakualaman, Yogyakarta. Di situlah kliping komik Taguan Hardjo dari sebuah koran tersusun. Saya lupa nama korannya. Komik utuhnya sangat sulit didapat walaupun sudah diterbitkan secara utuh.

Sungguh inspiratif tokoh dalam komik Taguan. Pendekar itu menjadi teladan bagi saya. Bukan cuma gemar mengembara, kejantanan pendekar ditunjukkan melalui nilai-nilai kejujuran yang diajarkan.

Komik Keulana baru saya baca dua tahun belakangan. Saya tertarik meriset komik itu karena memang hebat. Bagi saya, komik Taguan ajaib. Seperti relief, dan panelnya (bagian cerita) selalu selesai. Ia memiliki kemampuan seni gambar hampir sempurna. Detail dalam melukis perkampungan serta karakter orang sungguh eksotis. Ada sisi romantis alam indah permai dan laga aksinya yang sadistis.

Seno Gumira Ajidarma, penggemar komik.

(91) Matinya Seorang Petani
Penerbit: Majalah Indonesia (1955)

DI tangan Agam Wispi, pesan politik atau ideologi tidak tinggal sebagai slogan-slogan mentah yang kehilangan daya seperti batu apung yang melayang ringan. Pesan politik bukan saja menjadi artistik, tapi juga menjadi lontaran batu granit tajam. Wispi adalah satu dari sedikit seniman Lekra yang mampu memadukan mutu karya dengan ideologi secara pas.

Di Lekra, perdebatan internal tentang bagaimana melahirkan karya realisme sosialis tak pernah kunjung henti. Wispi termasuk pemimpinnya di "lapangan", bersama tokoh seniman lain seperti Amarzan Loebis dan Putu Oka Sukanta.

Karya yang cuma politik atau ideologi tertentu sering kali ditampik di "lingkaran dalam", secara diam-diam atau terang-terangan. Misalnya, karya penyair dadakan dari kalangan pemimpin sering dipertanyakan kelayakan pemuatannya di lembar kebudayaan. Wispi salah satu yang melakukannya dengan lantang. Wispi menganggap ada kecenderungan penggampangan dalam menerapkan ideologi dan artistik dalam sebuah karya.

Intensitas kesenimanan Wispi mirip Chairil Anwar. Chairil pembaru, dan Wispi, yang dalam hal berpakaian jauh lebih necis ketimbang Chairil, juga pembaru.

T. Iskandar Thamrin, sastrawan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.