Senin, 19 Mei 2008

Teks 60-70

(60) Dekrit Presiden 5 Juli 1959

DEKRIT ini merupakan keputusan Presiden Soekarno membubarkan lembaga tertinggi negara Konstituante, hasil pemilihan umum 1955. Lembaga itu dianggapnya gagal menghasilkan konstitusi baru untuk menggantikan Undang-Undang Dasar Sementara 1950. Saat itu terjadi perbedaan pandangan ideologi yang menajam antaranggota Konstituante mengenai dasar negara, apakah berdasarkan agama atau bukan. Dekrit ini mengakhiri perbedaan itu dan dianggap sebagian kalangan sebagai penyelamatan negara.

Namun, ini bukannya tanpa masalah. Keputusan kembali ke Undang-Undang Dasar 1945 itu membajak demokrasi karena akhirnya memunculkan demokrasi terpimpin. Kekuasaan negara jadi terpusat dan tepersonifikasi dalam sosok Soekarno. Ide ini juga tampaknya menginspirasi Presiden Abdurrahman Wahid saat dia mengeluarkan dekrit membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat dan Majelis Permusyawaratan Rakyat pada 2001.

Indra Jaya Piliang, Peneliti Centre for Strategic and International Studies.

(61) Garis-Garis Besar Haluan Negara

GARIS-GARIS Besar Haluan Negara adalah produk berupa ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat yang menjadi panduan bagi pemerintah Orde Baru dalam kurun 1973-1998. Meski dibuat Majelis, materinya berasal dari pemerintah. Karena itu, Majelis tidak independen dari intervensi penguasa saat itu. Untuk Garis-Garis Besar Haluan Negara 1993, teksnya diterbitkan dalam bentuk buku saku setebal 603 halaman oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Ketetapan Garis-Garis Besar ini menjadi landasan penyusunan rencana pembangunan lima tahun Presiden Soeharto. Isinya soal stabilitas politik nasional, pemerataan ekonomi, pendidikan untuk semua, dan keamanan negara. Kalau dilaksanakan, kita semua tentu sudah berada di surga. Namun, ternyata sifatnya lebih berupa retorika dan menjebak. Misalnya, kalau berbicara mengenai stabilitas politik, yang dimaksud tak lain adalah stabilitas kekuasaan penguasa. Pemerataan ekonomi malah ditafsirkan dalam bentuk iuran pengusaha. Ini menjadi bahan indoktrinasi penguasa otoriter kepada masyarakat. Sejak pemerintahan saat ini, panduan itu diganti dengan Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang ditetapkan pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat tiap tahun.

J. Kristiadi, Peneliti Centre for Strategic and International Studies.

(62) Pidato B.J. Habibie di Bonn, Jerman, pada 14 Juni 1983:
Beberapa Pemikiran tentang Strategi Transformasi Industri Suatu Negara Berkembang

IDE pokok yang ingin disampaikan B.J. Habibie sebenarnya sederhana saja. Pidato setebal 31 halaman dengan cover berlogo burung garuda tanpa penerbit yang ditulis dalam bahasa Jerman, Inggris, dan Indonesia ini intinya mengenai pengembangan ekonomi suatu negara bergantung pada pengembangan teknologinya. Ide tersebut pada saat itu merupakan sesuatu yang baru bagi negara kita. Sebab, sebelumnya, konsentrasi pengembangan ekonomi kita tak dikaitkan dengan teknologi, melainkan produksi saja. Padahal, di banyak negara, teknologi menjadi motor penggerak ekonomi nasional. Jika pengembangan teknologi sebuah negara lemah, ekonominya akan kalah bersaing. Habibie mencoba mengintegrasikan konsepnya ini dengan pendirian badan usaha milik negara yang berfokus pada pengembangan teknologi, seperti PT Nurtanio (sekarang PT Dirgantara Indonesia). Sayangnya, pascakrisis, ekonomi kita masih berkutat pada sektor jasa dan bukan pada pengembangan manufaktur.

Umar Juoro, Senior Fellowship di Habibie Center.

(63) Seandainya Aku Seorang Belanda (Als Ik Eens Nederlander Was)

KI Hajar Dewantara menulis artikel tersebut di surat kabar de Expres milik Douwes Dekker, seorang intelektual Belanda yang pro-Indonesia, pada 1913. Artikel yang ditulis dalam bahasa Belanda itu menimbulkan keguncangan. Gubernur Jenderal Hindia Belanda ketika itu, Idenburg, sangat marah kepada Ki Hajar sehingga menjatuhkan hukuman buang tanpa lewat proses pengadilan. Ki Hajar lalu diasingkan ke Pulau Bangka.

Saya melihat isi tulisannya sendiri sangat mengena bagi siapa saja dari semua bangsa. Sangat menghunjam. Bagaimana mungkin Belanda meminta bangsa Indonesia membiayai dan merayakan hari kemerdekaan negara itu dari penjajahan, sedangkan pada saat yang sama melakukan penjajahan terhadap bangsa kita. Ketika itu, gaung tulisannya sangat kuat bagi kalangan intelektual yang kebanyakan mampu berbicara bahasa Belanda. Artikel ini menjadi inspirasi bagi bangsa kita untuk merdeka seperti si penjajah. Cuma, kita pernah enggak ya berpikir, jangan-jangan ada daerah di Indonesia yang masih merasa diperlakukan sama seperti itu karena merasa tertinggal dalam pembangunan nasional.

Anies Baswedan, Rektor Universitas Paramadina.

(64) Pidato Lahirnya Pancasila

SOEKARNO menyampaikan pidato lahirnya Pancasila secara lisan pada 1 Juni 1945 dalam sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia. Intinya, ia menjabarkan dasar negara yang dibutuhkan Indonesia. Soekarno menyampaikan secara sistematis lima sila yang belakangan disebut sebagai Pancasila. Dalam pidatonya, ia menyebut kebangsaan Indonesia sebagai dasar pertama dan pulau Nusantara sebagai satu kesatuan, diapit dua samudra dan dua benua. Pidato itu lalu dibahas dalam Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia yang dibentuk kemudian dan diketuai Soekarno dan wakilnya, Mohammad Hatta. Panitia Persiapan kemudian merumuskan Pancasila dengan rumusan dan urutan yang berbeda, tapi esensinya serupa. Isinya sebenarnya tidak baru karena sudah berulang-ulang diucapkan Soekarno di berbagai kesempatan. Pidato itu lebih sebagai ringkasan idenya, yang sampai kini dipakai sebagai dasar negara kita. Pidato ini dibukukan dengan judul Uraian Pancasila, penerbit Mutiara, pada 1980.

Anhar Gonggong, Sejarawan Universitas Indonesia.

(65) Hasil-hasil Seminar Ekonomi Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia 1966

SEMINAR Ekonomi, Keuangan, dan Moneter ini berlangsung di kampus Universitas Indonesia Salemba, Jakarta, diadakan oleh Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia Fakultas Ekonomi pada 10 Januari 1966. Saya dan Anwar Nasution ikut sebagai panitia. Pada hari yang sama mahasiswa melakukan aksi demonstrasi besar-besaran ke Istana Negara menuntut Presiden Soekarno memperbaiki kondisi ekonomi yang terpuruk. Seminar tersebut menampilkan sejumlah pakar ekonomi, seperti Widjojo Nitisastro, Mohammad Sadli, dan Ali Wardhana. Belakangan, hasil seminar itu menjadi landasan program ekonomi Orde Baru. Hasil seminar ini dibukukan dengan judul The Leader, The Man, & The Gun terbitan Sinar Harapan 1984. Judul ini berasal dari makalah Hamengku Buwono IX, yang pada saat itu menjadi Ketua Badan Pemeriksa Keuangan.

Syahrir, Anggota Dewan Pertimbangan Presiden.

(66) Pidato Nirwan Dewanto Saat Kongres Kebudayaan IV

PIDATO Nirwan Dewanto saat Kongres Kebudayaan IV di Jakarta sungguh menggugah banyak penggiat seni saat itu. Kongres berlangsung pada 29 Oktober hingga 3 November 1991. Saking terpukaunya, Jakob Oetama, pendiri harian Kompas, yang menjadi moderator pada sesi itu, sampai mengatakan, Kebo nyusu kuda." Maksudnya, orang-orang yang lebih tua seperti dirinya sudah saatnya belajar dari yang lebih muda, yaitu Nirwan. Dalam pidatonya, Nirwan mengangkat isu arah budaya Indonesia ke depan. Selain mengembangkan semangat pluralisme dalam berkarya, menurut Nirwan, ada satu lagi yang perlu menjadi perhatian para penggiat seni, yaitu multikulturalisme. Artinya, karya seni dan penggiat seni perlu menghargai perbedaan etnis yang menjadi ciri khas budaya Tanah Air dan menilainya sebagai produk budaya yang setara. Teks pidato ini diterbitkan dalam buku berjudul Senjakala Kebudayaan oleh penerbit Bentang pada 1996.

Budi Darma, Sastrawan, Penyair, Rektor Universitas Negeri Surabaya.

(67) Manifes Kebudayaan

PERNYATAAN ini merupakan bentuk perlawanan terhadap upaya pengekangan berkarya oleh kekuasaan negara. Kami menolak politik sebagai panglima. Saat itu, Lembaga Kebudayaan Rakyat, dengan Pramoedya Ananta Toer-nya, sedang mengembangkan Realisme Sosialis" ala Stalin yang berupaya membelenggu kehidupan seni. Jika ada yang tidak mengikuti garis Realisme Sosialis" ini, seperti kata-kata Pramoedya sendiri, harus dibabat. Para penentang Manifes Kebudayaan lalu melakukan stigmatisasi untuk membungkam dan mengisolasi kami.

Pengaruh yang muncul dari Manifes adalah memberikan kesadaran bahwa berseni dan bersastra merupakan bagian dari perjuangan emansipasi. Itu dapat dilakukan jika seniman memiliki kebebasan berkreasi, bukan justru menjadi sekadar alat kekuasaan. Manifes sebenarnya tidak mempersoalkan paham kebangsaan, tapi lebih pada menyuarakan humanisme universal. Manifes ditandatangani 20 seniman pada 17 Agustus 1963. Teksnya yang terdiri atas empat paragraf lalu terbit di majalah Sastra pada September 1963.

Goenawan Mohamad, Sastrawan.

(68) Surat Kepercayaan Gelanggang

INI adalah buah pemikiran sastrawan 1945 yang kemudian dimuat dalam majalah Siasat pada 22 Oktober 1950. Pernyataan satu halaman ini keluar saat terjadi polemik kebudayaan antara Sutan Takdir Alisjahbana dan Ki Hajar Dewantara. Sutan Takdir berkiblat ke Barat sebagai arah pengembangan budaya nasional dan menyerapnya sebanyak mungkin. Adapun bagi Ki Hajar, pengembangan budaya nasional bertumpu pada puncak-puncak kebudayaan daerah. Pernyataan dalam Surat Kepercayaan Gelanggang ini justru berupaya mencari jalan tengah. Salah satu pernyataannya, misalnya, Kami adalah ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia." Ini artinya membuka diri terhadap budaya dari luar dan pada saat yang sama menghargai perbedaan budaya yang ada di dalam negeri. Paham kebangsaan harus dapat menghargai keberagaman dan kebebasan berekspresi. Sayangnya, pada kondisi sekarang ini justru terjadi gangguan terhadap keberagaman, misalnya upaya pelarangan Ahmadiyah dan ancaman menggugat lagu kritis kelompok musik Slank soal korupsi di parlemen.

Sitok Srengenge, Redaktur Jurnal Kebudayaan Kalam.

(69) Sumpah Pemuda

SUMPAH tiga paragraf yang dibacakan dalam Kongres Pemuda Kedua, Ahad, 28 Oktober 1928, di gedung Oost-Java Bioscoop, Jakarta, itu mengentak kesadaran para pemuda dari beragam latar belakang etnis. Sebelumnya, mereka terkotak-kotak dalam kelompok pemuda yang bersifat kesukuan. Sumpah ini lalu menginspirasi kaum muda dan ujung-ujungnya mengkristal menjadi upaya bersama mencapai kemerdekaan pada 17 Agustus 1945. Sekiranya tidak ada sumpah ini, bisa jadi Negara Kesatuan Indonesia tidak terbentuk saat Belanda pergi. Yang mungkin terjadi malah terbentuknya negara kecil yang terpisah-pisah.

Sekarang, semangat ini memang tidak begitu bergaung lagi karena sudah banyak pemuda yang melupakannya. Padahal keinginan menegakkan hak asasi manusia, antikorupsi, dan disiplin seharusnya menjadi semangat para pemuda saat ini. Uniknya, beberapa gerakan separatis di Tanah Air menjadi bentuk protes para pemuda terhadap ketidakadilan negara di wilayah mereka masing-masing. Ini dibukukan dengan judul Bunga Rampai Soempah Pemoeda, diterbitkan PN Balai Pustaka pada 1978.

Dradjad H. Wibowo, Anggota DPR.

(70) Maklumat Menteri Penerangan Amir Sjarifuddin mengenai Kemerdekaan Pers

MAKLUMAT ini dikeluarkan pemerintah yang baru terbentuk beberapa bulan. Dikeluarkan pada Oktober 1945, maklumat ini menunjukkan komitmen negara dan pemerintah muda saat itu untuk melindungi pers dalam menjalankan tugas jurnalistiknya. Pemberitaan yang merdeka akan mampu mencerminkan pikiran masyarakat. Nah, pikiran atau pendapat umum inilah yang seharusnya menjadi dasar sebuah pemerintahan bekerja. Dengan demikian, yang berkuasa bukan beberapa orang saja.

Maklumat ini juga menunjukkan para pendiri negara ini sudah memiliki pandangan jauh ke depan. Kemerdekaan pers berfungsi menjaga agar kekuasaan tidak sewenang-wenang. Sayangnya, kemerdekaan pers ini, meski telah sejak awal berdirinya negara ini disuarakan, baru belakangan terasa, terutama setelah jatuhnya pemerintah Orde Baru. Jadi, menurut saya, meskipun banyak orang mengatakan saat ini kebebasan pers sudah kebablasan, saya tidak sepakat. Maklumat ini ada di buku Sejarah Pers Indonesia karangan Soebagijo I.N. terbitan Dewan Pers 1977.

Bachtiar Aly, Guru besar ilmu komunikasi Universitas Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.