Senin, 08 November 2010

Misteri Surat Untuk Sukarno-Hatta

"SAYA, sebagai perwira muda, saat itu sadar tidak akan melibatkan diri ke dalam politik," kata Soeharto dalam otobiografinya, Soeharto: Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya. Ketika itu, perseteruan antara Perdana Menteri Mohammad Hatta dan kubu Front Demokrasi Rakyat, koalisi kekuatan "sayap kiri" di Indonesia, semakin runcing sejak Agustus 1948. Sedangkan Letnan Kolonel Soeharto-menurut buku tersebut-membaca situasi, mengamati setiap kubu, dan menganalisisnya dengan cermat.

Aroma perang saudara sudah begitu pekat di udara setelah pasukan Brigade 29 yang pro dengan tulang punggung Partai Komunis Indonesia, melucuti senjata pasukan Siliwangi di Madiun, Jawa Timur, pada 19 September 1948. Presiden Sukarno dan Musso, Pemimpin Partai Komunis Indonesia saling menyerang melalui pidato maupun tulisan mereka. "Bagimu adalah pilihan antara dua: ikut Muso dengan P.K.I.-nja jang akan membawa bangkrutnja tjita-tjita Indonesia Merdeka-atau ikut Sukarno-Hatta," kata Sukarno dalam pidatonya hanya beberapa jam setelah pelucutan senjata.

Soemarsono: Kami Tidak Memberontak

KINI dia 89 tahun. Tapi ia bicara dengan tegas, jelas, sesekali meledak-ledak. Ingatannya terjaga baik, ia bercerita dengan runtut dan mendetail. Keriput di wajah, tubuhnya yang terlihat ringkih, tak kuasa menghalanginya bicara panjang lebar tentang sejarah pergerakan Indonesia. Ia menilai telah terjadi pemutarbalikan sejarah, dan itu tak adil baginya.

Soemarsono, mantan Ketua Badan Kongres Pemuda Republik Indonesia, juga bekas pemimpin Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo), menganggap Peristiwa Madiun adalah bagian penting dari sejarah hidupnya.

Dia berperan penting mengkoordinasi gerak cepat empat batalion Brigade 29, pasukan ABRI yang pro-Partai Komunis Indonesia, pada dinihari 18 September 1948. Dalam beberapa jam, Soemarsono dan pasukannya melucuti pasukan Siliwangi, Brimob, dan polisi militer di barak-barak mereka sendiri.

Sebagian besar anggota Brigade 29 memang eks anggota Pesindo. Soemarsono bersama pasukan ini bertarung hidup-mati mempertahankan Surabaya dari serangan Inggris, pada 10 November 1945. "Meski bukan komandan di pasukan itu, pengaruh saya besar," kata Marsono, begitu dia biasa disapa, sambil tertawa.

Setelah Pistol Menyalak Tiga Kali

KENDATI sudah bertahun-tahun tinggal di Belanda, Nugroho, 85 tahun, masih mengingat rumah besar yang berada paling dekat dengan jalan raya di kompleks Pabrik Gula Rejoagung di Madiun, Jawa Timur. Ia bercerita, 62 tahun lalu kompleks pabrik itu menjadi markas Badan Kongres Pemuda.


Nugroho bekerja di bagian penerangan badan itu. Ia ingat saat itu Rejoagung di bawah kendali Soemarsono yang ditugasi Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo) menjadi Ketua Badan Kongres Pemuda Madiun.

Mitos Amerika di Kaki Lawu

 DI ketinggian seribu dua ratus meter, telaga itu membentang. Airnya tenang, dengan kedalaman hampir tiga puluh meter. Hawa sejuk senantiasa merapat di sekitarnya. Gunung Lawu yang menjulang kukuh terlihat menancapkan kakinya. Keindahan panoramanya membuat wisatawan rajin berlabuh di Sarangan, Kabupaten Magetan, Jawa Timur. Seperti memenuhi hasrat turis, banyak hotel dan vila mengitari telaga seluas tiga puluh hektare ini.

Dulu pun orang-orang Belanda membangun rumah dan hotel di kawasan Sarangan. Tapi, pada saat Agresi Militer Belanda Kedua, akhir 1948, tentara Republik membakar bangunan-bangunan itu. Sebagian sisa bangunannya masih terlihat hingga kini.

Di sini pula, tersimpan rumor tentang pertemuan pemerintah Amerika dengan pemerintah Indonesia. Satu pertemuan yang oleh pihak komunis diduga ikut mempengaruhi penyingkiran orang-orang kiri oleh Kabinet Hatta dalam Peristiwa Madiun pada September 1948.

Laga Pengalih Sebelum Madiun

BAKDA isya, Kolonel Sutarto sampai di depan rumah ibunya di Kampung Timuran Solo. Malam itu, 2 Juli 1948, komandan Pasukan Panembahan Senopati (KPPS) ini bergegas pulang begitu menerima kabar ibunya sakit keras.

Begitu paniknya, Sutarto jadi tak awas terhadap sekitarnya. Turun dari jip yang membawanya dari markas, bekas Shodancho Daidan Peta di Wonogiri itu disambut tembakan dari kegelapan. Dor... dor.... Sutarto ambruk. Dua peluru menembus belakang tubuhnya. Ia tewas bersimbah darah.

Insiden itu memicu beragam kecurigaan. Selain pelakunya tak tertangkap, korbannya adalah panglima sebuah kesatuan tempur paling besar dan berpengaruh di wilayah Surakarta.

Belakangan muncullah desas-desus. Di lingkungan prajurit Senopati beredar kabar, Sutarto ditembak anggota pasukan Siliwangi, anak buah Letnan Kolonel Sadikin. "Karenanya, anggota pasukan Senopati diperintah mencari tahu," kata Mayor Slamet Rijadi dalam buku biografinya, Dari Mengusir Kempeitai sampai Menumpas RMS.

Suatu Malam di Proklamasi 56

LELAKI yang mengenakan safari warna gelap itu berjalan sendirian. Suatu hari pada Januari 1948, sekitar pukul 19.00 WIB, dengan raut wajah kusut dia mendekati beberapa pemuda yang tengah duduk santai di belakang rumah Presiden Sukarno di Jalan Proklamasi 56, Pegangsaan, Jakarta Pusat.

Rumah ini memang menjadi tempat bersantai para pejabat negara dan aktivis kemerdekaan di malam hari. Setelah menyapa sekadarnya, dia mengeluarkan sebotol kecil wiski dari kantong celana, kemudian menenggaknya. Lelaki itu adalah Amir Sjarifoeddin, Perdana Menteri Indonesia yang beberapa hari sebelumnya "dipaksa" meletakkan jabatan.

Sebulan Bersama Oude Heer

RAPAT Politbiro Partai Komunis Indonesia, Agustus 1948, adalah panggung pertama bagi Musso setelah 21 tahun menghilang dari Republik. Pada 1927 ia kabur ke Moskow akibat terlibat pemberontakan PKI 1926 yang dapat dipadamkan Belanda. Pada 1935 ia pernah menyusup ke Surabaya untuk menghidupkan kembali PKI. Tapi ia tak berhasil.


Sejak itu PKI menjadi partai bawah tanah yang melawan fasisme secara lunak. PKI tak menggalang massa buruh dan tani, tapi menyusup ke pemerintah dan organisasi lain. Musso menilai cara itu tak efektif.

Dalam gagasan barunya, "Jalan Baru untuk Republik Indonesia", Musso menganggap PKI tidak mengakar kuat pada buruh, tani, pemuda, dan tentara. Kader PKI terpecah akibat disusupkan ke pemerintah atau partai lain. Sosialisasi ideologi partai lembek karena tidak dilakukan secara terbuka. Sebagai partai bawah tanah PKI ketika itu lebih banyak berlindung di balik Front Demokrasi Rakyat (FDR).

Proklamasi Dini di Madiun

"Madiun sudah bangkit 
Revolusi sudah dikobarkan 
Kaum buruh sudah melucuti polisi dan tentara Republik 
Pemerintahan buruh dan tani yang baru sudah dibentuk"

MELALUI Radio Gelora Pemuda dan Radio Republik Indonesia, pidato Ketua Badan Kongres Pemuda Republik Indonesia Soemarsono memecah keheningan pagi di Kota Madiun, Jawa Timur, pada 18 September 1948. Suasana mencekam merasuk hingga ke sudut-sudut kota. Pasukan Soemarsono menguasai semua gedung vital dan kantor pemerintahan. Mereka melucuti tentara dan polisi.

Soemarsono menyatakan gerakan itu upaya membela diri. Maraknya penculikan terhadap tokoh Partai Komunis Indonesia di Yogyakarta dan Solo telah menjalar ke Madiun. "Apalagi ketika itu berkeliaran pasukan gelap dengan lencana tengkorak," katanya dalam perbincangan dengan Tempo, Oktober lalu.

Dua hari sebelum peristiwa itu, Soemarsono bertemu dengan Musso dan Amir Sjarifoeddin di Kediri untuk melaporkan kondisi Madiun yang semakin genting. Mendapat laporan itu, Musso dan Amir kompak menjawab, "Bertindak! Lucuti saja pasukan yang menculik itu."

Sapu Bersih Pasca-Madiun


KABAR itu tiba di Yogyakarta menjelang petang pada 18 September 1948. Isinya gawat: Partai Komunis Indonesia, dipimpin Musso, melancarkan aksi pemberontakan di Madiun, Jawa Timur. Menjelang magrib, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Ali Sastroamidjojo dan Residen Surakarta Sudiro menemui Kepala Staf Operatif Markas Besar Angkatan Perang Republik Indonesia Kolonel Abdul Haris Nasution di rumahnya. "Presiden memanggil saya," kata Nasution, seperti dalam bukunya Memenuhi Panggilan Tugas.

Nasution kemudian menemui Presiden Sukarno di Gedung Agung-sebutan Istana Kepresidenan Yogyakarta, yang terletak di pusat kota. Presiden didampingi Menteri Koordinator Keamanan Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Ketika itu Panglima Besar Jenderal Sudirman masih berada di Magelang. Menurut Nasution, Presiden memintanya membuat konsep tindakan yang akan diberlakukan sebagai keputusan presiden.

Meniti Jalan Radikal

DISKUSI tiga tokoh komunis itu berlangsung alot. Hari itu, pada suatu siang Maret 1948, Paul de Groot, Musso, dan Soeripno bertemu di Praha, Cekoslovakia. De Groot merupakan Sekretaris Jenderal Partai Komunis Belanda. Adapun dua nama terakhir tokoh komunis Indonesia.


Pertemuan itu dilakukan untuk merumuskan strategi baru gerakan komunis Indonesia. De Groot, dalam pertemuan itu, menghendaki Indonesia tetap menganut garis front rakyat yang lebih kooperatif. Adapun lawan diskusinya tak sependapat. Musso ingin komunis Indonesia memakai garis perjuangan radikal. Ia menolak gagasan rekannya dari Belanda itu, yang dinilai terlalu "lembek".

Kembalinya Sang Komunis Tua

PESAWAT amfibi Catalina itu mendarat di rawa-rawa Kecamatan Campurdarat, Kabupaten Tulungagung, Jawa Timur, pada 10 Agustus 1948. Pada masa itu, rawa-rawa luas di dekat bendungan Niyama itu memang sering menjadi titik pendaratan pesawat yang membawa tamu-tamu rahasia untuk Republik.


Dua pria beriringan keluar dari pesawat. Seorang pria belia berperawakan tinggi ramping ditemani seorang pria setengah baya bertubuh gempal dengan wajah keras. Yang lebih muda bernama Soeripno, Kepala Perwakilan Republik Indonesia di Praha, Cekoslovakia. Adapun pria di belakangnya mengaku bernama Soeparto, sekretaris pribadi Soeripno.

Di tepi rawa-rawa, sebuah mobil menanti. Menurut sejarawan Belanda, Harry Poeze, mobil penjemput hari itu adalah milik pentolan Pemuda Sosialis Indonesia, Soemadi Partoredjo. Seperti dikutip dari buku Poeze, Verguisd en Vergeten, Tan Malaka, de linkse beweging en de Indonesische Revolutie, 1945-1949, mobil itu dipilih karena kondisi keempat bannya yang masih baik.

Tak lama berbasa-basi, rombongan segera melaju pergi. Mereka mengarah ke Solo, Jawa Tengah. Di sana, Gubernur Militer Wikana-seorang tokoh Partai Komunis Indonesia terpandang-sudah bersiap menyambut dua tamu dari jauh itu.

Senin, 16 Agustus 2010

Kartosoewirjo

Oleh: Bahtiar Effendy 

SEKARMADJI Maridjan Kartosoewirjo adalah tokoh menarik. Dari segi nama, penilaian subyektif saya mengatakan figur ini tidak memiliki Islamic credential yang kuat. Demikian pula jika dilihat dari sisi penampilan. Potret dirinya, seperti tampak dalam buku Cornelis van Dijk yang berjudul Darul Islam, tidak mengesankan sebagai santri dalam perspektif Clifford Geertz. Foto itu bahkan lebih tampak berkarakter abangan.

Kesan “nonsantri” ini diperkuat dengan asal-usul sosialnya yang berspektrum priayi-abangan. Ayahnya adalah, menurut Van Dijk, “mantri penjual candu, seorang perantara dalam jaringan distribusi candu siap pakai yang dikontrol dan diusahakan pemerintah”. Dan sekolahnya pun sekuler: Inlandsche School der Tweede Klasse, HIS, ELS, dan kemudian NIAS-sekolah dokter Jawa.

Menariknya, warna nonsantri itu tidak muncul dalam pembicaraan mengenai Kartosoewirjo. Sebaliknya, figur ini justru dikenal sebagai bagian penting dari pergerakan Islam, khususnya dalam kaitannya dengan gagasan dan eksperimen negara Islam.

Relevansi Darul Islam untuk Masa Kini

Oleh: Sidney Jones

BANYAK yang bisa kita pelajari dari sejarah Darul Islam yang ada relevansinya untuk Indonesia sekarang ini -dan bukan saja tentang bagaimana suatu gerakan radikal bisa menyesuaikan diri dengan perubahan zaman dan melahirkan suatu generasi baru. Ada pelajaran juga tentang akibat buruk saat ketidakpuasan di daerah diabaikan oleh pusat; bahayanya memanfaatkan kelompok Islam garis keras untuk kepentingan politik; bagaimana pentingnya ikatan lintas generasi sehingga masa depan anak-anak anggota kelompok ekstrem harus diperhatikan; dan bagaimana harapan untuk daulah islamiyah tetap hidup.

Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo di Jawa Barat, Kahar Muzakkar di Sulawesi Selatan, dan Daud Beureueh di Aceh menjadi pahlawan untuk daerah mereka masing-masing. Setiap tokoh memimpin suatu pemberontakan melawan Republik atas nama DI, setiap orang membayar mahal atas perannya masing-masing, dan setiap orang menjadi sumber ilham untuk gerakan baru-pengaruh ketiganya masih terasa sampai hari ini:

Kartosoewirjo, yang memproklamasikan Negara Islam Indonesia (NII) pada 1949, ditangkap pada 1962 dan kemudian dieksekusi oleh regu tembak; banyak di antara ajudannya yang top diberi amnesti dan dana untuk kembali hidup seperti warga biasa dalam semacam program “deradikalisasi” zaman dulu. Sampai hari ini, dia menjadi inspirasi untuk semua kelompok, baik yang memilih jalan kekerasan maupun tidak, yang ingin mendirikan negara Islam, termasuk Jamaah Islamiyah (JI), Ring Banten, dan banyak kelompok sempalan lain.

Dua Tahap Revolusi


TAK banyak buku atau risalah yang ditulis Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo. Selama 13 tahun bergerilya di hutan-hutan Tasikmalaya, ia memang membawa mesin tik sebesar meja. Tapi ia hanya menulis pikiran-pikirannya tentang cita-cita mendirikan Negara Islam Indonesia dalam bentuk pedoman dan artikel pendek, yang dimuat koran Fadjar Asia pada 1930-an.

Karena itu, meski ada tujuh buku yang menghimpun buah pikirannya, setiap buku menyuarakan hal sama. Sementara Soekarno atau Tan Malaka merumuskan ideologinya secara runtut, bahkan lebih dari rumusan traktat akademik, tulisan-tulisan Kartosoewirjo lebih seperti propaganda. Kalimatnya lincah meski dengan nada rendah.

Surat Perpisahan dari Johor Bahru

TIBA-TIBA ia balik badan. Ajengan Masduki di depannya ia tinggalkan. Hadi Surya lari, menghidupkan motor bebek, lalu memacunya ke luar desa. Surat dalam amplop putih yang sedianya hendak disampaikan kepada Imam Darul Islam itu masih ia bawa. "Enggak tega saya setelah melihat dia," ujar Hadi, kini 47 tahun, saat ditemui di rumahnya di Bandung tiga pekan lalu.


Hadi masih ingat, pada Februari 1995, ia diutus Abdurohim Toyib, pemimpin Darul Islam Jawa Tengah, menyampaikan surat untuk Ajengan Masduki. Ketika itu, Hadi komandan Darul Islam Wilayah Semarang. Mengendarai sepeda motor dari Solo, ia menuju Desa Beji, Purwokerto, Jawa Tengah, tempat tinggal Ajengan setelah lari dari asalnya di Cianjur, Jawa Barat.

Pasang-Surut Pesantren Darul Islam

RENCANANYA, menara Masjid Rahmatan Lil Alamin di kompleks Pesantren Al-Zaytun akan tegak 145 meter. Tapi hingga kini tingginya baru setengahnya. Marmer Cina dan Spanyol untuk pelapis tembok menara sampai saat ini belum tersedia.


Pembangunan pondok pesantren di Desa Mekarjaya, Kecamatan Haurgeulis, Indramayu, Jawa Barat, ini sebenarnya sudah dimulai pada 1996 oleh pendirinya, Syekh Abdussalam Panji Gumilang. Tiga tahun kemudian, pesantren ini diresmikan Presiden B.J. Habibie. Tapi proyek di atas lahan 1.200 hektare itu belum berhenti. Cuma, prosesnya tersendat-sendat lantaran biaya mulai menipis. "Uangnya sudah seret karena pengikutnya tak sebanyak dulu," tutur Sofwan, bekas juru warta di media milik Ma'had Al-Zaytun.

Negara Setengah Hati

DIKEPUNG hamparan lahan persawahan yang sejuk sepi, Babakan Cipari menyimpan bara. Di kampung berjarak 20 kilometer dari Kota Garut, Jawa Barat, itu hidup sekelompok orang yang tak mengakui Republik Indonesia.


Sensen Komara, 46 tahun, pemimpinnya. Dia imam atau panglima tertinggi bagi kelompok-tak lebih dari 20 orang-yang mengklaim menghidupkan kembali Negara Islam Indonesia (NII), yang pernah diproklamasikan Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo pada 7 Agustus 1949 atau 12 Syawal 1368 Hijriah. "Saya hanya meneruskan perjuangan Bapak," kata Sensen.

Jihad Sebatang Korek

Komando Jihad menjadi awal kebangkitan sekaligus perpecahan pentolan DI/TII. Intelijen menggembosinya dari dalam. 


PANGGILAN dari kantor Pelaksana Khusus Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban Jawa Barat membuat Sardjono Kartosoewirjo bergetar. Waktu itu, pada 1975, anak bungsu Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo ini baru kelas tiga sekolah menengah atas. Dipanggil tentara pada zaman ketika Orde Baru menancapkan pengaruhnya sungguh membuat kecut remaja 18 tahun ini.

Masih Misteri Setelah 45 Tahun

PERAHU kayu bercat biru dengan tudung terpal di bagian tengah itu melaju membelah laut menuju Pulau Onrust, meninggalkan tepian Muara Kamal di Jakarta Utara. Dua buah mesin tua berkekuatan masing-masing 40 tenaga kuda meraung di bokong kapal pada Selasa siang akhir Juli lalu.

Di bawah tudung itu, Sardjono Kartosoewirjo, 53 tahun, duduk bersila di bagian lantai kapal yang sedikit lebih tinggi. Tak ada kursi di perahu yang kini melaju ke utara itu. "Ini pertama kalinya saya ke sana." Sardjono mengenakan baju hangat lengan panjang berwarna cokelat bergaris kuning serta celana hitam dan sepatu karet sewarna. Ia membawa tas berisi baju koko dan kopiah putih.

Butuh waktu sekitar setengah jam untuk mencapai Pulau Onrust, sekitar 14 kilometer dari tepi utara daratan Kota Jakarta. Selain di Muara Kamal, dermaga yang bisa digunakan ada di Marina Ancol dan Muara Angke.

Sidang Kilat Kawan Soekarno


MARKAS Besar Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat di Gambir, Jakarta Pusat, 14 Agustus 1962. Hari itu, sidang pertama Imam Besar Negara Islam Indonesia Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo dimulai. Sebuah pengadilan khusus dibentuk. Namanya Mahkamah Angkatan Darat dalam Keadaan Perang untuk Jawa dan Madura. Wartawan dilarang masuk.

Seperti laiknya persidangan militer, TNI Angkatan Darat memilih tiga perwira sebagai majelis hakim: Letnan Kolonel Ckh Sukana, BcHk, sebagai ketuanya, didampingi dua anggota, Mayor Inf Rauf Effendy dan Mayor Muhammad Isa. Tentara juga menentukan jaksa penuntut umum sendiri: Mayor Chk Sutarjono, BcHk. Bahkan anggota tim pembela Kartosoewirjo juga diangkat oleh tentara: empat orang pengacara dipimpin Wibowo, SH.

Asimilasi Setelah Eksekusi


PAGI masih terang-terang tanah. Di tengah hawa dingin perbukitan Tambakbaya, Kecamatan Cisurupan, Garut, Jawa Barat, Ika Kartika, Komalasari, dan Sardjono berjalan terseok-seok menuruni lereng. Ditemani Musti'ah, sang pengasuh, tiga anak Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo itu berusaha mencapai pos tentara yang sudah di depan mata. Masih terngiang ucapan pengawal yang sebelumnya mengiringi mereka. "Kalian turun, serahkan diri ke pagar betis."

Kedatangan anak-anak itu mengagetkan tentara dan warga yang tengah berjaga di sebuah lahan terbuka. Keempatnya ditangkap dan dibawa ke markas Batalion 328 Siliwangi di Cicalengka, Kabupaten Bandung. Setelah diberi pertolongan, mereka menjalani serangkaian interogasi. Awalnya Musti'ah mengaku sebagai orang tua ketiga anak itu. Menjelang malam baru penyamarannya terbongkar. Sorak-sorai pun membahana. "Tentara gembira setelah mengetahui siapa kami ini," kata Sardjono Kartosoewirjo, yang saat itu baru berusia lima tahun.

Dodol Garut dan Susu dalam Gubuk

GUBUK kecil di tengah hutan itu dibuat dari dedaunan hingga setinggi orang dewasa. Tapi di dalamnya ada makanan yang jarang ditemui Sersan Ara Suhara di rumah orang biasa saat itu: dodol garut, jeruk garut, dan susu.


Ketika melihat ada seorang kakek bersarung dan berbaju di samping makanan mewah itu, Ara, prajurit Batalion Infanteri 328/Kujang Siliwangi, langsung berpikir kakek itu pasti orang penting. Mungkinkah ia Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo yang ia buru selama ini? Ara pun bertanya, memastikan: "Pak Karto?"

Lubang Peluru di Menara Masjid

KABAR itu berembus dari mulut ke mulut: kelompok Darul Islam akan menyerbu. Malam sehabis isya pada 17 April 1952, Kampung Cipari, Wanaraja, Garut, Jawa Barat, senyap. Sebagian penduduk kampung itu meninggalkan rumah. Mereka berkumpul di kompleks Pesantren Darussalam milik KH Yusuf Tauziri.

Salaf Sholeh terus mengajar beberapa santri yang mengaji di rumahnya. Ia belum mengungsi. Rumahnya hanya 50 meter dari pesantren. Sekalian berjaga, pikirnya. Berusia 18 tahun ketika itu, ia tiba-tiba mendengar ledakan dan suara tembakan. Dari gorden jendela yang ia buka, terlihat semburat merah di langit. "Serangannya mendadak," katanya kepada Tempo.

Ia memperkirakan penyerang datang lewat tengah malam. Ternyata, kelompok Darul Islam pimpinan Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo datang lebih cepat. Bunyi kentongan pun bersahutan. Sekitar 3.000 penyerang mengurung desa. Pesantren Darussalam jadi sasaran. Beberapa rumah di sekitarnya dibakar. Sholeh dan seisi rumah melompat dari jendela, lari menuju pesantren.

Tiga Berpayung Kecewa

DAFTAR 300-an tokoh Aceh itu membuat gempar Tanah Rencong. Itulah nama-nama yang dinilai melawan pemerintah pusat. Operasi penangkapan pun terjadi. Berdasarkan "daftar hitam" itu, Jaksa Tinggi Sunarjo memburu mereka dan menjebloskan mereka ke penjara.

Daftar nama itu diperoleh pemerintah dari Mustafa pada 1953. Mustafa adalah utusan Kartosoewirjo-pemimpin Negara Islam Indonesia. Dia ditangkap di Jakarta sepulang mengunjungi Daud Beureueh di Aceh. Aparat menemukan pula dokumen pengangkatan Daud Beureueh sebagai Gubernur Militer Daerah Istimewa Aceh yang ditandatangani Kartosoewirjo.

Dua kali Mustafa Rasjid atau Abdul Fatah setidaknya bertemu dengan Daud Beureueh. Pertemuan itu juga disaksikan Hasan Saleh, salah satu pemimpin militer Aceh. "Seru juga saya berdebat dengannya, disaksikan Teungku Daud Beureueh," kata Hasan dalam bukunya, Mengapa Aceh Bergolak. "Rupanya ia lebih banyak menguasai bidang politik daripada agama."

Misteri Ki Dongkol dan Ki Rompang

KEDUA pusaka itu selalu menyertai ke mana pun Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo pergi. Jika tak terselip di pinggang pria kelahiran Cepu, Jawa Tengah, 7 Januari 1907 tersebut, Bajuri, pembantunya, selalu setia membawa. Di mana ada Kartosoewirjo, di situ ada Bajuri dan di situ pula ada keris Ki Dongkol dan pedang Ki Rompang. Kedua pusaka itu baru terpisah dari si empunya saat Kartosoewirjo ditangkap pada 3 Juni 1962.
Saat ditangkap, pemimpin Darul Islam ini menyerahkan kembali keris dan pedang itu kepada keluarga yang memang seharusnya memegang secara turun-temurun. Kedua pusaka tersebut didapat Kartosoewirjo sekitar 1936 dari seorang tokoh Garut bernama Eyang Sinunuk. Eyang melihat sosok Kartosoewirjo sebagai pribadi penuh kredibilitas. "Kedua pusaka itu diserahkan kepada Ibrahim Adji. Kebetulan Eyang Sinunuk adalah leluhur Pangdam Siliwangi Ibrahim Adji," kata Sardjono Kartosoewirjo, salah satu putra Kartosoewirjo.
Peran keris Ki Dongkol dan pedang Ki Rompang selama perjuangan Kartosoewirjo memimpin pemberontakan DI/TII sangat diakui. Kartosoewirjo dikenal sebagai orang yang fanatik terhadap Islam tapi kental dengan unsur Jawa tradisional. Sebagaimana orang Jawa, ia pun gemar melakukan tapa dengan cara pati geni (tidak makan, tidak tidur, dan tidak minum) selama 40 hari di gua Walet, di sekitar Gunung Kidul.

Jejak Gerilya di Belantara Priangan

SARDJONO Kartosoewirjo-putra mendiang Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo-menegakkan posisi duduknya dan mengencangkan volume pemutar musik di mobil itu. Suara penyanyi balada Amerika, John Denver, terdengar melantunkan Take Me Home, Country Roads.
Almost heaven, West Virginia 
Blue Ridge Mountains
Shenandoah River...
Mobil yang ditumpanginya memasuki gugus pegunungan di pinggiran Kota Bandung. "Saya anak hutan, lahir dan tumbuh di hutan," kata pria 48 tahun itu. Sardjono dilahirkan ketika ayahnya bergerilya setelah memproklamasikan Negara Islam Indonesia dan baru keluar dari hutan pada usia lima tahun.
Pertengahan Juli lalu, Sardjono bersama Tempo melakukan napak tilas menyusuri daerah gerilya Kartosoewirjo. Rombongan berangkat dari Jakarta siang hari, senja sampai Bandung, dan masuk pegunungan Jawa Barat saat rembang petang.

Kartosoewirjo Vs Alex Kawilarang

AWAL 1950. Satu batalion Siliwangi bersenjata lengkap mengepung rapat sebuah rumah di daerah Tasikmalaya, Jawa Barat. Pasukan bersiaga di segenap penjuru. Semua senapan teracung ke arah rumah itu. Di situlah diduga tinggal salah satu perwira Darul Islam/Tentara Islam Indonesia, Haji Syarif alias Ghozin.


Tak menunggu lama, perintah tembak berkumandang. Peluru pun berhamburan. Sang target utama, Ghozin, malah luput dan berhasil melarikan diri. Hanya istri dan pembantu Ghozin yang bisa dibekuk.


Upaya Hampa Natsir

PERLAWANAN Kartosoewirjo bersemai ketika Indonesia mengikat perjanjian dengan Belanda. Perdana Menteri Amir Sjarifuddin menandatangani perjanjian di atas kapal perang USS Renville milik Amerika Serikat pada 17 Januari 1948. Salah satu butir kesepakatan Renville, penetapan garis Van Mook sebagai batas wilayah Indonesia dengan Belanda. Konsekuensinya, semua tentara Indonesia harus keluar dari wilayah Jawa Barat yang dikuasai Belanda.

Kartosoewirjo kecewa. Bersama pasukan Sabilillah dan Hizbullah, Kartosoewirjo menolak mengikuti jejak Divisi Siliwangi mundur ke Jawa Tengah. Dia bertekad tetap bertahan di Jawa Barat serta terus melawan Belanda.

Melihat ini, Perdana Menteri Mohammad Hatta menunjuk Mohammad Natsir sebagai penghubung pemerintah-yang saat itu berdomisili di Yogyakarta-dengan Kartosoewirjo. Hatta menganggap Natsir cukup kenal Kartosoewirjo. Selain sama-sama orang Masyumi, Natsir dan Kartosoewirjo beberapa kali berjumpa di rumah guru Natsir, A. Hassan, tokoh Persatuan Islam, di Bandung.

Natsir, dalam wawancara dengan Tempo, Desember 1989, menggambarkan hubungan Kartosoewirjo dengan pemerintah saat itu masih lumayan mesra. Berkali-kali Kartosoewirjo datang ke Yogyakarta minta bantuan makanan atau dana bagi pasukannya. "Bung Hatta memberikan bantuan supaya Kartosoewirjo bisa mendinginkan hati orang-orang Jawa Barat yang merasa ditinggalkan Republik," kata Natsir.

Menumpang Momentum Renville

Kecewa terhadap perjanjian dengan Belanda, Kartosoewirjo memproklamasikan Negara Islam. Merasa penguasa de facto di Jawa Barat.

KEDUA tokoh pejuang Islam Jawa Barat itu bertemu dengan hati penuh kuciwa pada awal 1948. Raden Oni Syahroni adalah Panglima Laskar Sabilillah, sedangkan Kalipaksi alias Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo dikenal sebagai pendiri dan pemimpin Institut Suffah-yang murid-muridnya menjadi tenaga inti Laskar Sabilillah dan Hizbullah.


Mereka membicarakan isi Perjanjian Renville, 17 Januari 1948, yang mengharuskan tentara dan laskar bersenjata mundur ke belakang garis Van Mook. Kantong-kantong wilayah berisi pasukan bersenjata di dalam garis itu harus dikosongkan. Ketika itu santer terdengar Divisi Siliwangi yang menjadi kebanggaan rakyat Jawa Barat akan hijrah ke Yogyakarta.

Ratu Adil Bermodal Keris

KABAR itu disiarkan melalui radio tabung ketika fajar baru terbit, 4 Juni 1962. Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo, "Imam Negara Islam Indonesia", diringkus tentara di persembunyiannya yang becek dan basah, di sebuah hutan yang tidak lebat di Jawa Barat.


Kastolani, komandan kompi Tentara Islam Indonesia di Brebes, Jawa Tengah, tak mampu menahan amarah. Ia berniat mengajak sembilan anak buahnya menyerbu markas Tentara Nasional Indonesia. Berusia 29 tahun ketika itu, Kastolani bertambah geram akan sikap para komandannya.

Kenang-kenangan Institut Suffah

JAGUNG, kelapa, ilalang, dan perdu-perduan liar. Kalau Anda datang ke Desa Bojong, Malangbong, Jawa Barat, tak terlihat bahwa di kebun itu pernah ada sebuah pesantren. Padahal di situlah, dulu, Kartosoewirjo mendirikan Institut Suffah, pesantren yang mengajarkan agama, politik, dan kemiliteran.


Di Malangbonglah awal Kartosoewirjo mempelajari Islam. Ia berguru kepada mertuanya, Ajengan Ardiwisastra, Kiai Mustafa Kamil dari Tasikmalaya, juga Kiai Yusuf Tauziri dari Wanaraja, yang boleh dibilang sangat berpengaruh terhadap sikap religius Kartosoewirjo.

Kekasih Orang Pergerakan

BATU-BATU kali di atas nisan itu telah berlumut, di bawah payungan pohon-pohon menjulang. Ini sebuah kompleks makam keluarga di belakang Masjid Jamik di Kampung Bojong, Malangbong, di Garut, sebuah kota pedalaman di Jawa Barat. Suasana hening dan adem ketika Tempo berziarah ke sana pada Juli lalu. Di sinilah Dewi Siti Kalsum, istri Kartosoewirjo, yang akrab dipanggil Wiwiek, beristirahat untuk selamanya.

Lahir pada 1913, Dewi wafat 12 tahun lalu dalam usia 85 tahun. Bersebelahan dengan makam Dewi adalah kuburan Raden Rubu Asiyah, ibundanya, perempuan menak asal Keraton Sumedang, Jawa Barat. Di pemakaman ini Kartosoewirjo ingin dikuburkan. "Bapak ingin jenazahnya dekat dengan keluarga Malangbong," kata Sardjono, anak bungsu Kartosoewirjo, kepada Tempo.

Tapi pemerintah Soekarno punya kemauan lain. Sampai sekarang tak jelas keberadaan jasad Kartosoewirjo setelah dia dieksekusi mati pada September 1962 di sebuah tempat di Teluk Jakarta. Kartosoewirjo agaknya ingin menunjukkan cintanya kepada Dewi hingga akhir hayat: meminta dirinya dikuburkan di Malangbong -kendati tak kesampaian.

Akar yang Terserak

AWAL tahun lalu, Bambang Soerjadi, 74 tahun, kaget kedatangan tiga tamu tak dikenal. Mereka berbicara dengan aksen Sunda. Setelah disilakan duduk di kursi tua di ruang tamu rumahnya, salah seorang tamu-yang kurus dan berkumis-memperkenalkan diri sebagai Herman. Ia menantu Dianti, salah seorang anak Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo. "Setelah itu, saya senang sekali," kata Soerjadi. "Seperti sudah kenal lama."

Bersama saudara-saudaranya, Herman datang dari Garut, Jawa Barat, untuk mengumpulkan kembali keluarga besar "Imam" -panggilan Kartosoewirjo- yang terserak. "Selama ini silaturahmi terputus," kata Herman, yang dihubungi terpisah. Ia mengemban tugas wakil keluarga Kartosoewirjo. Pertemuan penuh haru di rumah di Jalan Setiabudi Nomor 20, Rembang, Jawa Tengah, itu diakhiri pelukan emosional.

Soerjadi sendiri tak pernah mengenal sosok Kartosoewirjo. "Bahkan fotonya saja saya ndak punya," katanya. Tapi dia adalah cucu dari kakak Kartosoewirjo, yang bernama Soemarti Ning. Lantaran ayah mereka bekerja sebagai mantri candu, Soemarti kecil mendapat nama panggilan Belanda: Dora. "Saya lebih mengenalnya sebagai Eyang Dora," kata Soerjadi. Belakangan ia baru tahu, Eyang Dora adalah kakak Kartosoewirjo. "Ibu saya selalu menutupi."

Mampir di Masyumi


MASYUMI lahir pada 7 Agustus 1945, ketika Jepang mulai sibuk bertahan dalam Perang Pasifik. Dalam bukunya Bulan Sabit dan Matahari Terbit, Harry J. Benda melihat: Jepang merestui pendirian organisasi Islam itu dengan harapan kekuatan Islam membantu dalam perang. Padahal para pendiri Masyumi-Kiai Haji Wachid Hasyim, Mohammad Natsir, Kartosoewirjo, dan lainnya-menghendaki organisasi ini dapat menghadirkan semangat Islam dalam perang kemerdekaan.

Waktu itu Kartosoewirjo bukan pendatang baru. Sebelum terpilih sebagai Komisaris Jawa Barat merangkap Sekretaris I Masyumi, ia sudah aktif dalam Majelis Islam 'Alaa Indonesia (MIAI), salah satu organisasi cikal bakal Masyumi. Bersama kawan-kawannya, atas izin Aseha-residen Jepang di Bandung-ia mendirikan cabang MIAI di lima kabupaten di Priangan.

Murid Tjokroaminoto di Peneleh

RUMAH bercat putih di Jalan Peneleh, Surabaya, itu baru dikapur ulang. Di bagian depan, pintu kayu jati dan dua jendela kecil yang mengapitnya pun baru dicat warna hijau. Selebihnya, tak ada yang baru dari rumah yang dulu dimiliki Haji Oemar Said Tjokroaminoto ini. “Lantainya saja masih dari semen,” kata Mariyun, ketua rukun tetangga setempat.

Rumah pendiri Sarekat Islam yang punya banyak kamar itu pernah menjadi tempat indekos tokoh-tokoh pergerakan kemerdekaan Indonesia dari berbagai aliran, di antaranya Soekarno dan Semaoen, pendiri Partai Komunis Indonesia. Soekarno pernah tinggal di salah satu kamar berlangit-langit rendah di loteng.

Tjokroaminoto memang membuka pintu rumahnya untuk orang-orang muda yang tertarik pada pemikiran politiknya. Salah satunya Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo, yang pindah ke Surabaya pada 1923, selulus dari Europeesche Lagere School-sekolah dasar Eropa khusus untuk kalangan Eropa dan yang berdarah Indo-Eropa, dengan pengecualian bagi pribumi berstatus sosial tinggi.

Santri Abangan dari Hutan Jati

SEKARMADJI Maridjan Kartosoewirjo lahir pada 7 Januari 1907 di Cepu, Jawa Tengah-kota dengan romansa Bengawan Solo dan belukar hutan jati. Sang ayah, Kartosoewirjo, mantri candu pemerintah Belanda, memberinya nama Sekarmadji Maridjan. Kelak nama ayahnya disematkan di belakang nama sang bayi. Kakek si orok adalah Kartodikromo, Lurah Cepu. Rumah sang kakek tempat Sekarmadji lahir, di belakang pasar lama, kini telah musnah.


Yang tersisa adalah rumah di Jalan Raya Cepu 15, milik Kartodimedjo, paman Sekarmadji, yang sempat menjadi pamong praja pemerintah Belanda. Rumah kayu jati berkapur putih yang dibangun pada 1890 itulah tempat berkumpul keluarga besar Kartodikromo. “Ini rumah induk, tempat jujugan keluarga besar kami,” kata Nuk Mudarti, 75 tahun, keponakan Sekarmadji.

Imam Pemberontak dari Malangbong

Berasal dari keluarga abangan, sekarmadji maridjan Kartosoewirjo menjadi pemimpin pemberontakan darul islam. hampir lima puluh tahun setelah kematiannya, pemikiran dan cita-cita mendirikan negara islam masih bergelora di kalangan sebagian umat islam negeri ini.

DI Teluk Jakarta, sang “Imam” mengembuskan napas terakhir setelah tubuhnya diterjang peluru regu tembak. Toh, hampir lima puluh tahun setelah kematiannya, Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo masih terus mengilhami berbagai kelompok di negeri ini yang ingin menegakkan sebuah “Negara Islam”-baik dengan jalan damai maupun kekerasan.

Kendati dikenal sebagai pemimpin Islam, pria kelahiran Cepu, Jawa Tengah, 7 Januari 1907, itu sesungguhnya sosok yang tak terlalu “islami”. Ayahnya, Kartosoewirjo, adalah seorang mantri candu-pangkat yang cukup tinggi untuk seorang “inlander” di masa kolonial. Candu dan Islam jelas bukan pasangan yang padan.