Kamis, 10 Oktober 2013

TAN MALAKA: BAPAK REPUBLIK YANG TERLUPAKAN
Hatinya terlalu teguh untuk berkompromi. Maka ia diburu polisi rahasia Belanda, Inggris, Amerika, dan Jepang di 11 negara demi cita-cita utama: kemerdekaan Indonesia.

Ia, Tan Malaka, orang pertama yang menulis konsep Republik Indonesia. Muhammad Yamin menjulukinya ”Bapak Republik Indonesia”. Soekarno menyebutnya ”seorang yang mahir dalam revolusi”. Tapi hidupnya berakhir tragis di ujung senapan tentara republik yang didirikannya.


SUTAN SJAHRIR: PERAN BESAR BUNG KECIL
Sutan Sjahrir adalah satu dari tujuh “Bapak Revolusi Indonesia”. Dia mendesak Soekarno-Hatta memproklamasikan kemerdekaan walau dia sendiri absen dari peristiwa besar itu.

Dia memilih jalan elegan untuk menghalau penjajah. Yakni melalui diplomasi: cara yang ditentang “Bapak Revolusi” lain.

Sejarah telah menyingkirkan peran besar Bung Kecil- begitu Sjahrir biasa disebut. Meninggal dalam pengasingan, Sjahrir adalah revolusioner yang gugur dalam kesepian.



NJOTO: PENIUP SAKSOFON DI TENGAH PRAHARA 
IA berbeda dari orang komunis pada umumnya. Ia necis dan piawai bermain biola dan saksofon. Ia menikmati musik simfoni, menonton teater, dan menulis puisi yang tak melulu ”pro-rakyat” dan menggelorakan ”semangat perjuangan”.

Ia menghapus The Old Man and the Sea—film yang diangkat dari novel Ernest Hemingway—dari daftar film Barat yang diharamkan Partai Komunis Indonesia. Ia menghayati Marxisme dan Leninisme, tapi tak menganggap yang ”kapitalis” harus selalu dimusuhi.

HATTA: JEJAK-JEJAK YANG MELAMPAUI ZAMAN
Ketika wafat pada 1980, ia meninggalkan "30 ribu judul buku" dalam perpustakaan pribadi, sebagai warisannya yang termahal.
Integritas dan kesederhanaan hidup menjadikannya mutiara yang langka di antara deretan pemimpin Indonesia masa kini maupun lampau. Tapi dia lebih langka lagi sebagai negarawan yang menulis.

Mari bertamasya sejarah bersama Hatta.

KARTOSOEWIRJO: MIMPI NEGARA ISLAM
Berasal dari keluarga abangan, sekarmadji maridjan Kartosoewirjo menjadi pemimpin pemberontakan Darul Islam.

Hampir lima puluh tahun setelah kematiannya, pemikiran dan cita-cita mendirikan negara Islam masih bergelora di kalangan sebagian umat islam negeri ini.

G 30 S DAN PERAN AIDIT
BERTAHUN-TAHUN orang mengenalnya sebagai "si jahat". Lelaki gugup berwajah dingin dengan bibir yang selalu berlumur asap rokok.
Bertahun-tahun terdengar kalimat-kalimat ini meluncur dari mulutnya: "Djawa adalah kunci..." "Djam D kita adalah pukul empat pagi..." "Kita tak boleh terlambat...!"
Tapi ia bukan sepenuhnya "si brengsek", sebagaimana ia bukan sepenuhnya tokoh yang patut jadi panutan.

100 CATATAN YANG MEREKAM PERJALANAN SEBUAH NEGERI

MEMPERINGATI 100 Tahun Kebangkitan Nasional, kami menyajikan edisi khusus yang berbeda, yakni memilih 100 teks yang terbit mulai 1908 yang kami anggap berpengaruh atau memberikan kontribusi terhadap gagasan kebangsaan. Istilah teks dipakai di sini karena yang kami pilih tidak hanya buku, tapi juga pidato, laporan jurnalistik, polemik, renungan, juga roman dan puisi.

Rabu, 09 Oktober 2013

Santri Kelana Ahli Tarekat

SUARA "mesin toelis" selalu terdengar setiap malam dari salah satu kamar di ujung kompleks Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur. Tahunnya 1934: mesin ketik masih barang langka dan mewah.

Para santri yang masih terjaga merasa terganggu. Tapi siapa berani memprotes? Sang pengetik adalah Abdul Wahid Hasyim, putra KH Hasyim Asy'ari, pengasuh pondok. Wahid baru pulang dari Mekah. Dalam usia 20 tahun, anak sulung dari sepuluh bersaudara itu diminta ayahnya membantu mengajar dan membimbing para santri. "Semua dawuh Gus Wahid ketika itu dianggap top," kata Muchit Muzadi, 87 tahun. "Ndak ada yang berani protes kalau beliau lagi mengetik."

Penerus Makrifat Syekh: Mudin Penakluk Harimau

Abdul Wahid Hasyim dikenal suka mentraktir dan tidak membeda-bedakan teman. Memberontak dengan mengenakan celana panjang-bukan sarung-di pesantren.

PULUHAN santri dan warga Tebuireng berdesakan di masjid pondok pesantren. Mereka tengah menggelar pengajian yang rutin digelar setiap Jumat seusai salat isya. Suara mereka terdengar hingga ke dalam kasepuhan, yang berjarak sekitar 10 meter dari masjid. Kasepuhan adalah tempat bermukim keluarga besar Kiai Hasyim Asy'ari, pendiri sekaligus pengasuh Pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur.

Malam itu, 1 Juni 1914, suasana di dalam kasepuhan tak kalah ramai. Nafiqoh, istri kedua Hasyim, tengah menahan rasa sakit lantaran detik-detik kelahiran bayi yang dikandungnya makin dekat. Dia dikelilingi sejumlah kerabat dan pelayan dekat. Menjelang malam, dari dalam kasepuhan melengking tangis bayi. Nafiqoh melahirkan bayi lelaki. Air mata bahagia meleleh dari putri Kiai Ilyas, pengasuh Pondok Pesantren Sewulan, Madiun, itu. Hasyim memberi nama putranya Muhammad Asy'ari. Nama ini diambil dari nama ayah Hasyim. Ia mewariskan nama itu kepada sang bayi karena empat kakaknya semuanya perempuan. Tapi, sebulan kemudian, nama ini diganti. Asy'ari kecil sering sakit hingga tubuhnya makin lama makin kurus. Nama itu dianggap terlalu berat disandang sang bayi.

Pesantren di Sarang Penyamun

TEKAD Hasyim Asy'ari sudah bulat. Ia akan membangun pondok pesantrennya sendiri. Setelah berzikir dan berdoa, ia pun memilih kawasan Tebuireng, Jombang, untuk mewujudkan cita-citanya itu. Pada 1899-saat itu umurnya 28 tahun-Hasyim memboyong keluarganya, pindah dari Nggendang, Jombang, tempatnya selama ini bermukim, menuju Tebuireng.

Niat ini awalnya ditentang semua saudara dan teman-teman dekatnya. Bahkan ia diejek dan ditertawai kiai-kiai lain. Mereka tahu Tebuireng adalah daerah yang berbahaya dan tanpa agama. Orang menyebut Desa Tebuireng sebagai desa tanpa perikemanusiaan. Penduduk di sana punya hobi merampok dan lokasi pelacuran bertebaran di sepanjang jalan. "Menyiarkan agama Islam ini artinya memperbaiki manusia," kata Hasyim kepada yang menentangnya kala itu. Desa Tebuireng menjadi kawasan "jahiliah" karena ada pabrik gula warisan Belanda. Para buruhnya tinggal di sekitar pabrik. Mereka gemar berjudi, hura-hura di pasar malam, dan keluar-masuk tempat pelacuran yang tumbuh subur. Penyamun juga berdatangan ke tempat ini, menyatroni para buruh berkantong tebal atau memalak mereka yang keluar-masuk tempat pelacuran.

Berakar dari Sultan Demak

Abdul Wahid Hasyim merupakan keturunan keluarga ulama masyhur, para perintis pesantren di Jawa. Ayahnya, KH Hasyim Asy'ari, pendiri Nahdlatul Ulama dan Pesantren Tebuireng di Jombang, Jawa Timur. Sedangkan ibunya putri KH Muhammad Ilyas, pendiri Pesantren Sewulan, Madiun. Seperti umumnya keluarga ulama waktu itu, perkawinan merupakan perjodohan antar-anak kiai atau anak kiai dengan santrinya.

Dirunut lebih jauh, dari pihak ibu, Wahid Hasyim masih keturunan Ki Ageng Tarub I. Sedangkan dari pihak ayah, silsilah itu sampai pada Jaka Tingkir atau Sultan Adiwijaya, raja pertama Kesultanan Pajang (1549-1582). Keduanya bermuara di Sultan Demak Raden Brawijaya VI, yang berkuasa pada 1478-1498.

Para ilmuwan memang masih ragu terhadap perihal silsilah ini karena sanad nasab itu berupa cerita oral. Tapi buku-buku yang mengulas kisah hidup ulama Jawa memakai silsilah itu untuk menerangkan pertalian darah mereka dengan pendiri kerajaan Islam di Jawa, wali-wali, bahkan hingga Majapahit.

Wahid Hasyim juga sepupu satu buyut dengan R. Ng. Haji Minhadjurrahman Djojosoegito, pendiri Jaringan Ahmadiyah Indonesia aliran Lahore. Minhadjurrahman-yang dididik secara Muhammadiyah dengan berguru kepada Ahmad Dahlan-teman debat Wahid Hasyim. Karena itulah tak aneh jika Wahid punya pemikiran terbuka terhadap golongan ini. Ia tahu persis bagaimana Ahmadiyah, baik secara pemikiran maupun nasab atau keturunan.

Wahid Hasyim

KH. Abdul Wahid Hasyim adalah putra dari pasangan KH. M. Hasyim Asy’ari-Nyai Nafiqah binti Kiai Ilyas (Madiun) yang di lahirkan pada Jum’at legi, 5 Rabi’ul Awal 1333 H./1 Juni 1914 M. Ayahandanya semula memberinya nama Muhammad Asy’ari, diambil dari nama kakeknya. Namun, namanya kemudian diganti menjadi Abdul Wahid, diambil dari nama datuknya. Dia anak kelima dan anak laki-laki pertama dari 10 bersaudara.

KH A. Wahid Hasyim adalah pribadi yang cerdas dan lihai dalam berpidato.Terutama sekali karena pidatonya selalu didukung dan dilengkapi dengan tema-tema yang disitir dari salah berbagai buku. Tentu tiada kesulitan bagi KH A. Wahid Hasyim untuk mencari referensi, karena KH A. Wahid Hasyim menguasai bahasa Arab, Belanda dan Inggris sebagai kunci utama dalam penguasaan buku-buku ilmiah saat itu.

Semenjak tahun 1939 KH. A Wahid Hasyim dipercaya menjabat sebagai Ketua MIAI (Majelis Islam A’la Indonesia), sebuah badan federasi NU, Muhammadiyah,PSII, PII, Al-Irsyad, Persis. Sehubungan dengan jabatannya di MIAI, KH A.Wahid Hasyim juga kemudian duduk pula dalam kepemimpinan Presidium Korindo (Kongres rakyat Indonesia), sebuah proyek perjuangan bersama GAPI (Gabungan Partai Politik Indonesia).