Senin, 19 Mei 2008

Seruan Merdeka dari Den Haag

MOHAMMAD Hatta tak pernah membacakan pidato pembelaannya di depan majelis hakim pengadilan Den Haag, Belanda. Saat itu, Maret 1928, menjelang Idul Fitri. Sehari sebelum jadwal pembacaan pleidoinya, hakim memberi tahu kuasa hukum Hatta, J.E.W. Duys, bahwa Hatta cukup menyerahkan naskah pembelaannya. "Ini pertanda baik," ujar Duys menenangkan Hatta.

Benar saja. Majelis hakim menjatuhkan vonis bebas kepada Hatta dan tiga pengurus Perhimpoenan Indonesia-Abdulmajid Djojohadiningrat, Ali Sastroamidjojo, dan Nazir Pamuntjak. Di depan penjara Den Haag yang menyekapnya selama lima setengah bulan, Hatta berfoto bersama tiga advokat Belanda yang membelanya. Seperti biasa, wajahnya kaku, tanpa senyum.

Meski pleidoi Hatta tak pernah dibaca di pengadilan, naskah pembelaan itu bergaung keras di Tanah Air. Pleidoi ini menjadi bahan pelatihan di banyak organisasi pergerakan. "Naskah itu jadi inspirasi di balik proklamasi kemerdekaan," kata sejarawan Taufik Abdullah. "Pidato Bung Hatta penting karena berisi cita-cita masyarakat tentang bangsa macam apa yang hendak kita capai setelah merdeka," ujarnya.

Janji kosong Gubernur Jenderal Hindia Belanda Johan Paul Graaf van Limburg Stirum-lah yang memicu perlawanan Hatta di jantung Belanda. Di hadapan Volksraad pada November 1918, Graaf berjanji akan mengalihkan kekuasaan pemerintahan secara bertahap kepada bumiputra. Janji itu tak pernah dilaksanakan. Akibatnya, pada akhir 1926 Partai Komunis Indonesia mengobarkan pemberontakan di Jawa dan Sumatera.

Pada 1927, Semaun, Ketua Partai Komunis Indonesia yang dibuang ke Belanda, menemui Hatta di Den Haag. Mereka mendiskusikan masa depan gerakan kemerdekaan Indonesia. Beberapa bulan setelah pertemuan, tempat tinggal Hatta dan sejumlah mahasiswa Indonesia digeledah polisi. Hatta dituduh menghasut rakyat untuk melawan kekuasaan sah melalui Indonesie Vrij, majalah terbitan Perhimpoenan Indonesia. Ia diancam hukuman tiga tahun penjara.

Hatta saat itu gagal ditangkap. Oleh koran-koran Belanda, ia diberitakan buron, padahal ia sedang ke Swiss. Pada September 1927, sepulang dari Swiss, Hatta langsung mendatangi kantor polisi. "Melarikan diri? Kami terlalu bangga untuk mau melarikan diri," katanya.

Di dalam penjara, Hatta menyiapkan naskah pembelaannya. Buku rujukan untuk memperkaya naskahnya dikirim dari luar bui. Tapi tak semua referensi yang dimintanya tersedia. Karena itulah, dalam pengantar naskahnya, ia meminta maaf. "Dalam pekerjaan ini, akan tampak kalau ia disusun secara tergesa-gesa.... Dalam rumah penjara, hampir tak ada tersedia bahan bacaan untuk saya," katanya.

Makan waktu sekitar tiga setengah jam jika naskah pembelaan itu jadi dibacakan Hatta di pengadilan. Judulnya tegas: "Indonesie Vrij". Indonesia Merdeka. Judul ini sama dengan nama majalah Perhimpoenan Indonesia yang membikin ia ditangkap. Dari sini saja sudah tampak niatnya menantang dakwaan jaksa.

Dengan cerdik, Hatta memanfaatkan peradilannya sebagai panggung untuk menjelaskan mengapa Indonesia harus-dan pasti akan-merdeka. Dia mengupas ketidakadilan sistem ekonomi, sistem pajak, dan model pendidikan kolonial. Berdasarkan itu, ia menjelaskan bagaimana bangsa Indonesia bisa mencapai kemerdekaan. "Tujuan bersama, kemerdekaan Indonesia, menuntut terwujudnya suatu aksi massa nasionalis yang sadar dan berdiri di atas kekuatan sendiri," tulis Hatta.

Soal kebangsaan, Hatta menyatakan, "Hanya satu Indonesia yang mengesampingkan perbedaan antarkelompok yang dapat mematahkan kekuatan penjajah." Dia yakin benar imaji kebangsaan itu sudah dekat. "Apabila pikiran persatuan Indonesia sudah menjadi milik semua orang, lahirlah nasion Indonesia itu."

Saat menulis pidato ini, Hatta baru berusia 26 tahun.

(58) Indonesie Vrij Tahun terbit: 1928 (dalam buku Karya Lengkap Bung Hatta, Jilid 1: Kebangsaan dan Kerakyatan, LP3ES, 1998)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.