Senin, 12 Agustus 2002

Surat buat Bung Hatta

Oleh: Goenawan Mohamad 

Bung Hatta, kau bukanlah 100 tahun kesendirian. Percakapan antara kita, sebuah dialog dengan masa silam, adalah percakapan yang tak terhingga. Gajah pergi meninggalkan gading. Tapi ia tak memilih bagaimana gading itu diukir. Generasi datang dan pergi, membentuknya, menatahnya, dan menimbang-nimbangnya. Mungkin mencampakkannya. Seorang besar memperoleh arti karena beribu-ribu orang yang tak dikenal datang sebelumnya, bersamanya, sesudahnya.

Bukankah sebab itu sejarah berlanjut? Bukankah sejarah adalah kerja orang ramai yang namanya terlupakan? Kau ingat Surabaya, November 1945. Suasana tegang. Tentara Inggris, mewakili Sekutu yang menang Perang Pasifik, mendarat di Tanjung Perak, dan pertempuran terjadi dengan ribuan pemuda di kota yang tak mau menyerah itu. Komandan pasukan Inggris, yang tak ingin terlibat dalam konflik berdarah yang berkepanjangan, terpaksa memintamu datang dari Jakarta, bersama Bung Karno, untuk menengahi. Hari itu kau berada di atas jip Jenderal Hawthorn yang mengantarmu. Di sebuah tikungan, kau lihat seorang anak berumur sekitar 12 tahun tertidur, menyandang bedil. "That is revolution," kata Jenderal Hawthorn.

Karena Kasih Sepanjang Jalan

TAHUN baru 1908. Mohammad Hatta datang dari sekolah dengan menimang sebuah kapal-kapalan dari kaleng bekas-hadiah tahun baru dari Sinterklas di sekolahnya. Sepulang sekolah, ia mengajak sahabatnya, Rasjid Manggis, melayarkan kapal kecil itu di tebat kecil sembari menunggu jam mengaji di surau Inyiek Djambek tiba.

Di hari yang lain, waktu lowong Hatta diisi dengan menyepak bola rotan. Kapal-kapalan dan bola rotan adalah mainan yang membuat Hatta begitu riang di masa kecil.

Selebihnya, hari-hari Hatta adalah belajar. Sejak berumur lima tahun, siang hari ia belajar di Sekolah Melayu Paripat dan les bahasa Belanda pada Tuan Ledeboer di waktu petang. Alhasil, Hatta tak menemukan kesulitan ketika ia akhirnya bersekolah di Europeesche Lagere School, sekolah dasar khusus untuk anak-anak Belanda, di Bukit Tinggi. Orang-orang tua di Bukit Tinggi menyebut dia anak cie pamaenan mato-anak yang pada dirinya terpendam kebaikan, dan perangainya mengundang rasa sayang.

Ayahnya, Syekh Muhammad Djamil, meninggal tatkala ia bayi berusia delapan bulan, tapi Mohammad Hatta tak pernah kehilangan kasih sayang. Ia tumbuh dalam buaian ibu, kakek, nenek, dan paman-pamannya. Nenek Aminah yang keras mengajarkan keteguhan hati, sedangkan Kakek Ilyas Baginda Marah mendidik Hatta prinsip-prinsip dasar perniagaan.

Hatta, Buku yang Tak Pernah Tamat Dibaca

BENDI itu berhenti di depan Stasiun Pasar Bawah. Seorang lelaki menghampiri, berniat menumpang. Sais bendi menyebutkan ongkos. Lelaki tersebut menawar. Tapi harga tak kunjung cocok. Tak sabar meladeni, sais itu menghardik dengan suara keras, "Kalau tidak punya uang, jangan naik bendi. Jalan kaki saja." Calon penumpang itu, Wakil Presiden Republik Indonesia Mohammad Hatta, hanya tersenyum sembari berlalu. Cuplikan kisah 55 tahun silam ini dituturkan kepada TEMPO oleh Husein Abdullah, bekas Komandan Corps Polisi Militer Bukit Tinggi.


Pernah menjadi sepupu ipar Hatta, Husein menyaksikan dari dekat beberapa sisi kehidupan Hatta saat sang Wakil Presiden kembali ke Bukit Tinggi dan memerintah selama dua tahun (1947-1949) dari kota itu. Seabad Bung Hatta adalah ingatan tentang Bukit Tinggi. Hawa sejuk mengaliri kota ini dari Gunung Merapi dan Singgalang serta barisan pegunungan yang melingkarinya. Hatta memang beruntung. Dia lahir di kota ini, yang membelah Ngarai Sianok. Kaum tua-tua melukiskan keindahan ngarai yang subur itu sebagai tempat "desau air di celah-celah batu sungai terdengar seperti nyanyian musim panen." Di Desa Aur Tajungkang-kini menjadi bagian dari pusat Kota Bukit Tinggi-tegak sebuah rumah kayu bertingkat dua. Di sinilah Saleha Djamil melahirkan Mohammad Hatta pada 14 Agustus 1902.

Mohammad Hatta: Antara Ide Agama dan Kebangsaan

Oleh : Deliar Noer 

Syahdan Hatta, di suatu saat dalam hidupnya, mengemban ide agama (khususnya Islam) dan kebangsaan. Tetapi itu dimilikinya tanpa mempersoalkan perbedaan dan persamaan antara keduanya. Lahir di Bukit Tinggi, Agustus 100 tahun silam, Mohammad Hatta (1902-1980), proklamator kemerdekaan Indonesia (bersama Sukarno) dan wakil presiden pertama negara ini, adalah muslim yang taat beragama dan cepat pula berkecimpung dalam pergerakan nasional. Ia memang keturunan ulama besar di kampungnya di Batu Hampar, belajar mengaji di masa kecil dan waktu remaja pada dua syaikh ternama, Syaikh Mohammad Djamil Djambek di Bukit Tinggi dan H. Abdullah Ahmad di Padang. Ia bersekolah Belanda dari masa kecil, dan malah melanjutkan pelajarannya ke Belanda pada Sekolah Tinggi Ekonomi di Rotterdam.

Daerahnya, Minangkabau, memang termasuk daerah yang banyak menentang Belanda (ingatlah Perang Padri di abad ke-19 dan Perang Kamang tahun 1908). Di masa remaja ia sering ke kantor Serikat Usaha, menghimpun saudagar-saudagar bumiputra di Padang yang bersaing melawan pengusaha Belanda dan Cina. Rasa kebangsaan seperti ini diperkuatnya pula dengan mengikuti kegiatan dua tokoh Minang yang bergerak dalam Sarekat Islam, yaitu Haji Agus Salim dan Abdoel Moeis.

Perhelatan Sederhana untuk Si Bung

RUMAH panggung berlantai dua di jantung Kota Bukit Tinggi itu tak mengenal hari libur. Tiap hari, sejak pintu kayunya dibuka hingga jarum jam menunjuk ke angka empat di sore hari, saat Susilo, penjaganya, merapatkan pintu, ada saja pengunjung yang ingin menjenguk isinya. Tak banyak memang. "Sekitar 500 orang tiap bulannya," ujar Nyonya Susilo. Jumlah tamu tak pernah beranjak jauh dari angka itu, sejak replika rumah tersebut dibangun tujuh tahun silam, hingga sekarang, saat bangsa ini memperingati seratus tahun lahirnya penghuni rumah tersebut, negarawan Mohammad Hatta.

Mungkin karena lokasinya yang tenggelam di antara deretan bangunan toko baru yang kukuh dan mentereng? Atau barangkali disebabkan oleh tak adanya riasan untuk mempercantik rumah yang dinding sampingnya terbuat dari anyaman bambu itu? Bisa jadi. Tapi, bila Hatta masih hidup, ia tentu amat setuju dengan tindakan panitia peringatan satu abad Bung Hatta yang membiarkan rumah itu polos tanpa diberi gincu.

Peringatan satu abad Bung Hatta yang mengambil tema "Santun, Jujur, Hemat" ini amat selaras dengan sifat tokoh tersebut. Tidak ada hura-hura. Sayangnya, begitu "patuh"-nya panitia pada aspek hemat tadi, acara besar itu jadi kurang tersosialisasi. Ketika memutar mata di kota sejuk Bukit Tinggi awal Juli lalu, misalnya, wartawan TEMPO tak menangkap kegairahan penduduk untuk berpartisipasi dalam perhelatan besar guna memper-ingati seorang warganya yang dilahirkan 12 Agustus seabad lalu.

Dwitunggal dan Dwitanggal

KABAR itu menyengat Hatta dan membuatnya marah besar: Sukarno memutuskan menikahi Hartini. Ia tak dapat menerima sikap sahabatnya menduakan Fatmawati dan membuatnya "digantung tidak bertali". Hatta, kata penulis Mohammad Hatta: Biografi Politik, Deliar Noer, memang amat menghormati Fatmawati, tak hanya sebagai istri Sukarno tapi juga sebagai ibu negara.

Begitu marahnya Hatta kepada Hartini sehingga untuk waktu yang lama Hatta menolak menemui istri kedua Sukarno itu. Jika pada suatu acara Hartini hadir, Hatta buru-buru menghindar. Kalau Hartini ada di ruang VIP, Hatta beralih ke bilik lain. Bertahun-tahun mereka tak bercakap-cakap, hingga kematian Bung Karno kembali mencairkan hubungan keduanya. Begitulah Hatta. Berbeda dengan sahabatnya, yang bak Casanova, Hatta seperti kata Deliar adalah seorang puritein.

Di kalangan teman-temannya, Hatta dikenal tak pernah menunjukkan ketertarikan pada perempuan. Suatu ketika para sahabatnya di Belanda yang penasaran menjebaknya: mereka mengatur kencan dengan seorang gadis Polandia yang "menggetarkan lelaki mana pun". Tentu saja, si gadis telah dipesan agar menggoda Hatta dengan segala cara. Apa yang terjadi? Malam itu di kafe yang romantis mereka cuma makan malam, lalu berpisah. Ketika ditanya kenapa rayuannya gagal total, si gadis berkata putus asa, "Sama sekali tak mempan. Dia ini pendeta, bukan laki-laki."

Mohammad Hatta: yang Berumah di tepi Air

oleh: Ignas Kleden 

GENERASI pendiri republik ini, yaitu para bapak bangsa, dikenal sebagai orang yang sangat terdidik dan terpelajar. Mereka bisa disejajarkan dengan kaum terpelajar di negeri lain mana pun pada masa itu, baik di negara berkembang maupun di negara maju. Tapi pembawaan tiap orang telah membuat mereka masing-masing menghayati keterpelajarannya dengan cara yang khas, yang sedikit berbeda satu dan yang lainnya. Bung Karno, misalnya, boleh dikata salah satu orang yang paling banyak dan luas bacaannya pada masa itu, yang mengikuti perkembangan politik dunia dengan penuh perhatian dan gairah.

Namun yang mencolok pada dirinya adalah perhatian seorang politisi sejati tanpa minat khusus pada the state of the art dari perkembangan ilmu pengetahuan masa itu. Sjahrir adalah tipe intelektual dengan kecenderungan cendekiawan yang barangkali paling kuat di antara rekan seangkatannya. Seorang intelektual tidak mencari dan mengumpulkan pengetahuan sebagai tujuan utamanya, tapi menerjemahkan pengetahuan dan erudisinya menjadi sikap moral atau visi kebudayaan. Haji Agus Salim, sang poliglot, mempergunakan pengetahuannya untuk mengajari kader-kader politiknya di samping memanfaatkan kemahiran bahasa asingnya yang luar biasa itu untuk keperluan diplomasi.

Beburu Potret

DI manakah foto-foto Bung Hatta tersimpan? Bagaimana kondisinya sekarang? Begitulah sederet pertanyaan yang terlintas di benak Jaap Erkelens ketika pertama kali menyatakan bersedia ikut terlibat dalam pembuatan buku Mohammad Hatta Hati Nurani Bangsa. Buku ini, selain berisi sekilas tentang sejarah salah satu proklamator Indonesia itu, juga akan dihiasi foto-foto Hatta.

Jaap adalah direktur perwakilan Indonesia untuk Koniklijk Instituut voor Taal Land en Volkenkunde (KITLV), sebuah lembaga kajian bahasa dan antropologi milik Kerajaan Belanda. Dia sadar betul, mengumpulkan foto dokumentasi seorang tokoh bukanlah perkara mudah, apalagi di negara yang sistem arsipnya tak terlalu bagus seperti Indonesia.

Lebih dari itu, tak banyak orang atau lembaga yang menyimpan koleksi foto Hatta. Selain keluarganya sendiri tentunya, cuma agen foto Indonesia Press Photo Service (Ipphos), Yayasan Idayu, dan segelintir orang yang masih memiliki rekaman gambar semasa Hatta hidup. Itu pun dengan kualitas koleksi yang beraneka ragam. Ada foto yang masih terawat baik, tapi lebih banyak yang sudah mengelupas di sana-sini. Di Ipphos, misalnya, nasib koleksi foto Hatta boleh dikata merana.

Kisah Foto yang Menyimpan Magma

Seorang pemuda belia berpose di sebuah rumah bersama enam orang perempuan berkebaya. Sang wanita tua dalam posisi duduk, dan para perempuan muda berdiri. Sang pemuda-proklamator Mohammad Hatta-dengan pantalon dan jas warna terang, terlihat sehat meski wajahnya kelihatan capek.

Sepintas, tak ada yang istimewa pada foto itu. Tak banyak keterangan kecuali secuil catatan tangan, "Kebun Djeruk '37, Djakarta. Sebelum ke Digul tahun 1935." Tetapi inilah sebuah lembaran sejarah yang berkisah begitu banyak tentang pendiri negeri ini. Jaap Erkelens, pemimpin KITLV (Koninklijk Instituut voor Taal, Land en Volkenkunde) perwakilan Jakarta -lembaga bahasa dan kebudayaan Belanda yang akan menerbitkan buku tentang foto Hatta akhir Agustus ini- menyebutkan betapa pentingnya foto ini.

Ia melakukan riset serius untuk menemukan konteks sejarah foto itu. Ketika itu, September 1934, adalah bulan ketujuh Hatta ditahan di Penjara Glodok, Jakarta. Ia dianggap telah melakukan makar terhadap pemerintah kolonial. Setelah meletus pemberontakan di Banten, Jawa Barat, pemerintah kolonial menganggap tokoh semacam Hatta harus dibuang ke luar Jawa. Melalui kepala penjara bernama Baudisch, Hatta disodori formulir. Lazimnya selepas mengisi formulir itu, sang pesakitan segera dikirim ke luar Jawa. Hatta menolak mengisi daftar tersebut. Ia tahu nasib jelek itu sudah sampai. Tanpa pengadilan, dalam usia 32 tahun, ia harus menghadapi kehidupan yang baru sebagai orang buangan. Ia segera diasingkan ke Buven Digul.

Sebuah Penjara Tak Bertepi

PONDOK kayu beratap seng itu telah roboh, tiada bekasnya lagi. Dari reruntuhan batu fondasi kini tumbuh kampung kecil, agak minggir ke utara kota.
Tak berbeda dengan kampung-kampung lain di Tanah Merah, kumpulan rumah di Sokanggo itu berkelompok bagai sarang lebah, dipisahkan belukar tak terurus atau lorong-lorong ke arah kali. Sedikit di luar kampung, angin seperti mendesis, matahari berkilau pada sungai besar yang airnya kini kecokelatan. Udara terasa lembut dan segar.

Mestinya semanis itu pula enam atau tujuh puluh tahun lalu ketika tempat ini menjadi salah satu pusat perhatian dunia. Agak di kejauhan, asap membubung dari atap rimba-gelap yang dibakar...

Di tempat itulah, dulu, setiap sore selepas asar, Mohammad Hatta menanam sayur atau belajar bertukang, ditemani es jeruk lemon kesukaannya. Di kampung itu pula, mungkin di sebuah pojok yang kini dijejali kandang ayam, tokoh pergerakan Indonesia ini menghabiskan waktunya dengan melahap buku-buku filsafat, menggali kembali pelajarannya sebagai mahasiswa di Belanda, sekaligus mengusir kebosanan yang mematikan.

Beberapa Jam di Tanah Buangan

Di dalam bilik Cessna, gadis remaja itu duduk tak tenang. Ia sedikit gentar, tapi rasa ingin tahunya membuncah. Sebentar kemudian pesawat kecil itu meliuk, lalu terbang rendah di atas sungai cokelat yang membelah hutan raya.


Kali Digul! Tiba-tiba anak bungsu Mohammad Hatta, perempuan kecil di pesawat mungil itu, merasakan jantungnya berdetak makin cepat. Halida Nuriah Hatta tak pernah melupakan peristiwa itu. Ia masih 14 tahun waktu itu.

Hari-Hari Bersama Om Kacamata

Sebuah sore, 66 tahun silam, Teluk Neira teduh dan nyaman. Sekawanan bocah laki-laki sibuk berenang melawan ombak di kawasan yang dijuluki tempat matahari berlabuh ini. Des Alwi, 8 tahun kala itu, turut bergabung bertelanjang dada menikmati hangat air laut Neira.


Kesenangan terusik ketika petugas pelabuhan berseru mengusir anak-anak dari dermaga. Ini tanda ada kapal yang bakal berlabuh. Des dan kawan-kawan bergegas bersembunyi di bawah dermaga kayu. Sebentar kemudian sebuah kapal putih berbendera Belanda, Fommelhaut, merapat.

Roti dan Dongeng Arab di Klein Europeesch Stad

"Is Hatta Marxist?" 



TAHUN 1938. Setumpuk majalah Sin Tit Po yang dipesan Mohammad Hatta tiba di Banda. Hatta terkesiap. Sebuah karangan dengan judul provokatif, Is Hatta Marxist, dimuat bersambung di edisi April dan Mei. Penulisnya: Mevrow Vodegel Sumarah. Alamatnya: Besancon, Prancis.

Artikel itu menyerang tulisan Hatta: Enige Grondtrekken van de Economische Wereldbouw ("Segi-Segi Utama Ekonomi Dunia"), yang dimuat di Sin Tit Po edisi 6, 7, 8, dan 9. Hatta yakin Mevrow Sumarah adalah nama samaran. Ia curiga sang pengarang berdomisili di Jawa. Ia lalu membalas dengan risalah berjudul Marxisme of Epigonenwijsheid? ("Marxisme atau Kearifan Sang Epigon?").

Bersama Biko dan Zapata, Hatta Mengudap 'Kroketten' di Belanda

5 September 1921. Daun-daun kuning kecokelatan berserakan di jalan-jalan. Temperatur menukik turun ke kisaran belasan derajat Celsius saja. Di atas kepala, langit seperti jubah berwana kelabu yang menyelimuti sekujur negeri Belanda.


Meriahnya warna-warni bunga daffodil dan tulip yang mekar tiap April dan Mei hanya tinggal kenangan. Giliran musim gugur yang meraja saat ini. Pelabuhan Nieuwe Waterweg di depan mata. Angin selalu saja bertiup kencang di sini, di salah satu pelabuhan tersibuk di Belanda.

Kisah yang Tertinggal di Sudut Rotterdam

Tak ada terik pada siang itu-sebuah hari dalam musim gugur, September 1921. Angin dingin menelusup lewat sela-sela kancing jas seorang pemuda yang berdiri dengan pikiran berkecamuk di satu sudut Rotterdam.


Pemuda berusia 19 tahun itu bernama Mohammad Hatta. Sebagai mahasiswa baru di Rotterdamse Handelshogeschool-sebuah sekolah ekonomi bergengsi-ia mesti membeli sejumlah buku. Tapi dana beasiswa belum diterimanya.

Di Lereng Gunung Menumbing

SELEMBAR kertas itu sudah tampak lusuh. Tertempel pada sebuah bingkai kayu, dia digantung pada dinding sebuah kamar. Ada goresan tulisan tangan di situ, bunyinya antara lain: "Pemimpin berarti suri tauladan dalam segala perbuatannya.."

Nyaris tak ada yang istimewa kecuali jika pembaca melihat lebih teliti di bagian akhir deretan kalimat yang menunjukkan tanda tangan si penulis: Mohammad Hatta. Coretan tangan Hatta bertanggal 2 Juli 1949, dua hari sebelum dia meninggalkan rumah bersejarah itu.

Rumah itu terletak di Gunung Menumbing, dekat Mentok, Pulau Bangka. Di atas ketinggian sekitar 433 meter dari permukaan air laut, pemandangan di situ sangat indah. Hawanya sejuk. Hutan di sekeliling kaki gunung tampak hijau perawan. Bahkan sampai sekarang kawasan itu menjadi salah satu tempat ideal untuk tetirah dan berlibur.

Hatta tidak berlibur. Pada Desember 1948, Belanda menyerbu Yogyakarta, ibu kota Republik Indonesia kala itu. Pasukan Kompeni, yang tidak mengakui kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, menangkap Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Hatta.

Tamasya Sejarah bersama Hatta

JIKA masih hidup, dan diminta melukiskan situasi sekarang, Mohammad Hatta hanya akan perlu mencetak ulang tulisannya 40 tahun lalu:

"Di mana-mana orang merasa tidak puas. Pembangunan tak berjalan sebagaimana semestinya. Kemakmuran rakyat masih jauh dari cita-cita, sedangkan nilai uang makin merosot."

"Perkembangan demokrasi pun telantar karena percekcokan politik senantiasa. Pelaksanaan otonomi daerah terlalu lamban sehingga memicu pergolakan daerah. Tentara merasa tak puas dengan jalannya pemerintahan di tangan partai-partai."

Hampir tidak ada yang perlu diubah-kalimat demi kalimat, kata demi kata. Krisis politik, ekonomi, dan konstitusi. Krisis serupa yang ditulis Hatta itu kini menghantui Indonesia lagi, setengah abad setelah Megawati Sukarnoputri menyimpan boneka mainannya, Amien Rais tak lagi bermain gundu, dan Jenderal Endriartono Sutarto menukar ketapel karetnya dengan senapan M-16.