Senin, 19 Mei 2008

Denyut Demonstran dalam Puisi

Anakmu yang berani Telah tersungkur ke bumi Ketika melawan tirani
-Salemba, Taufiq Ismail, 1966

SEBAIT sajak dalam kumpulan puisi Tirani dan Benteng itu menyeruak di tengah pergolakan politik 1966. Penyair Taufiq Ismail menulis puisi itu tatkala suhu politik negeri ini memanas. Gelombang demonstrasi pelajar dan mahasiswa menuntut pembubaran Partai Komunis Indonesia, Kabinet Dwikora, dan penurunan harga-dikenal dengan Tiga Tuntutan Rakyat-sedang marak-maraknya.

Ketika itu Jakarta membara oleh lautan demonstran. Di jalanan Ibu Kota, di tengah ingar-bingar pengunjuk rasa, puisi-puisi Taufiq hadir dalam bentuk stensilan bersama ratusan pamflet dan spanduk, yang meneriakkan protes terhadap pemerintahan Demokrasi Terpimpin di bawah Presiden Soekarno.

Puisi-puisi yang sarat dengan tema sosial itu berisi kecemasan, kesangsian, kebebasan, harapan, cita-cita, dan tekad. Taufiq baru saja dua tahun lulus dari Fakultas Kedokteran Hewan dan Peternakan Universitas Indonesia, dan langsung berada di tengah hiruk-pikuk demonstrasi. Ia mengabadikan momen bersejarah itu melalui puisi-puisi yang ditulis sepanjang Februari-Maret 1966.

Taufiq menuliskan baris kata-katanya pada tumpukan kertas yang dijepit rapi dalam map merah cokelat. Ke mana-mana ia membawa map yang ditaruh dalam ranselnya. Menurut Taufiq, hampir setiap hari ia mengikuti demonstrasi mahasiswa. Ia merekam denyut demonstran. "Biasanya puisi saya tulis malam hari di asrama mahasiswa Pal Putih 6," katanya mengenang.

Tirani dan Benteng pertama kali diterbitkan di majalah Gema Psychologi Universitas Indonesia atas upaya sahabat Taufiq, Arief Budiman. "Ketika terbit, sebetulnya saya waswas juga, karena setiap saat tentara bisa menangkap," ujarnya. Makanya, waktu itu ia memakai nama samaran Nur Fadjar.

Boleh jadi, kalau tak "diselamatkan" Arief, puisi-puisi Taufiq akan ikut hilang bersama catatan hariannya di dalam tas ransel hijau kumal yang dicuri di halaman stasiun kereta Gambir, Jakarta Pusat, pada suatu pagi. Naskah yang selamat itu kemudian diterbitkan Penerbit Faset. Selain memuat Tirani dan Benteng, Faset menambahkan 32 puisi lagi, yang ditulis Taufiq sepanjang 1960-1965. Karya-karya yang melengkapi itu diberi subjudul: Puisi-puisi Menjelang Tirani dan Benteng.

Melalui 73 sajaknya dalam Tirani dan Benteng, Taufiq telah membangun tonggak penting dalam perjalanan sastra Indonesia. Penyair kelahiran Bukittinggi, Sumatera Barat, 25 Juni 1935 itu turut berkontribusi mengobarkan semangat melawan penguasa pada masanya.
Selain menyebar di jalanan Ibu Kota, puisi Taufiq dalam bentuk stensilan juga diperbanyak mahasiswa dari luar Jakarta, yang saat itu ikut berdemonstrasi di Jakarta. Merekalah yang menyebarkannya ke kota asal masing-masing, seperti Bandung, Bogor, dan Yogyakarta.

Di Jakarta, gaung Tirani dan Benteng kian bergema karena kerap dibacakan di radio Ampera. Ini stasiun radio bawah tanah milik mahasiswa yang getol menyiarkan berita demonstrasi. Menurut Taufiq, salah satu yang sering membacakan puisinya di radio itu adalah Salim Said.

Taufiq menyatakan, ketika menulis puisi-puisi itu tak sedikit pun berniat membakar militansi demonstran. "Waktu itu mengalir saja," katanya. "Situasi dan kondisi sungguh luar biasa. Itulah yang menginspirasi saya untuk menuliskannya". Dengarkan ini:

Kami tidak bisa dibubarkan Apalagi dicoba dihalaukan Dari gelanggang ini
Karena ke kemah kami Sejarah sedang singgah Dan mengulurkan tangannya yang ramah

Tidak ada lagi sekarang waktu Untuk merenung panjang, untuk ragu-ragu Karena jalan masih jauh Karena Arif telah gugur Dan luka-luka duapuluh satu

-Horison, Taufiq Ismail, 1966

(86) Tirani dan Benteng Penerbit: Yayasan Ananda, Jakarta (1993 - edisi baru)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.