Senin, 19 Mei 2008

Dari Tempat yang Akan Datang

PADA akhirnya kematianlah yang memisahkan mereka. Chairil Anwar mungkin tak pernah bermimpi memiliki cucu, seseorang yang kelak mengagumi sajak-sajaknya. Mochtar Lubis, si wartawan jihad, kini punya pengikut: seorang cucunya berkarier sebagai jurnalis. Mohammad Hatta hanya bisa dikenal Athar, cucu lelakinya, dari foto dan buku-buku.

Pada akhirnya kematianlah yang memisahkan mereka. Para pendiri republik itu pergi dengan cita-cita yang mungkin tak sepenuhnya terlaksana: tentang demokrasi yang tegak berdiri, dan orang ramai hidup tanpa perut keroncong.

Di Karet, di karet (daerahku y.a.d)," kata Chairil. Pada akhirnya kematianlah yang memisahkan mereka.

Surat dari Ternate

oleh: Sangkot Marzuki

KALAU orang Indonesia ditanya siapa pencetus teori evolusi, jawabannya hampir pasti Charles Darwin. Jawaban ini mungkin akan dilengkapi keterangan bahwa teori itu lahir setelah pelayaran Darwin ke Galapagos.

Sebenarnya nama yang lebih tepat disebut adalah Alfred Russel Wallace. Ia menemukan teori ini setelah diilhami oleh keanekaragaman hayati Indonesia, yang disebutnya memiliki dua macam fauna yang sangat berbeda, sebesar perbedaan hewan Afrika dan Amerika Selatan. Bukan karena kebanggaan buta sebagai bangsa Indonesia jika nama Wallace lebih patut disebut, tapi karena demikianlah yang sesungguhnya.

Siapakah Wallace? Mengapa dia terlupakan dan justru Darwin yang mendapat semua kehormatan sebagai pencetus teori akbar tersebut? Hikmah apa yang dapat diambil dari sejarah karya ilmiah Wallace di tanah air kita?

W. J. S. Poerwadarminta Bapak Kamus Indonesia

WILFRIDUS Joseph Sabarija Poerwadarminta (12 September 1904-28 November 1968) masuk angkatan orang Indonesia pertama yang memperkenalkan bahasa Indonesia di luar negeri setelah peristiwa bersejarah Sumpah Pemuda. Ketika menjadi dosen bahasa Melayu di Sekolah Bahasa Asing di Tokyo (1932-1937), ia sering mengatakan kepada orang Jepang bahwa Indonesia sudah punya bahasa nasional sendiri. Barangkali ia mengatakannya dengan begitu saja, tidak berlandaskan sebuah kesadaran politik. Barangkali juga kecintaannya kepada bahasa Indonesialah yang mendorong dia memuliakan bahasanya itu di negeri asing. Tapi kita tahu, baru pada 1938 bahasa Indonesia boleh dipakai dalam sidang-sidang di Dewan Rakyat Hindia-Belanda, yaitu sejak Mohammad Hoesni Thamrin berpidato dengan bahasa itu di sana.

Dalam ingatan kita, Poerwadarminta adalah seorang ilmuwan, bukan politikus. Ia ilmuwan swadidik bersahaja yang berperan besar dalam sejarah perkembangan bahasa Indonesia. Minatnya kepada bahasa sudah terlihat ketika ia berusia sekitar 20 tahun. Sambil mengajar di sebuah sekolah dasar di kota kelahirannya, Yogyakarta, ia mengambil kursus pelbagai bahasa, seperti bahasa Belanda, Inggris, Prancis, Sanskerta, Jerman, Jawa Kuno, Melayu, dan Jepang, sampai ia menguasai semua bahasa itu. Tercatat ia sudah menghasilkan sedikitnya 25 buku sebagian besar berupa kamus lima diktat kuliah bahasa, serta sejumlah tulisan yang tersebar di beberapa media cetak.

Tanda Bangsa Berbudaya

ALFRED Simanjuntak, 87 tahun, terus terang menyatakan kekagumannya pada tokoh satu ini. Saat pencipta lagu Bangun Pemudi Pemuda tersebut masih berusia dua tahun, si tokoh sudah menjadi anggota Volksraad alias parlemen Hindia Belanda. Pada usia 20-an Alfred pernah bertemu dengannya di sebuah gereja di Jalan Kramat, Jakarta Pusat. Berbincang dengannya pun menjadi kemewahan luar biasa. Terlebih bila melihat namanya. “Sudah Todung, Sutan, Gunung, Mulia lagi," kata Alfred.

Rasa hormat Alfred terhadap Profesor Doktor Todung Sutan Gunung Mulia (1896-1966) bukan semata melihat keturunan dan aktivitas politiknya. “Perhatiannya terhadap pendidikan dan agama sungguh luar biasa," ujarnya. “Dialah orang Batak yang paling terhormat." Tak mengherankan bila Alfred menjadi salah satu penggagas untuk mengabadikan namanya menjadi Badan Penerbit Kristen Gunung Mulia pada 1971.

Kisah Atlas dari Amsterdam

AJAKAN itu datang dari sahabat jauh di negeri Belanda, awal 1950. Mattheus van Randwijk, Kepala Redaksi dan Direktur Majalah Mingguan Vrij Nederland, meminta Djamaludin Adinegoro datang ke Belanda. Randwijk punya agenda penting. Bersama Cornelis de Koning, koleganya di Vrij Nederland, ia ingin memperbanyak penerbitan buku untuk Indonesia. Salah satunya membuat atlas.

Mereka mencurahkan energi pada usaha penerbitan dan penjualan buku setelah majalah yang dikelolanya goyah ditinggal pelanggan. Vrij Nederland dianggap terlalu memihak Indonesia.

Adinegoro menerima ajakan Randwijk. Ia rela meninggalkan Mimbar Indonesia, surat kabar yang ikut dirintisnya sejak 1947, karena upaya penerbitan buku itu untuk menjembatani hubungan Indonesia dan Belanda. "Kami sekeluarga sampai boyongan ke Amsterdam," kata Anita Bachtul Chatam, anak kedua Adinegoro, Selasa pekan lalu.

Lawatan ke Pelosok Negeri

SEKELOMPOK wartawan melakukan lawatan ke Sumatera, Singapura, hingga Malaysia pada 1947. Mereka dipimpin seorang pegawai tinggi Departemen Penerangan Republik Indonesia, Parada Harahap. Muhammad Radjab, wartawan kantor berita Antara, kemudian menuliskan perjalanan itu ke dalam sebuah buku, Tjatatan di Sumatera.

Buku itu diterbitkan Dinas Penerbitan Balai Pustaka dan dilansir pertama kali pada 1949. Bentuknya laporan perjalanan, lengkap dengan tanggal peristiwa. Selain Radjab, ikut serta Suardi Tasrif dari harian Berita Indonesia dan Rinto Alwi dari koran Merdeka. Mereka sudah menuliskan laporan perjalanan di koran masing-masing.

Radjab dalam pengantar bukunya menyebutkan, meski tak resmi berbagi tugas, masing-masing penulis melakukan pengamatan yang berbeda. Suardi Tasrif, misalnya, mengamati soal ekonomi, sementara Rinto Alwi lebih berfokus pada masalah politik. Ia sendiri lebih memperhatikan kondisi masyarakat serta kebiasaan dan kehidupan rakyat, yang baru saja merdeka.

Mati Ketawa Keliling Indonesia

SEBUAH tulisan Pramoedya Ananta Toer di koran Bintang Timur pada 1963 menancap di benak Gerson Poyk. Pram, pengasuh pojok kebudayaan Lentera, menganjurkan kepada mereka yang berminat menjadi penulis agar memiliki jiwa nasionalis. "Caranya, kenali Indonesia," kata Gerson, kini 77 tahun.

Maka Gerson pun berhenti mengajar di sebuah sekolah menengah pertama di Ternate, Maluku selain karena gaji guru tidak pasti. Gerson menjajal profesi baru sebagai wartawan Sinar Harapan. Menjadi jurnalis, pikirnya, punya kesempatan mengenali dan berkeliling Indonesia. Tapi hanya tujuh tahun ia bertahan. Alumnus sekolah guru agama di Surabaya ini kemudian menjadi wartawan lepas.

Mulai 1970, tulisan perjalanan Gerson muncul di banyak media. Ia lebih bebas menyambangi tempat-tempat yang belum pernah dikunjungi wartawan. Gerson melaporkan pelbagai hal: dari kisah dua gadis miskin yang menjadi pelacur di Jatiluhur, turis mabuk di Bali, petani karet di sekitar Sungai Kapuas yang terimbas embargo ekonomi Malaysia, hingga upacara adat di Merauke.

Tulisannya ringan dan jenaka, seringan hatinya ketika mengunjungi tempat-tempat itu. Ia tak pernah merencanakan kepergian dengan susah. Tiba-tiba ingin pergi ke Papua, berangkatlah ia ke sana, tak peduli kantong cekak. Gerson biasa mengembara tanpa sepeser pun uang. Ia pernah menjual jaket untuk ongkos pulang dari Bojonegoro, Jawa Timur.

Sepotong Sejarah Jakarta

CETAKAN pertama buku setebal 116 halaman ini diluncurkan pada 1977 oleh penerbit PT Dunia Pustaka Jaya. Sejak awal, Rosihan Anwar, sang penulis, membidik pembaca dari kalangan siswa sekolah dasar dan sekolah menengah pertama. Tak aneh bila bahasa dan penyajiannya dibuat mudah dan tidak berbelit-belit. "Font dan gambarnya juga khas buku untuk anak," ujar wartawan senior Budiman S. Hartoyo, yang juga kolektor buku tua.

Sang penulis, yang saat itu wartawan harian Asia Raya, lalu koran Merdeka, merekam kejadian penting di bulan-bulan pertama setelah Proklamasi. Termasuk beberapa kejadian yang tidak sempat dilaporkan di korannya dulu. "Sensor Jepang saat itu sangat ketat," kata Rosihan.

Tirto dan Koran Pergerakan


GEDUNG Indonesia Menggugat, Bandung, 7 Desember 2007. Artis Dewi Yull tampak terharu menerima kenang-kenangan Panitia Seabad Pers Kebangsaan. Cendera mata tersebut berupa poster buyutnya, R.M. Tirto Adhi Soerjo, yang menegaskan peran tokoh itu di kancah pergerakan nasional Indonesia.

Tirto Adhi Soerjo alias Djokomono merupakan orang pribumi pertama yang mendirikan perusahaan pers. Surat kabarnya, Medan Prijaji, dianggap sebagai surat kabar pertama Indonesia yang pendanaan, pengelolaan, percetakan, penerbitan, dan wartawannya orang Indonesia asli. "Pada masa itu, surat kabar biasanya dimiliki dan dikelola oleh orang Tionghoa, Belanda, atau Indo Belanda," kata wartawan senior Rosihan Anwar.

Cerita dari Tanah Dingin

BERAPA jauhkah jarak Marseille-Paris? Pada 1926, ketika bangsa Indonesia sedang sibuk bergerak", itu bukan pertanyaan mudah. Bacaan terbatas. Koran berbahasa Indonesia bisa dihitung dengan jari. Orang yang pernah menginjak Eropa pun tak banyak.

Tapi pembaca harian Pandji Pustaka tahu: Cuma sejauh Banjarmasin-Long Iram di Kalimantan." Ini kata Adinegoro, yang ketika itu sedang berkelana keliling Eropa. Barangkali ada orang di Long Iram atau Bandjarmasin jang tertawa membatja ini, akan tetapi demikianlah jang sebenarnja," tulisnya, dalam ejaan asli.

Djamaluddin Adinegoro Datuk Maharadjo Sutan bukanlah wartawan Pandji. Dia mahasiswa kedokteran di STOVIA yang gemar menulis. Mula-mula dia menulis untuk majalah Tjahaja Hindia, kemudian Pandji Pustaka.

Dari Angkot hingga Asimilasi

- Apa perbedaannya antara Orde Lama dan Orde Baru sekarang?

+ Ada perubahan, ada kemajuan, tapi tidak banyak.


DIALOG imajiner ini terdapat pada alinea awal Kompasiana edisi 31 Juli 1967. Ketika itu, Orde Baru masih balita. Rubrik itu menyoal keputusan Soeharto menunjuk Roeslan Abdulgani sebagai wakil tetap Indonesia di Perserikatan Bangsa-Bangsa. Padahal banyak pihak tak setuju.

Jadi, kesimpulan kita ialah bahwa dulu kita bungkem, pemerintah jalan terus," tulis kolom itu. Sekarang kita boleh bersuara, tapi pemerintah berjalan terus juga."

Lugas dan kritis, itu ciri Kompasiana, yang pertama kali muncul di harian Kompas pada 4 April 1966. Penulisnya P.K. Ojong, pendiri Kompas selain Jakob Oetama.

Menghadirkan Indonesia

nilah sekelompok wartawan yang menulis tentang Indonesia yang nyata: Tirto Adhi Soerjo, Adinegoro, Rosihan Anwar, Mohammad Radjab, P.K. Ojong, dan Gerson Poyk. Di ujung pena mereka, Nusantara menjadi tanah yang hidup dengan segala pesona dan karut-marutnya--bukan sekadar gugusan pulau yang membisu.

Inilah juga pelopor pertama pembuat atlas berbahasa Indonesia, ensiklopedia berbahasa Indonesia, dan kamus umum bahasa Indonesia. Mereka adalah Adinegoro, Adam Bachtiar, Sutopo, Todung Sutan Gunung Mulia, dan Wilfridus Joseph Sabarija Poerwadarminta.

Jagat Buku Islam dan Kebangkitan Nasional

oleh: Haidar Bagir

"MESKIPUN sains bisa membawa kita ke arah yang berlawanan, kemungkinan amat besar orang akan terus berdoa sampai akhir dunia, kecuali jika tabiat mental mereka berubah ke arah yang tak bisa kita ketahui sekarang. Dorongan untuk berdoa adalah suatu konsekuensi niscaya dari fakta bahwa, meskipun lubuk paling dalam dari diri-diri empiris manusia adalah berupa diri yang bersifat sosial, ia hanya dapat menemukan Socious (kawan agung)-nya yang memuaskan hati di suatu dunia ideal. Demikian psikolog dan filsuf Amerika Serikat, William James, meramalkan kehidupan manusia dalam bukunya tentang pengalaman religius yang kini telah menjadi klasik, Varieties of Religious Experience.

Mungkin cuma sebuah kebetulan bahwa buku tersebut terbit pada 1904, hanya empat tahun sebelum didirikannya Boedi Oetomo, yang diyakini sebagai momentum awal kebangkitan nasional Indonesia.

Kenyataannya, seabad lebih dari itu, tabiat mental manusia tetap tidak berubah-meski sains telah menjadi jauh lebih digdaya dalam semua bidang kehidupan mereka, dan meskipun ia seharusnya makin menggoyahkan keimanan manusia kepada religiusitas yang "tidak saintifik". Tidak seperti James, sosiolog sekaliber Peter Berger pun harus mengoreksi pandangannya tentang agama. Setelah melihat prospek agama akan meredup, dia pun beberapa tahun lalu menerbitkan buku suntingannya yang berjudul The Desecularisation of the World. Hampir di seluruh dunia, agama dan spiritualitas dinyatakannya menunjukkan gejala kebangkitan kembali.

(89) Wiro "Anak Rimba Indonesia"
Penerbit: Liong, Semarang (1956)

SAYA membaca Wiro kira-kira mulai kelas tiga sekolah rakyat. Pada 1957, saya membaca komik itu sampai jilid 10. Saya menangis ketika satu per satu hewan sahabat Wiro tewas ditembak Jepang.

Saya dan teman-teman sekelas menganggap Wiro sebagai Tarzan Indonesia. Tapi, dibandingkan dengan Tarzan, menurut saya, Wiro punya kelebihan. Gambarnya bagus, seperti gambar orang Indonesia. Saya dan teman-teman merasa lebih akrab.

Waktu itu komik dalam negeri bisa bersaing dengan komik luar negeri seperti Tarzan, Roy Rogers, Phantom, Rip Kirby, Superman, atau Flash Gordon. Saya lupa apakah komik luar negeri menjelang akhir 1950-an dilarang atau tidak. Seingat saya, saat itu memang mudah mendapatkan komik dalam negeri.

Bambang Bujono, wartawan senior dan seniman.

(90) Keulana
Penerbit: Firma Harris, Medan (1959)

TAGUAN Hardjo tak asing bagi saya. Ketika berumur delapan tahun, saya membaca karyanya. Sepulang sekolah, saya sempatkan diri menyambangi taman baca Persewaan Indah di kawasan Pakualaman, Yogyakarta. Di situlah kliping komik Taguan Hardjo dari sebuah koran tersusun. Saya lupa nama korannya. Komik utuhnya sangat sulit didapat walaupun sudah diterbitkan secara utuh.

Sungguh inspiratif tokoh dalam komik Taguan. Pendekar itu menjadi teladan bagi saya. Bukan cuma gemar mengembara, kejantanan pendekar ditunjukkan melalui nilai-nilai kejujuran yang diajarkan.

Komik Keulana baru saya baca dua tahun belakangan. Saya tertarik meriset komik itu karena memang hebat. Bagi saya, komik Taguan ajaib. Seperti relief, dan panelnya (bagian cerita) selalu selesai. Ia memiliki kemampuan seni gambar hampir sempurna. Detail dalam melukis perkampungan serta karakter orang sungguh eksotis. Ada sisi romantis alam indah permai dan laga aksinya yang sadistis.

Seno Gumira Ajidarma, penggemar komik.

(91) Matinya Seorang Petani
Penerbit: Majalah Indonesia (1955)

DI tangan Agam Wispi, pesan politik atau ideologi tidak tinggal sebagai slogan-slogan mentah yang kehilangan daya seperti batu apung yang melayang ringan. Pesan politik bukan saja menjadi artistik, tapi juga menjadi lontaran batu granit tajam. Wispi adalah satu dari sedikit seniman Lekra yang mampu memadukan mutu karya dengan ideologi secara pas.

Di Lekra, perdebatan internal tentang bagaimana melahirkan karya realisme sosialis tak pernah kunjung henti. Wispi termasuk pemimpinnya di "lapangan", bersama tokoh seniman lain seperti Amarzan Loebis dan Putu Oka Sukanta.

Karya yang cuma politik atau ideologi tertentu sering kali ditampik di "lingkaran dalam", secara diam-diam atau terang-terangan. Misalnya, karya penyair dadakan dari kalangan pemimpin sering dipertanyakan kelayakan pemuatannya di lembar kebudayaan. Wispi salah satu yang melakukannya dengan lantang. Wispi menganggap ada kecenderungan penggampangan dalam menerapkan ideologi dan artistik dalam sebuah karya.

Intensitas kesenimanan Wispi mirip Chairil Anwar. Chairil pembaru, dan Wispi, yang dalam hal berpakaian jauh lebih necis ketimbang Chairil, juga pembaru.

T. Iskandar Thamrin, sastrawan.

Hilang tapi Terus Berjuang

Apabila usul ditolak tanpa ditimbang suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan dituduh subversif dan mengganggu keamanan maka hanya ada satu kata: lawan!

KATA lawan!" dalam baris terakhir puisi bertajuk Peringatan yang dibuat di Solo pada 1996 itu lebih terkenal daripada penciptanya, Wiji Thukul. Tidak hanya di panggung pembacaan puisi, kata lawan!" sering diteriakkan di berbagai medan demonstrasi sampai sekarang. Kata lawan!" itu bahkan lebih ngetop dibanding judul puisi Thukul.

Kata itu seperti menjadi ikon demonstrasi melawan penguasa. Makin terasa kuat dan relevan karena sang penulis, yang bernama asli Wiji Widodo, sampai sekarang hilang tak tentu rimbanya. Dugaan kuat: Thukul sengaja dihilangkan". Lelaki kelahiran Kampung Sorogenen, Solo, 26 Agustus 1963, itu masih terus dicari keluarganya. Istri dan dua anaknya, Fitri Nganti Wani dan Fajar Merah, terus mempertanyakan nasib penyair mbeling itu.

Di mata Munir, Thukul luar biasa. Kalimat pendek itu menunjukkan pilihan hidup Wiji Thukul. Bukan pilihan yang mudah, Wiji Thukul telah membayarnya dengan mahal, dia telah menjadi korban praktek penghilangan orang," tulis Munir, Direktur Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan, dalam pengantar buku kumpulan puisi Wiji Thukul, Aku Ingin Jadi Peluru. Munir pun kemudian tewas diracun dan kasusnya belum tuntas hingga kini.

Potret Pembangkangan Rendra

TUBUHNYA yang tinggi dengan rambut yang tebal dikibarkan angin itu mampu menyihir para mahasiswa. Dia berdiri di atas panggung kampus sembari tangannya memegang setumpuk kertas berisi puisi yang dibacakannya. Dan Rendra, pemilik tubuh tinggi dan sepasang mata bak elang itu, akan membuang helai demi helai yang dibacakannya itu....

Kita adalah angkatan gagap yang diperanakkan oleh angkatan takabur, Kita kurang pendidikan resmi di dalam hal keadilan, karena tidak diajarkan berpolitik, dan tidak diajar dasar ilmu hukum
Suara yang nyaring, menekan, dan menyihir itulah yang selalu diingat Hendardi, kini 50 tahun. Sajak Anak Muda yang dibawakan Willibrordus Surendra Broto Rendra atau W.S. Rendra, bagi Hendardi, telah menjadi sumber inspirasi melawan rezim Orde Baru. "Waktu itu saya baru masuk menjadi mahasiswa. Kakak angkatan kami ditangkapi dan ditahan, militer masuk kampus," katanya.

Denyut Demonstran dalam Puisi

Anakmu yang berani Telah tersungkur ke bumi Ketika melawan tirani
-Salemba, Taufiq Ismail, 1966

SEBAIT sajak dalam kumpulan puisi Tirani dan Benteng itu menyeruak di tengah pergolakan politik 1966. Penyair Taufiq Ismail menulis puisi itu tatkala suhu politik negeri ini memanas. Gelombang demonstrasi pelajar dan mahasiswa menuntut pembubaran Partai Komunis Indonesia, Kabinet Dwikora, dan penurunan harga-dikenal dengan Tiga Tuntutan Rakyat-sedang marak-maraknya.

Ketika itu Jakarta membara oleh lautan demonstran. Di jalanan Ibu Kota, di tengah ingar-bingar pengunjuk rasa, puisi-puisi Taufiq hadir dalam bentuk stensilan bersama ratusan pamflet dan spanduk, yang meneriakkan protes terhadap pemerintahan Demokrasi Terpimpin di bawah Presiden Soekarno.

Puisi-puisi yang sarat dengan tema sosial itu berisi kecemasan, kesangsian, kebebasan, harapan, cita-cita, dan tekad. Taufiq baru saja dua tahun lulus dari Fakultas Kedokteran Hewan dan Peternakan Universitas Indonesia, dan langsung berada di tengah hiruk-pikuk demonstrasi. Ia mengabadikan momen bersejarah itu melalui puisi-puisi yang ditulis sepanjang Februari-Maret 1966.

Chairil Anwar dan Semangat Kebangsaan

oleh: Arif Bagus Prasetyo

SEMANGAT kebangsaan, atau nasionalisme dan patriotisme, memang seakan melekat pada citra Chairil Anwar (1922-1949). Chairil aktif berpuisi pada zaman revolusi, sebuah kurun mahagenting dalam sejarah bangsa Indonesia dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan. Puisi-puisi awalnya ditulis pada masa pendudukan Jepang dan karya-karya terakhirnya diguratkan pada pengujung dasawarsa 1940-an.

Kepenyairan Chairil bersinar ketika Indonesia masih "bangsa muda menjadi, baru bisa bilang 'aku'" (Buat Gadis Rasid) sehingga masih harus berjuang keras mempertahankan diri dari berbagai kekuatan eksternal dan internal yang ingin menghapus eksistensinya. Chairil semasa hidupnya konon bergaul dengan para tokoh elite pejuang-pendiri negara-bangsa Indonesia, seperti Bung Karno dan Bung Sjahrir.

Kritikus H.B. Jassin (almarhum) menobatkan Chairil sebagai "Pelopor Angkatan 45", sebuah periodisasi sastra(wan) Indonesia yang dinamai dengan angka keramat tahun kemerdekaan Republik Indonesia. Dan yang terpenting, sejumlah puisi Chairil memang jelas-jelas mengumandangkan spirit perjuangan dan kejuangan bangsa.

Itulah kiranya sebagian faktor yang membuat Chairil cenderung dinilai sebagai sosok penyair yang, lebih daripada penyair Indonesia lainnya di sepanjang sejarah, paling representatif membawa pijar semangat kebangsaan. Banyak sudah pakar sastra Indonesia yang menyepakati bahwa nasionalisme/patriotrisme adalah bagian penting dari riwayat Chairil sang Penyair.

Puisi: Roh Sebuah Gerakan

Puisi-puisi itu mengembuskan keberanian. Pada 1966, tatkala mahasiswa tertembak mati, sajak-sajak Tirani dan Benteng karya Taufiq Ismail adalah sebuah energi. Ketika pada 1978 kampus-kampus bergolak, sajak-sajak pamflet Rendra turut membakar, memberikan nyali kepada mahasiswa. "Aku tulis pamplet ini, karena lembaga pendapat umum ditutupi jaring labah-labah...." Adapun puisi Wiji Thukul paling populer dibacakan dalam rangkaian demonstrasi pada 1990-an: "Hanya satu kata: Lawan".

Inilah buku-buku puisi yang ikut berperan dalam mengkritik rezim. Kumpulan puisi yang mengikuti jejak, sajak-sajak si binatang jalang Chairil Anwar, yang kami anggap dari tahun 1945-an sampai kini pun mampu memberikan rasa perlawanan.

Selain itu, kami juga menyajikan komik yang dalam pandangan kami mampu membuat imajinasi anak-anak pada zamannya melayang pada sikap antikolonial.

Dari Perbendaharaan Lama

oleh: Taufik Abdullah

ALKISAH, tersebutlah perkataan bahwa Syekh Shaqiq Zahid memberikan nasihat kepada Sultan Harun al-Rasyid.

"Ya, Amirul Mukminin, ketahuilah olehmu yang mata air itu engkau juga dan segala menteri dan hulubalang dan lain daripada itu seperti segala sungai juga umpamanya. Jikalau mata air itu suci dan segala sungai itu keruh tiada mengapa. Tetapi jika mata air itu keruh dan segala sungai itu suci tiada berguna."

Maka sangatlah terharu Sultan mendengar perkataan ini karena Baginda merasakan juga akan kebenarannya. Syekh pun berkata lagi bahwa adapun "mata air" itu pangkal segala-galanya, karena ia adalah Sultan Khalifatur rahman dan Sultan Zilu'l-lahi fi-l alam. Sebab, jika tidaklah demikian halnya, "Raja itulah bayang-bayang iblis dan khalifah seteru Allah Ta'ala jua adanya." Tapi, walaupun raja itu "adil" dan kekuasaannya pun besar pula, "sungai-sungai" harus sadar bahwa raja tidak lebih daripada "hamba Allah", yang telah dikurniai Allah "kerajaan" dan "kebesaran". Karena itulah mereka harus menjaga kesucian atas kepercayaan yang telah diberikan Allah itu.

(75) Perjuangan Kita Publikasi: Berbentuk pamflet mulai 14 November 1945. Pusat Dokumentasi Politik Guntur menerbitkan ulang pada 2001.

SUTAN Sjahrir menulis dalam salah satu pamflet: "Pemerintahan harus di-demokratiseer." Sesudah Proklamasi dikumandangkan, pamflet tersebut makin sering ditulis. Menurut Sjahrir, risalah itu adalah ikhtiar mengupas perkara pokok dalam perjuangan.

Perjuangan Kita membuat Sjahrir tampak berseberangan dengan Soekarno, yang terobsesi pada persatuan dan kesatuan. Sjahrir justru menulis, "Tiap persatuan hanya akan bersifat taktis, temporer, dan karena itu insidental. Usaha-usaha untuk menyatukan secara paksa hanya menghasilkan anak banci. Persatuan semacam itu akan terasa sakit, tersesat, dan merusak pergerakan."

Sjahrir banyak mengkritik sejumlah elite yang dianggapnya tidak pantas duduk dalam pemerintahan. "Hal itu terkait hubungan mereka dengan pihak penjajah Jepang," kata Ahmad Mansur Suryanegara, sejarawan Universitas Padjadjaran, Bandung. Pamflet Sjahrir membuat kalangan muda menjadi tergugah nasionalismenya.

(76) Melawan Melalui Lelucon Publikasi: Majalah Tempo 1975-1983. Kumpulan artikel diterbitkan Pusat Data dan Analisa Tempo tahun 2000.

KUMPULAN tulisan Abdurrahman Wahid di majalah Tempo ini terentang antara tahun 1975 dan 1983. Temanya mulai dari politik, sosial, ekonomi, budaya, Islam, sampai pesantren. Pada periode itu, Orde Baru makin menunjukkan ototnya. "Pemerintah melakukan deideologisasi Islam," kata Ahmad Suaedy, Direktur The Wahid Institute.

Merogoh Hati Si Bung

"Kita sama tua dengan revolusi. Kita anak kandung revolusi! Di manakah Harian Rakjat dan golongannja pada petjahnja Revolusi 45 dan waktu berhadapan dengan kolonialisme Belanda?"...

PERNYATAAN gagah dan tudingan panas yang dimuat surat kabar Merdeka pada "Djumat, 3 Djuli 1964" itu mengarah ke Harian Rakjat. Ketika itu, silat kata di kedua surat kabar tersebut sudah hampir berlangsung satu bulan. Nyaris menggapai klimaks.

Sehari sebelumnya, Harian Rakjat memuat tulisan panjang bertajuk "Merdeka Sudah Jelas Sekali Membela Tuan Tanah". Lewat tulisannya itu, koran corong Partai Komunis Indonesia ini menangkis tudingan Merdeka yang menganggapnya sebagai "kaum rebelli" alias pembangkang.

Pergolakan yang Tak Pernah Padam

BUKU kecil berwarna hijau dengan gambar kepalan tangan yang gempal di sampulnya itu saya kenal pertama kali sewaktu masih belajar di pesantren pada awal 1980-an. Saya melihat sejumlah santri dengan sembunyi-sembunyi membaca buku itu. Agar tak ketahuan, mereka menaruh buku itu di sela-sela kitab berbahasa Arab. Dari luar, mereka tampak seolah-olah membaca kitab, padahal sedang menikmati sebuah buku yang dianggap "berbahaya" oleh banyak tokoh Islam.

Buku Pergolakan Pemikiran Islam yang berisi catatan harian Ahmad Wahib itu sudah menimbulkan "pergolakan" yang hebat di kalangan Islam sejak diterbitkan oleh LP3ES untuk pertama kali pada 1981. Kegemparan yang ditimbulkan buku ini melanjutkan heboh serupa yang disulut oleh pidato Nurcholish Madjid pada Januari 1970. Baik Wahib maupun Cak Nur lahir dari rahim yang sama, yakni Himpunan Mahasiswa Islam, organisasi mahasiswa Islam terbesar saat itu.

Gagasan Wahib dan Cak Nur memang menimbulkan kegemparan karena menabrak sejumlah doktrin yang sudah dianggap selesai. Sebaliknya, di mata anak-anak muda seperti mereka, doktrin-doktrin itu justru dipandang sebagai kebuntuan. Keprihatinan Wahib dan Cak Nur sebetulnya sederhana: kenapa Islam berdiri di luar perubahan-perubahan sosial yang terjadi, tanpa bisa memberikan arahan? Inti keprihatinannya satu: kontekstualisasi-bagaimana Islam nyambung dan relevan dengan perubahan-perubahan yang terus terjadi, bukan agama antik yang hanya peduli pada siksa kubur, neraka, surga, dan bidadari.

Bertukar Gagasan di Jalan Sunyi

Dua kepala lebih baik dari satu.

Dimulai dari Soetatmo Soerjokoesoemo yang beradu gagasan soal nasionalisme dengan Tjipto Mangoenkoesoemo pada 1918. Lalu Sanusi Pane dan kawan-kawan berdebat soal kebudayaan dengan Sutan Takdir Alisjahbana pada 1935. Hampir 30 tahun kemudian, Njoto berpolemik dengan Burhanudin Muhammad Diah soal manifesto politik Soekarno.

Di sudut lain, tak hirau oleh tempik sorak perdebatan, ada yang memilih jalan sunyi: menulis catatan harian. Soe Hok Gie dan Ahmad Wahib, untuk menyebut dua di antaranya. Tapi pengaruh catatan itu merentang jauh bertahun-tahun kemudian, melampaui zamannya. Semuanya, langsung atau tidak, membentuk konsep "Indonesia" di kepala kita.

Catatan Abadi Para Demonstran

HASIL suntingan Ismid Hadad dan Fuad Hashem sudah kelar. Buku Catatan Seorang Demonstran siap naik cetak pada 1972. Tapi buku yang berisi kumpulan catatan harian Soe Hok Gie itu akhirnya masuk laci. "Gie telanjang menyebut sejumlah nama yang dianggapnya bobrok. Padahal situasi sosial politik pada saat itu masih rawan," kata Daniel Dhakidae, salah seorang penggagas penerbitan buku tersebut.

Gagasan itu datang dari Yayasan Mandalawangi, yang didirikan teman-teman Gie. Untuk mengenang salah satu tokoh demonstran angkatan 1966 itu, mereka berencana menerbitkan catatan harian yang ditulisnya sejak dia berumur 15 tahun hingga 8 Desember 1969. Sayang, buku tersebut urung terbit. Baru 11 tahun kemudian, Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) bisa menerbitkan buku tersebut. Itu pun bukan dari naskah asli, tapi dari hasil fotokopi yang dimiliki Daniel.

Surat tentang Kebebasan dan Cita-cita

JEPARA, 8 Agustus 1900. Rosa Manuela Abendanon dan suaminya, seorang pejabat Hindia Belanda, Direktur Kementerian Pengajaran, Ibadat, dan Kerajinan, mampir ke kabupaten itu. Mereka bertemu dengan keluarga Bupati RMAA Sosroningrat, termasuk Kartini dan dua saudaranya-Roekmini dan Kardinah-dan menghabiskan dua malam bersama keluarga itu.

Sejak itu, Rosa Manuela Abendanon memperoleh gambaran seorang perempuan ningrat Jawa yang gelisah. Melalui surat-menyurat intensif, ia melihat gairah yang begitu tinggi untuk menuntut ilmu di Negeri Belanda. Juga pandangannya yang kritis terhadap sepak terjang pemerintah Hindia Belanda yang diskriminatif terhadap kaum pribumi di lingkungan sekitar dirinya, dan terhadap budaya aristokratik yang mengekang.

Ya, dia menulis soal kehidupan rakyat yang terbelakang dan minimnya pengajaran bagi para perempuan. Dia menggambarkan penderitaan perempuan Jawa yang terbelenggu oleh tradisi, dilarang belajar, dipingit, dan harus siap berpoligami dengan laki-laki yang tidak mereka kenal. Kartini berbicara tentang keinginannya mendobrak tradisi yang menghambat kemajuan. Dia akhirnya menyimpulkan: pendidikan mutlak perlu untuk mengangkat derajat perempuan Indonesia. Pengajaran kepada perempuan, secara tidak langsung, meningkatkan martabat bangsa.

Negara tanpa Rakyat?

oleh: Parakitri T. Simbolon

TIDAK SULIT membicarakan pergerakan kebangsaan kita menurut kajian sarjana asing. Pilihan sangat banyak, baik dalam bentuk, cakupan kurun waktu, maupun sudut pandang. Yang sulit adalah menemukan satu-dua perkara yang terus mengusik rasa ingin tahu setelah selesai membaca sejumlah kajian, sendiri-sendiri ataupun serangkaian, ibarat seutas benang merah yang menjelujuri permasalahan gerakan kebangsaan kita selama ini. Ini sulit, karena benang merah menuntut kesinambungan sejumlah kajian, padahal satu kajian lebih sering menolak atau mengubah kajian lain.

Teks 60-70

(60) Dekrit Presiden 5 Juli 1959

DEKRIT ini merupakan keputusan Presiden Soekarno membubarkan lembaga tertinggi negara Konstituante, hasil pemilihan umum 1955. Lembaga itu dianggapnya gagal menghasilkan konstitusi baru untuk menggantikan Undang-Undang Dasar Sementara 1950. Saat itu terjadi perbedaan pandangan ideologi yang menajam antaranggota Konstituante mengenai dasar negara, apakah berdasarkan agama atau bukan. Dekrit ini mengakhiri perbedaan itu dan dianggap sebagian kalangan sebagai penyelamatan negara.

Namun, ini bukannya tanpa masalah. Keputusan kembali ke Undang-Undang Dasar 1945 itu membajak demokrasi karena akhirnya memunculkan demokrasi terpimpin. Kekuasaan negara jadi terpusat dan tepersonifikasi dalam sosok Soekarno. Ide ini juga tampaknya menginspirasi Presiden Abdurrahman Wahid saat dia mengeluarkan dekrit membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat dan Majelis Permusyawaratan Rakyat pada 2001.

Indra Jaya Piliang, Peneliti Centre for Strategic and International Studies.

(61) Garis-Garis Besar Haluan Negara

GARIS-GARIS Besar Haluan Negara adalah produk berupa ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat yang menjadi panduan bagi pemerintah Orde Baru dalam kurun 1973-1998. Meski dibuat Majelis, materinya berasal dari pemerintah. Karena itu, Majelis tidak independen dari intervensi penguasa saat itu. Untuk Garis-Garis Besar Haluan Negara 1993, teksnya diterbitkan dalam bentuk buku saku setebal 603 halaman oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Ketetapan Garis-Garis Besar ini menjadi landasan penyusunan rencana pembangunan lima tahun Presiden Soeharto. Isinya soal stabilitas politik nasional, pemerataan ekonomi, pendidikan untuk semua, dan keamanan negara. Kalau dilaksanakan, kita semua tentu sudah berada di surga. Namun, ternyata sifatnya lebih berupa retorika dan menjebak. Misalnya, kalau berbicara mengenai stabilitas politik, yang dimaksud tak lain adalah stabilitas kekuasaan penguasa. Pemerataan ekonomi malah ditafsirkan dalam bentuk iuran pengusaha. Ini menjadi bahan indoktrinasi penguasa otoriter kepada masyarakat. Sejak pemerintahan saat ini, panduan itu diganti dengan Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang ditetapkan pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat tiap tahun.

J. Kristiadi, Peneliti Centre for Strategic and International Studies.

(62) Pidato B.J. Habibie di Bonn, Jerman, pada 14 Juni 1983:
Beberapa Pemikiran tentang Strategi Transformasi Industri Suatu Negara Berkembang

IDE pokok yang ingin disampaikan B.J. Habibie sebenarnya sederhana saja. Pidato setebal 31 halaman dengan cover berlogo burung garuda tanpa penerbit yang ditulis dalam bahasa Jerman, Inggris, dan Indonesia ini intinya mengenai pengembangan ekonomi suatu negara bergantung pada pengembangan teknologinya. Ide tersebut pada saat itu merupakan sesuatu yang baru bagi negara kita. Sebab, sebelumnya, konsentrasi pengembangan ekonomi kita tak dikaitkan dengan teknologi, melainkan produksi saja. Padahal, di banyak negara, teknologi menjadi motor penggerak ekonomi nasional. Jika pengembangan teknologi sebuah negara lemah, ekonominya akan kalah bersaing. Habibie mencoba mengintegrasikan konsepnya ini dengan pendirian badan usaha milik negara yang berfokus pada pengembangan teknologi, seperti PT Nurtanio (sekarang PT Dirgantara Indonesia). Sayangnya, pascakrisis, ekonomi kita masih berkutat pada sektor jasa dan bukan pada pengembangan manufaktur.

Umar Juoro, Senior Fellowship di Habibie Center.

(63) Seandainya Aku Seorang Belanda (Als Ik Eens Nederlander Was)

KI Hajar Dewantara menulis artikel tersebut di surat kabar de Expres milik Douwes Dekker, seorang intelektual Belanda yang pro-Indonesia, pada 1913. Artikel yang ditulis dalam bahasa Belanda itu menimbulkan keguncangan. Gubernur Jenderal Hindia Belanda ketika itu, Idenburg, sangat marah kepada Ki Hajar sehingga menjatuhkan hukuman buang tanpa lewat proses pengadilan. Ki Hajar lalu diasingkan ke Pulau Bangka.

Saya melihat isi tulisannya sendiri sangat mengena bagi siapa saja dari semua bangsa. Sangat menghunjam. Bagaimana mungkin Belanda meminta bangsa Indonesia membiayai dan merayakan hari kemerdekaan negara itu dari penjajahan, sedangkan pada saat yang sama melakukan penjajahan terhadap bangsa kita. Ketika itu, gaung tulisannya sangat kuat bagi kalangan intelektual yang kebanyakan mampu berbicara bahasa Belanda. Artikel ini menjadi inspirasi bagi bangsa kita untuk merdeka seperti si penjajah. Cuma, kita pernah enggak ya berpikir, jangan-jangan ada daerah di Indonesia yang masih merasa diperlakukan sama seperti itu karena merasa tertinggal dalam pembangunan nasional.

Anies Baswedan, Rektor Universitas Paramadina.

(64) Pidato Lahirnya Pancasila

SOEKARNO menyampaikan pidato lahirnya Pancasila secara lisan pada 1 Juni 1945 dalam sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia. Intinya, ia menjabarkan dasar negara yang dibutuhkan Indonesia. Soekarno menyampaikan secara sistematis lima sila yang belakangan disebut sebagai Pancasila. Dalam pidatonya, ia menyebut kebangsaan Indonesia sebagai dasar pertama dan pulau Nusantara sebagai satu kesatuan, diapit dua samudra dan dua benua. Pidato itu lalu dibahas dalam Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia yang dibentuk kemudian dan diketuai Soekarno dan wakilnya, Mohammad Hatta. Panitia Persiapan kemudian merumuskan Pancasila dengan rumusan dan urutan yang berbeda, tapi esensinya serupa. Isinya sebenarnya tidak baru karena sudah berulang-ulang diucapkan Soekarno di berbagai kesempatan. Pidato itu lebih sebagai ringkasan idenya, yang sampai kini dipakai sebagai dasar negara kita. Pidato ini dibukukan dengan judul Uraian Pancasila, penerbit Mutiara, pada 1980.

Anhar Gonggong, Sejarawan Universitas Indonesia.

(65) Hasil-hasil Seminar Ekonomi Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia 1966

SEMINAR Ekonomi, Keuangan, dan Moneter ini berlangsung di kampus Universitas Indonesia Salemba, Jakarta, diadakan oleh Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia Fakultas Ekonomi pada 10 Januari 1966. Saya dan Anwar Nasution ikut sebagai panitia. Pada hari yang sama mahasiswa melakukan aksi demonstrasi besar-besaran ke Istana Negara menuntut Presiden Soekarno memperbaiki kondisi ekonomi yang terpuruk. Seminar tersebut menampilkan sejumlah pakar ekonomi, seperti Widjojo Nitisastro, Mohammad Sadli, dan Ali Wardhana. Belakangan, hasil seminar itu menjadi landasan program ekonomi Orde Baru. Hasil seminar ini dibukukan dengan judul The Leader, The Man, & The Gun terbitan Sinar Harapan 1984. Judul ini berasal dari makalah Hamengku Buwono IX, yang pada saat itu menjadi Ketua Badan Pemeriksa Keuangan.

Syahrir, Anggota Dewan Pertimbangan Presiden.

(66) Pidato Nirwan Dewanto Saat Kongres Kebudayaan IV

PIDATO Nirwan Dewanto saat Kongres Kebudayaan IV di Jakarta sungguh menggugah banyak penggiat seni saat itu. Kongres berlangsung pada 29 Oktober hingga 3 November 1991. Saking terpukaunya, Jakob Oetama, pendiri harian Kompas, yang menjadi moderator pada sesi itu, sampai mengatakan, Kebo nyusu kuda." Maksudnya, orang-orang yang lebih tua seperti dirinya sudah saatnya belajar dari yang lebih muda, yaitu Nirwan. Dalam pidatonya, Nirwan mengangkat isu arah budaya Indonesia ke depan. Selain mengembangkan semangat pluralisme dalam berkarya, menurut Nirwan, ada satu lagi yang perlu menjadi perhatian para penggiat seni, yaitu multikulturalisme. Artinya, karya seni dan penggiat seni perlu menghargai perbedaan etnis yang menjadi ciri khas budaya Tanah Air dan menilainya sebagai produk budaya yang setara. Teks pidato ini diterbitkan dalam buku berjudul Senjakala Kebudayaan oleh penerbit Bentang pada 1996.

Budi Darma, Sastrawan, Penyair, Rektor Universitas Negeri Surabaya.

(67) Manifes Kebudayaan

PERNYATAAN ini merupakan bentuk perlawanan terhadap upaya pengekangan berkarya oleh kekuasaan negara. Kami menolak politik sebagai panglima. Saat itu, Lembaga Kebudayaan Rakyat, dengan Pramoedya Ananta Toer-nya, sedang mengembangkan Realisme Sosialis" ala Stalin yang berupaya membelenggu kehidupan seni. Jika ada yang tidak mengikuti garis Realisme Sosialis" ini, seperti kata-kata Pramoedya sendiri, harus dibabat. Para penentang Manifes Kebudayaan lalu melakukan stigmatisasi untuk membungkam dan mengisolasi kami.

Pengaruh yang muncul dari Manifes adalah memberikan kesadaran bahwa berseni dan bersastra merupakan bagian dari perjuangan emansipasi. Itu dapat dilakukan jika seniman memiliki kebebasan berkreasi, bukan justru menjadi sekadar alat kekuasaan. Manifes sebenarnya tidak mempersoalkan paham kebangsaan, tapi lebih pada menyuarakan humanisme universal. Manifes ditandatangani 20 seniman pada 17 Agustus 1963. Teksnya yang terdiri atas empat paragraf lalu terbit di majalah Sastra pada September 1963.

Goenawan Mohamad, Sastrawan.

(68) Surat Kepercayaan Gelanggang

INI adalah buah pemikiran sastrawan 1945 yang kemudian dimuat dalam majalah Siasat pada 22 Oktober 1950. Pernyataan satu halaman ini keluar saat terjadi polemik kebudayaan antara Sutan Takdir Alisjahbana dan Ki Hajar Dewantara. Sutan Takdir berkiblat ke Barat sebagai arah pengembangan budaya nasional dan menyerapnya sebanyak mungkin. Adapun bagi Ki Hajar, pengembangan budaya nasional bertumpu pada puncak-puncak kebudayaan daerah. Pernyataan dalam Surat Kepercayaan Gelanggang ini justru berupaya mencari jalan tengah. Salah satu pernyataannya, misalnya, Kami adalah ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia." Ini artinya membuka diri terhadap budaya dari luar dan pada saat yang sama menghargai perbedaan budaya yang ada di dalam negeri. Paham kebangsaan harus dapat menghargai keberagaman dan kebebasan berekspresi. Sayangnya, pada kondisi sekarang ini justru terjadi gangguan terhadap keberagaman, misalnya upaya pelarangan Ahmadiyah dan ancaman menggugat lagu kritis kelompok musik Slank soal korupsi di parlemen.

Sitok Srengenge, Redaktur Jurnal Kebudayaan Kalam.

(69) Sumpah Pemuda

SUMPAH tiga paragraf yang dibacakan dalam Kongres Pemuda Kedua, Ahad, 28 Oktober 1928, di gedung Oost-Java Bioscoop, Jakarta, itu mengentak kesadaran para pemuda dari beragam latar belakang etnis. Sebelumnya, mereka terkotak-kotak dalam kelompok pemuda yang bersifat kesukuan. Sumpah ini lalu menginspirasi kaum muda dan ujung-ujungnya mengkristal menjadi upaya bersama mencapai kemerdekaan pada 17 Agustus 1945. Sekiranya tidak ada sumpah ini, bisa jadi Negara Kesatuan Indonesia tidak terbentuk saat Belanda pergi. Yang mungkin terjadi malah terbentuknya negara kecil yang terpisah-pisah.

Sekarang, semangat ini memang tidak begitu bergaung lagi karena sudah banyak pemuda yang melupakannya. Padahal keinginan menegakkan hak asasi manusia, antikorupsi, dan disiplin seharusnya menjadi semangat para pemuda saat ini. Uniknya, beberapa gerakan separatis di Tanah Air menjadi bentuk protes para pemuda terhadap ketidakadilan negara di wilayah mereka masing-masing. Ini dibukukan dengan judul Bunga Rampai Soempah Pemoeda, diterbitkan PN Balai Pustaka pada 1978.

Dradjad H. Wibowo, Anggota DPR.

(70) Maklumat Menteri Penerangan Amir Sjarifuddin mengenai Kemerdekaan Pers

MAKLUMAT ini dikeluarkan pemerintah yang baru terbentuk beberapa bulan. Dikeluarkan pada Oktober 1945, maklumat ini menunjukkan komitmen negara dan pemerintah muda saat itu untuk melindungi pers dalam menjalankan tugas jurnalistiknya. Pemberitaan yang merdeka akan mampu mencerminkan pikiran masyarakat. Nah, pikiran atau pendapat umum inilah yang seharusnya menjadi dasar sebuah pemerintahan bekerja. Dengan demikian, yang berkuasa bukan beberapa orang saja.

Maklumat ini juga menunjukkan para pendiri negara ini sudah memiliki pandangan jauh ke depan. Kemerdekaan pers berfungsi menjaga agar kekuasaan tidak sewenang-wenang. Sayangnya, kemerdekaan pers ini, meski telah sejak awal berdirinya negara ini disuarakan, baru belakangan terasa, terutama setelah jatuhnya pemerintah Orde Baru. Jadi, menurut saya, meskipun banyak orang mengatakan saat ini kebebasan pers sudah kebablasan, saya tidak sepakat. Maklumat ini ada di buku Sejarah Pers Indonesia karangan Soebagijo I.N. terbitan Dewan Pers 1977.

Bachtiar Aly, Guru besar ilmu komunikasi Universitas Indonesia.

Tentang Gagasan Pluralis

PADA 2 Januari 1970, di sebuah diskusi di Jalan Menteng Raya 58, seorang pemuda mengungkapkan sesuatu yang tidak saja baru bagi audiens di hadapannya, tapi juga bagi dirinya. Ia Nurcholish Madjid, usianya 31 tahun, dikenal karena aktivitasnya di Himpunan Mahasiswa Islam dan tulisan-tulisannya tentang Islam.

Hari itu ia membawakan makalah dengan judul "Keharusan Pembaharuan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat". "Sekularisasi tidaklah dimaksudkan penerapan sekularisme dan mengubah kaum muslimin menjadi kaum sekularis. Tapi dimaksudkan untuk menduniakan nilai-nilai yang sudah semestinya bersifat duniawi dan melepaskan umat Islam dari kecenderungan untuk mengukhrowikannya," begitu ia mencoba menjelaskan posisinya.

Nurcholish mungkin sudah berubah. Dua tahun lalu ia dalam sebuah tulisannya menggarisbawahi perbedaan antara westernisasi dan modernisasi dalam Modernisasi Adalah Rasionalisasi, Bukan Westernisasi. Dan kali itu, ia menyodorkan sekularisasi sebagai solusi. Sebagian orang meliriknya sebagai mujadid. Tapi sebagian lagi, termasuk di antaranya para modernis, memandangnya telah melangkah terlalu jauh. Bahkan Menteri Agama pertama, Profesor H M. Rasjidi, menganggapnya terpengaruh doktrin Barat.

Seruan Merdeka dari Den Haag

MOHAMMAD Hatta tak pernah membacakan pidato pembelaannya di depan majelis hakim pengadilan Den Haag, Belanda. Saat itu, Maret 1928, menjelang Idul Fitri. Sehari sebelum jadwal pembacaan pleidoinya, hakim memberi tahu kuasa hukum Hatta, J.E.W. Duys, bahwa Hatta cukup menyerahkan naskah pembelaannya. "Ini pertanda baik," ujar Duys menenangkan Hatta.

Benar saja. Majelis hakim menjatuhkan vonis bebas kepada Hatta dan tiga pengurus Perhimpoenan Indonesia-Abdulmajid Djojohadiningrat, Ali Sastroamidjojo, dan Nazir Pamuntjak. Di depan penjara Den Haag yang menyekapnya selama lima setengah bulan, Hatta berfoto bersama tiga advokat Belanda yang membelanya. Seperti biasa, wajahnya kaku, tanpa senyum.

Meski pleidoi Hatta tak pernah dibaca di pengadilan, naskah pembelaan itu bergaung keras di Tanah Air. Pleidoi ini menjadi bahan pelatihan di banyak organisasi pergerakan. "Naskah itu jadi inspirasi di balik proklamasi kemerdekaan," kata sejarawan Taufik Abdullah. "Pidato Bung Hatta penting karena berisi cita-cita masyarakat tentang bangsa macam apa yang hendak kita capai setelah merdeka," ujarnya.

Setelah Malam yang Genting

"SAUDARA-saudara sekalian! Saya telah minta Saudara-saudara hadir di sini untuk menyaksikan satu peristiwa mahapenting dalam sejarah kita. Sekarang tibalah saatnya kita benar-benar mengambil nasib bangsa dan nasib tanah air di dalam tangan kita sendiri," suara Soekarno terdengar mantap. Di hadapannya, orang berkerumun dengan wajah harap-harap cemas. Jumlahnya tak sampai seratus. Mohammad Hatta, wakilnya di Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia, berdiri sedikit di belakangnya. Hari itu Jumat, 17 Agustus 1945, pukul 10.00 lebih sedikit.


Wajah Soekarno pagi itu agak pucat. Semalam suntuk, bersama Hatta dan Achmad Soebardjo, tokoh pergerakan yang sehari kemudian didaulat menjadi Menteri Luar Negeri pertama, dia begadang mempersiapkan naskah Proklamasi. Naskah itu baru kelar menjelang terang tanah.

Tabuh Kata Mengubah Kita

Pernah ada suatu masa dalam sejarah, makna tetabuhan kata-kata yang diucapkan dengan menggelegar membuat kita paham: siapa kita, ke mana kita hendak menuju. Dari sanalah sekelumit sejarah kebangsaan kita dibentuk, dari deklarasi "Seandainya Aku Seorang Belanda"-"Als Ik Eens Nederlander Was"- Ki Hajar Dewantara pada 1913 hingga pidato kebudayaan Nirwan Dewanto 17 tahun lalu. Rasanya sudah lama sekali kita tidak mendengar maklumat pemikiran yang membuat kita tercenung dan berpikir...

Mencari Bangsa dalam Bahasa

Ignas Kleden 

DALAM suatu retrospeksi, kita dapat mengatakan sekarang bahwa perjuangan kemerdekaan Indonesia mula pertama bersemi sebagai perjuangan untuk mengukuhkan rasa kebangsaan. Namun, pengertian tentang bangsa dan wujudnya berubah dari waktu ke waktu sesuai dengan perkembangan sosial politik.

Dari khazanah sastra dan budaya Melayu lama ada peribahasa yang sudah dikenal umum bahasa menunjukkan bangsa". Ada pula ungkapan orang berbangsa". Jelas bahwa kata bangsa" dalam ungkapan-ungkapan tersebut tak ada sangkut-pautnya dengan kebangsaan, karena bangsa" dalam konteks itu menunjukkan keturunan orang baik-baik, yang jelas bibit, bebet, dan bobot"-nya, yaitu mereka yang termasuk dalam atau berada dekat dengan suatu nobility dan mendapat sebutan bangsawan. Dalam arti itu, orang biasa, rakyat kebanyakan, para commoners dianggap tidak termasuk dalam golongan orang berbangsa".

(51) Jalan Tak Ada Ujung
Penerbit: PT Dunia Pustaka Djaya, Jakarta (1952)

MALAM di Pasar Senen. Di sebuah restoran, Guru Isa bersama Hazil dan Rakhmat menanti serdadu Belanda keluar dari Bioskop Rex. Lalu, terdengar dua kali ledakan. Di kemudian hari, Guru Isa dan Hazil tertangkap. Terkuaklah siapa di antara mereka yang betul-betul merdeka".

Menurut rohaniawan Mudji Sutrisno, novel karya Mochtar Lubis ini memotret kekacauan setelah 1945. Pesannya: jalan untuk merdeka merupakan lorong panjang yang gelap pekat. Perlu upaya keras melepas belenggu ketakutan, juga kemunafikan. Kebangkitan diperlihatkan oleh sosok Guru Isa yang keluar dari kepengecutan," kata Mudji.

Banyak tulisan mengulas karya ini, seperti M.S. Hutagalung, H.B. Jassin, dan A. Teeuw mengenai gaya bahasa, sosiologi, atau perwatakan. Ada juga telaah dari sudut filsafat eksistensialisme. Menurut Mudji, ceritanya sangat kontekstual dengan kondisi saat ini.

Hamka Menggebrak Tradisi

SEPUCUK surat mampir di meja Buya Hamka suatu siang pada 1938. Pengirimnya pemuda yang mengungkapkan kesannya pada novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck karya Hamka. Pemuda itu mengaku telah membaca karya itu berulang-ulang. Seakan-akan Tuan menceritakan nasibku sendiri," demikian tulis pemuda itu.

Banyak lagi surat dan telegram senada yang dialamatkan ke penulis bernama lengkap Haji Abdul Malik Karim Amrullah itu. Maklum saja, penggemarnya banyak. Sebelum buku itu diterbitkan Balai Pustaka pada 1938, Tenggelamnya Kapal dimuat dalam bentuk cerita bersambung di Pedoman Masyarakat, Medan, majalah mingguan yang dipimpin Hamka sendiri.

Yunan Nasution, kolega Hamka di Pedoman, mempunyai kisah tentang cerita bersambung itu. Setiap Rabu malam, saat terbitnya mingguan itu, di stasiun Kutaraja (Banda Aceh) banyak orang menunggu. Bukan hanya para agen penjual majalah, ratusan pembaca yang sudah tak sabar menanti kelanjutan Van Der Wijck turut menanti.

Cerita itu sebenarnya diilhami peristiwa nyata kapal Van Der Wijck. Kapal yang berlayar dari pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya, menuju Tanjung Priok, Jakarta, itu tenggelam di Laut Jawa, timur laut Semarang, pada 21 Oktober 1936.

Moeis Menyalahkan Pengasuhan Hanafi

NOVEL Salah Asuhan sungguh lebih dari sekadar roman. Ia juga merupakan pandangan kritis pengarangnya, Abdoel Moeis, terhadap dampak politik etis (Etische Politiek) yang dilancarkan pemerintah Hindia Belanda sejak awal abad ke-20. Moeis menyiratkan pesan, pendidikan Barat yang dinikmati sebagian kaum bumiputra seharusnya tak membuat mereka tercabut dari akar budayanya. Orang Timur jangan sekali-kali menjadi sepuhan Barat," ujar Mariam, ibu dari tokoh utama novel ini, Hanafi.

Sebagian sejarawan menganggap politik etis merupakan awal munculnya kesadaran berbangsa bagi bumiputra. Memang, salah satu rukun" dalam trias politika kebijakan ini adalah memperbanyak sekolah. Maka sejak 1903 Kerajaan Belanda giat membangun sekolah sejak tingkat Volk School (sekolah desa) hingga Algemeene Middelbare School (AMS). Dari bangku-bangku pendidikan inilah meletup bara semangat kebangsaan itu.

Tetapi, dalam pandangan Moeis, interaksi bumiputra dengan pendidikan dan kebudayaan ala Barat itu memercikkan ancaman lain: seseorang bakal tercabut dari akarnya. Seseorang akhirnya akan menjadi piatu" dari adat-istiadat leluhurnya. Moeis mewujudkan kegelisahannya itu dalam relasi rindu dendam antartokoh utama Salah Asuhan: Hanafi Corrie du Bussee Rapiah, serta Ibunda Hanafi.

Menyerang Lewat Layar Terkembang

LAYAR Terkembang adalah novel tipis belaka. Hanya 166 halaman. Romansa di dalamnya pun tak terlalu istimewa. Kisah cinta segitiga antara Yusuf, Maria, dan Tuti mudah ditebak akhirnya. Kematian Maria di akhir cerita bukanlah alasan bagi pembaca untuk berkaca-kaca. Tak ada pendalaman tokoh, plotnya pun amat sederhana. Tapi semua orang tahu, novel yang terbit pada 1936 ini memiliki peran penting dalam pembangunan karakter kebangsaan pada awal-awal pembentukan bangsa.

Dalam novel ini Sutan Takdir Alisjahbana menyampaikan idenya tentang di mana seharusnya bangsa ini berdiri, baik di masa lalu maupun di masa depan. Dengan cara ini Takdir menebalkan benang merah yang memisahkan kubunya dengan kubu Sanusi Pane dalam Polemik Kebudayaan. Ia menegaskan posisinya yang menginginkan sebuah perubahan revolusioner dalam cara berpikir bangsa Indonesia, yang belum jadi. "Ia ingin mengatakan bahwa sesuatu yang baru, integratif, dan progresif, hanya mungkin dibangun jika keterikatan dengan yang lama telah diputus," kata sejarawan Taufik Abdullah.

Tampak sekali Takdir menjadikan novel ini sebagai reaksi atas terbitnya Sandhyakala Ning Madjapahit buah tangan Sanusi Pane, yang terbit tiga tahun sebelumnya. Pada halaman 93 hingga 104 Takdir membahas khusus soal ini. Diceritakan, Maria dan Yusuf berlakon dalam drama Sandhyakala Ning Madjapahit.

Fondasi Dasar Bahasa Indonesia

"... tata bahasa ini berusaha sungguh-sungguh membuat orientasi baru tentang pemandangan bahasa Indonesia seluruhnya."
-Sutan Takdir Alisjahbana, Kata Pengantar Tata Bahasa Indonesia Jilid I, Cetakan Pertama, 1949

EXPERES dan extera. Bukan ekspres dan ekstra. Sutan Takdir Alisjahbana berkukuh. Ia keras kepala mengatakan huruf x mesti dipakai. Alasannya sederhana. "Huruf x sudah diterima dalam huruf Indonesia. Sebaiknya dimanfaatkan saja," kata Takdir dalam buku Tata Bahasa Indonesia Jilid I karangannya.

Takdir juga berpendapat, dalam bahasa Indonesia, dua konsonan tidak boleh berdempetan. Alasannya, bahasa Indonesia tidak memiliki gugus konsonan. Maka ekspres pun senasib dengan Inggris, yang ditulis Takdir Inggeris, atau krisis, yang ditulis kerisis.

Nasionalisme dan Preman di Surabaya

Novel Idrus menjungkirbalikkan gambaran kita tentang revolusi. Pertempuran 10 November 1945 di Surabaya ternyata menurut dia dikobarkan oleh preman-preman.

PAGI, 10 November itu, bom menghujani Surabaya. Para pemuda yang keras kepala telah menolak ultimatum Inggris. Dengan senjata rampasan dari Jepang dan bambu runcing-demikian kita baca di buku sejarah-Bung Tomo dan para pemuda melawan puluhan ribu serdadu Inggris dan Gurkha. Maka sampai hari ini pun kita mengenang peristiwa heroik itu sebagai Hari Pahlawan.

Namun, di novelet berjudul Surabaya, Idrus menjungkirbalikkan "kesakralan" tersebut. Ia melukiskan pertempuran para pemuda melawan tentara Sekutu ibarat pertempuran antara para koboi dan bandit.

Komedi Hitam untuk Jepang

SEPUCUK surat dialamatkan ke redaksi majalah Pantja Raja di pengujung November 1946:

"... oentoek mendjaga soepaja para bekas Heiho dan keloearganja jang berfikiran sehat djangan sampai djadi gila, maka dengan ini kami minta dengan hormat dan soedilah kiranja Toean, begitoe poela Toean Idroes menarik kembali karangannja itoe serta meminta maaf dengan setjara Ksatria.... Wassalam, Bekas Heiho jang berfikiran sehat."

Di awal November tahun itu, majalah Pantja Raja memuat karangan Idrus yang berjudul Heiho. Ini cerita pendek tentang seorang lelaki yang menjadi anggota Heiho karena berharap bisa membela Tanah Air tapi malah dituding sebagai antek penjajah oleh istrinya sendiri. Di akhir cerita, lelaki lugu itu dikisahkan tewas di sebuah pertempuran, sementara sang istri akhirnya kawin lagi dengan lelaki lain.

Kala sastra Indonesia terhuyung-huyung bangkit seusai tiarap di zaman Jepang, Idrus datang menggebrak. Idrus menulis dengan gaya yang belum banyak dianut penulis masa itu. Heiho adalah sebuah tragikomik, sebuah komedi hitam. Ditulis dengan gaya bahasa yang satir. Perhatikanlah kalimat-kalimatnya yang ringkas dan lugas. Sesekali kasar dan jenaka.

Nasionalisme dalam Belenggu Waktu

oleh: Radhar Panca Dahana

TUJUH puluh tahun barangkali rata-rata harapan hidup manusia sekarang. Seumur demikian umumnya manusia sudah "selesai". Jikapun ia masih hidup, atau tetap ingin hidup, sebenarnya ia harus mendapatkan makna baru hidupnya.

Mungkin itulah yang berlaku pada Belenggu, roman karya Armijn Pane, yang selesai ditulis tepat 70 tahun lalu. Ketika kita membacanya, saat ini, kita akan menemukan sebuah "hidup" yang baru, sebuah nilai baru, makna baru.

Lebih dari setengah abad lalu, roman karya sastrawan kelahiran Muara Sipongi, Tapanuli Selatan, 18 Agustus 1907 itu memancing bukan hanya decak kagum, melainkan juga caci maki. Tak kurang dari Sutan Takdir Alisjahbana (STA), pemimpin Pujangga Baru-tempat buku itu diterbitkan pertama kali dan kantor tempat Armijn bekerja- mengeluhkan isi roman itu yang bukan hanya, "... romantika yang gelap-gulita yang pesimistis... yang melemahkan semangat."
Dalam sebuah edisinya, Desember 1940, majalah Pujangga Baru menurunkan pelbagai komentar tentang roman yang menggegerkan itu. STA meremukkan karya itu sebagai "type yang tidak mengharukan saya". S. Djojopoespito menulis: "... sebab tidak terasa bagi saya akan kehalusan dan keindahan bahasa-(nya)".

Tapi, di bagian lain, Ida Nasution mengatakan: "Belenggu ialah perlambang pembaharuan bahasa ke arah bahasa Indonesia." M.R. Dayoh berpendapat, "Belenggu ini keuntungan mahabesar untuk literatur kita, untuk perjuangan semangat baru Indonesia."

Perlawanan Abadi Siti Nurbaya

SITI Nurbaya belum mati. Entah sejak kapan nama itu menjadi lambang perempuan modern yang tertindas kekolotan adat. Boleh dibilang, tak ada tokoh fiktif sastra Indonesia modern yang bisa menandingi nilai personifikasi sosok perempuan ini.

Tokoh sentral dalam roman Siti Nurbaya karya Marah Rusli itu telah hadir di ruang-ruang kelas sekolah sejak diterbitkan Balai Pustaka pada 1922. Siti Nurbaya bahkan mengilhami beberapa sutradara untuk mengangkat kisahnya ke layar kaca. Di Padang, Siti Nurbaya hadir seperti sosok riil. Ada jembatan atas namanya, ada pula makam lengkap dengan cungkup dan kelambunya.

Siti Nurbaya memang telah mempengaruhi kehidupan nyata. Yang menarik, beberapa lama setelah roman itu lahir, terjadi perubahan dalam kebudayaan masyarakat Minangkabau, terutama berkaitan dengan kawin paksa. Roman ini kemudian menjadi counter-culture, yang mengejek setiap orang tua ketika hendak memaksa anak perempuannya kawin dengan perjodohan paksa: ini bukan lagi zaman Siti Nurbaya.

Tetralogi Buru dan Indonesia 'Modern'

oleh: Eka Kurniawan

TETRALOGI Buru bisa dibilang merupakan upaya Pramoedya Ananta Toer untuk menjawab: apa itu menjadi Indonesia. Pada akhir 1950-an, ketika perkara menjadi Indonesia sedang hangat-jika tak bisa dikatakan panas-ia mulai memikirkan satu seri novel yang bisa mencari dan melacak jejak-jejak nasionalisme Indonesia.


Jawaban Pramoedya adalah kembali ke akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20. Itulah memang masa subur benih-benih nasionalisme Indonesia. Dalam hal ini, Pramoedya berhasil menemukan tokoh ideal anak kandung semangat ini: Tirto Adhi Soerjo. Bukan politikus yang kelak menjadi presiden pertama semacam Soekarno atau aktivis kiri yang bergerak tanpa batas geografis semacam Tan Malaka, melainkan seorang wartawan sekaligus penulis roman.

Tirto Adhi Soerjo (Blora, 1880-1918) adalah perintis surat kabar dan kewartawanan nasional. Melalui Tirto, Pramoedya bisa mencomot simbol-simbol nasionalisme Indonesia, terutama karena Tirto merupakan pendiri surat kabar pertama berbahasa Melayu, Medan Prijaji. Tirto pula yang mengerti fungsi organisasi sebagai motor gerakan nasional, dengan membentuk Sarekat Dagang Islam.

Terbakar Pesona Revolusi

J.J. Rizal

"REVOLUSI itu persis orang membakar sampah. Ia bukan sekadar membuang, melemparkan, dan menabun semua yang kotor, juga tak berguna. Ia melapangkan. Membawa hawa bebas. Membakar sampah mengingatkan saya pada revolusi." Itu jawaban Pramoedya Ananta Toer atas pertanyaan iseng saya ketika mendapati dia asyik di velbak kecil di dekat rumahnya, jongkok membakar sampah: "Apa Bung hobi membakar sampah?"

Dalam memoar pembuangannya, Nyanyi Sunyi Seorang Bisu, Pram memang pernah menulis surat berkepala "Nilai Tanpa Sampah" untuk Et, anaknya nomor dua. Ia mengelaborasi revolusi yang dialaminya ketika pecah di Jakarta tak lama setelah proklamasi dan terus merembet ke daerah pinggirannya. Pram terpesona oleh revolusi. Bahkan sampai napas terakhir pun ia terus terbakar oleh apinya yang dikenangkan sebagai "keindahan tiada tara", karena "yang terpancar dari dalamnya kebijaksanaan, kecerdasan, keberanian".

Dari letup api revolusi itu pula Pram terinspirasi menulis romannya yang paling dini, Di Tepi Kali Bekasi. Sebuah harta karun unik yang untungnya bisa selamat dari rampasan intel Belanda, dan meski itu cuma seperempatnya dari naskah keseluruhan, tetap bisa menunjukkan kepada kita potret revolusi yang menggugah dengan nilai-nilai moral kemerdekaannya yang sudah tak ada lagi, yang sangat fokus, penuh detail serta ragam kelir. Sohor memang karya-karya revolusi Idrus, seperti Surabaya (1947), Perempuan dan Kebangsaan (1949), atau Jalan Tak Ada Ujung (1952) Mochtar Lubis. Namun, cerita Pram itu jauh menonjol di atasnya dan lebih dari naskah mana pun yang mampu memaksa kita menimbang kembali berbagai anggapan, pendapat, serta klise tentang revolusi dan ide kebangsaan (nation) serta perkaitannya dengan pemuda.

Jalan Pejal Menuju yang Modern

Justru dari novellah kita mendapat potret lain tentang revolusi. Revolusi tidak sekudus yang dibayangkan. Di sana ada cita-cita untuk membuat perubahan dalam masyarakat, membuat bangsa ini menjadi modern. Tapi itulah proses yang tidak sepenuhnya berlangsung mulus.

Novel-novel yang kami pilih kami anggap novel berpengaruh yang mampu menyajikan pergolakan batin, harapan, dan juga ketidaksiapan masyarakat menghadapi hal-hal baru, konflik antara adat dan agama. Pendeknya, berbagai problem yang menyebabkan banyaknya ganjalan menjadikan bangsa ini sebagai bangsa modern.

Pramoedya Ananta Toer, Idrus, Armyn Pane, Abdoel Moeis, Hamka, Sutan Takdir Alisjahbana, adalah nama untuk itu. Dalam bagian ini kami juga memilih sebuah buku tata bahasa yang kami anggap buku penting yang sanggup membebaskan kita dari kemelayuan lama dan memberikan fondasi bagi bahasa Indonesia sebagai bahasa tulis-menulis yang modern.

Menggugat Budi Utomo

Asvi Marwan Adam 

MAKNA diperingatinya suatu peristiwa menurut Mona Ozouf adalah menunjukkan bahwa kita masih tetap sama seperti dulu dan akan tetap seperti itu pada masa mendatang. Sejarawan Prancis itu berbicara tentang fungsi pengawetan peristiwa bersejarah. Namun peringatan kebangkitan nasional justru sengaja dilakukan secara intensif pada saat-saat bangsa kita mengalami kesulitan besar. Ketika Indonesia yang wilayahnya sangat terbatas mendapat tekanan dari dalam negeri serta kemungkinan serangan dari pihak Belanda, di Yogyakarta pada 1948 hari lahir Budi Utomo diperingati sebagai tonggak "kebangoenan nasional".

Sepuluh tahun kemudian, 20 Mei 1958, peringatan 50 tahun Budi Utomo di Istana Merdeka berlangsung meriah. Dalam acara tersebut, Presiden Soekarno berpidato: "Kenapa kita tanggal 20 Mei 1958 ini mengadakan peringatan hari Kebangkitan Nasional setjara hebat? .... Memang benar, Budi Utomo adalah satu serikat jang ketjil. Tudjuannja pun belum djelas sebagai tudjuan kita sekarang ini. Tetapi Saudara-saudara, marilah kita tindjau terbangunnja Budi Utomo itu dari sudut jang lain.... Benar 20 Mei 1908 sekedar satu "kriwikan" kata orang Djawa-dan belum "grodjogan". Jang kita peringati ialah bahwa 20 Mei 1908 itu berisi kemenangan satu azas, kemenangan satu beginsel. Tidak ada satu bangsa jang tjukup baik untuk memerintah bangsa lain. No nation is good enough to govern another nation."

(11) The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia
Penerbit: Ithaca: Cornell University Press (1973)

FEITH terpikat oleh Indonesia muda yang memilih demokrasi liberal-cita-cita yang, menurut dia, digencet dari dua sisi: militer dan "pemimpin orator". Pada Desember 1949-Maret 1957, periode politik yang ia teliti, ada dua tipe pemimpin, yakni ahli pemerintahan dan pemimpin massa.

Ahli pemerintahan, menurut Feith, berkemampuan hukum, teknis pemerintahan, dan fasih berbahasa asing. Mereka sangat mengutamakan pembangunan ekonomi serta tak menolak tenaga dan modal asing. Adapun pemimpin massa ahli membakar gelora massa, pandai memberi harapan tapi tak cakap mewujudkannya. Semakin lama, Indonesia dikuasai pemimpin massa.

Adnan Buyung Nasution, pakar hukum, menganggap Feith terlalu mencampur konsep kenegaraan dengan Soekarno dan Hatta-pasangan pemimpin massa dan ahli pemerintahan. Dulu, kata dia, Indonesia menerapkan sistem dwitunggal yang membuat kacau. Padahal demokrasi tak bergantung pada orang per orang.

(12) Dualistische Economy Penerbit: Leiden: Van Doesburgh (1930)
SELAIN sistem ekonomi "impor", yakni kapitalisme modern, di Asia berkembang sistem ekonomi tradisional. Kedua sistem ini mustahil bercampur. Boeke menganggap perlu teori ekonomi khusus untuk masyarakat yang menganut dua sistem ini.

Gumilar Rusliwa Somantri, sosiolog dari Universitas Indonesia, menilai cara pandang Boeke menarik. Tapi ia menganggap ada kesalahan persepsi bahwa sektor informal tak adaptif dengan sistem kapitalistik. Padahal kapitalisme di banyak negara di Asia adalah kapitalisme kecil.

(13) Seni Lukis, Kesenian, dan Seniman Penerbit: Yayasan Aksara Indonesia, Yogyakarta (2000)
PELUKIS Soedjojono (1913-1986) menyunting setiap tulisan yang ia susun pada 1930-1945. Buku ini terbit bersamaan dengan agresi militer Belanda, ketika para seniman ikut hijrah ke Yogyakarta. Isinya berkisar tentang seni rupa dan nasionalisme.

Mia Bustam, 88 tahun, istri pertama Soedjojono, menganggap mantan suaminya "seorang nasionalis yang tak tertutup pada internasionalisme". Jim Supangkat, kurator independen, menilai Soedjojono mengangkat tema nasionalisme yang mengandung universalisme.

(14) Nationalism and Revolution in Indonesia Penerbit: Cornell University Press (1952)
KAHIN beruntung berada di Indonesia saat negeri ini muda. Sejak pertengahan 1948 hingga setahun kemudian, ia mengamati langsung pergulatan tokoh-tokoh Republik dalam menegakkan kemerdekaan. Guru besar Universitas Cornell, Amerika Serikat, itu dikenal sebagai orang pertama yang memperkenalkan Republik Indonesia ke dunia.

Kahin menulis pelopor pergerakan bangsa ialah Raden Ajeng Kartini, bukan dokter Wahidin Soedirohoesodo. Buku ini memancing polemik. Mochtar Pabottingi, peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, menilai buku ini menangkap semangat bangsa menjelang 1950-an.

(15) Indonesian Political Thinking: 1945-1965 Penerbit: Ithaca, New York (1970)
FEITHh dan Castles menyimpulkan ada lima aliran pemikiran politik di Indonesia hingga 1965: Islam yang direpresentasikan Partai Nahdlatul Ulama dan Masyumi, sosial demokrasi, tradisionalisme Jawa, nasionalisme radikal yang diwakili Partai Nasionalis Indonesia, serta komunisme dengan ikonnya, Partai Komunis Indonesia. Tiga di antaranya masih bertahan hingga kini: Islam, tradisionalisme Jawa, dan nasionalis.

(16) The Religion of Java Penerbit: The University of Chicago Press, Chicago, dan The University of Chicago, Ltd., London (1960)
CLIFORD Geertz paham betul tradisi dan kebudayaan multikultural masyarakat Jawa. Sejak 1959, ia dan lima rekan penelitinya melakukan riset di sebuah kota yang disamarkannya menjadi Pare. Kota kecil di Jawa Timur ini dipilih karena menggambarkan budaya Jawa yang tidak dipengaruhi Keraton Yogyakarta dan Solo.

Masyarakat Jawa terbagi menjadi kelompok abangan, santri, dan priyayi. Penggolongan ini dikritik keras Harsya Wardana Bachtiar melalui The Religion of Java: A Commentary (1973), yang menganggap priyayi seharusnya tak masuk klasifikasi. "Tulisan Geertz tak lagi cocok dalam konteks sekarang. Masyarakat Jawa mengalami banyak perubahan," kata guru besar antropologi budaya Universitas Gadjah Mada, Heddy Shri Ahimsa Putra.

(17) Netherlands Indie, A Study of Plural Economy Penerbit: Cambridge: At The University Press dan New York: The Macmillan Company (1944)
INDONESIA adalah sekumpulan anggota masyarakat yang majemuk. Meski hidup berdampingan secara fisik, perbedaan sosial budaya membuat mereka terpisah dan tak tergabung dalam suatu unit politik. Efeknya, timbul perbedaan kelompok ekonomi.

Ada orang Belanda minoritas yang menjadi penguasa, masyarakat Timur asing, terutama Tionghoa, serta pribumi yang cenderung menjadi pelayan di negeri sendiri. Kelompok terakhir secara ekonomi menempati peringkat terbawah.

Menurut ekonom Revrisond Baswier, penelitian sejarawan Inggris itu masih relevan hingga kini. Transformasi ekonomi Indonesia dari zaman kerja paksa sampai sekarang lebih banyak akibat tekanan luar, katanya.

(18) Capita Selecta Penerbit: Bulan Bintang, Jakarta, (jilid I, 1955) dan Pustaka Pendis, Jakarta, (jilid II, 1955), (jilid I)
BUKU ini merupakan kumpulan tulisan, pidato, catatan, dan wawancara Natsir. Tulisan tokoh Masyumi itu di majalah Pandji Islam dan Al-Manar pada 1938-1942 dikumpulkan pada jilid pertama. Memakai nama samaran A. Muchlis, ia menulis kebudayaan dan filsafat, pendidikan, agama, ketatanegaraan, serta persatuan agama dan negara.

Teks pada jilid kedua lebih beragam, merupakan pidato dan wawancara Natsir dengan pers pada 1950-1955, di antaranya pidato di parlemen dan radio.

Pengamat politik Bachtiar Effendi menilai Capita Selecta mencerminkan perhatian utama Natsir terhadap Islam dan negara. "Kata-katanya merupakan perpaduan antara intelektualisme dan seni yang tinggi," katanya.

(19) Indonesia in den Pacific-Kernproblemen van den Aziatischen Penerbit: Penerbit Sinar Harapan (1937)
JURNALIS Gerungan Saul Samuel Jacob Ratulangie memaparkan soal kekuatan, kekuasaan, dan kepentingan di Pasifik. Doktor pertama Indonesia di bidang matematika dan sains ini menganggap posisi Indonesia sangat istimewa.

Budayawan Th. Sumartana menilai Ratulangie sebagai intelektual Kristen pertama yang menghargai makna historis dan kebangkitan Islam di Indonesia. Ia menempatkan Sarikat Islam sebagai wakil kebangkitan seluruh rakyat yang tertindas.

(20) Perubahan Sosial di Yogyakarta Penerbit: Gadjah Mada University Press, 1990
MENTALITAS masyarakat Yogyakarta berubah dari introvert ke extrovert setelah kota itu menjadi ibu kota Republik Indonesia pada 1946-1949. Banyak orang dari berbagai daerah memasuki kota itu, yang membuat masyarakat asli membuka diri. Di situlah muncul kesadaran bahwa pendidikan dapat menjadi jembatan kesuksesan.

(21) Dasar-dasar Pemikiran Tentang Akselerasi Modernisasi Pembangunan 25 Tahun Penerbit: Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Jakarta (1973)
BERISI rangkuman ceramah, diskusi, dan wawancara, buku ini memuat pemikiran Ali Moertopo soal akselerasi pembangunan 25 tahun. Ia menganggap pembangunan dan modernisasi masyarakat seperempat abad setelah kemerdekaan belum juga maksimal.

Ali memaparkan kondisi masyarakat, kekuatan bangsa, dan strategi untuk melaksanakan pembangunan. Pembangunan, menurut dia, berarti perombakan berbagai hambatan kemajuan. Akselerasi pembangunan identik dengan percepatan modernisasi. Majelis Permusyawaratan Rakyat menjadikan buku ini rujukan untuk menyusun strategi pembangunan jangka panjang.

(22) Manusia dan Kebudayaan di Indonesia Penerbit: Djambatan, Jakarta (1971)
BUKU yang ditulis oleh 13 orang antropolog ini berisi budaya dan adat istiadat pelbagai suku bangsa di Indonesia: Aceh, Nias, Batak, Minangkabau, Jawa, Bali, Kalimantan, Minahasa, Ambon, Flores, Timor, hingga Tionghoa.

Setiap bab menggambarkan satu suku, ditulis seorang ahli dari suku yang sama atau peneliti yang mengunjungi dan meneliti daerah itu.

(23) Politik Luar Negeri Indonesia dan Pelaksanaannya Dewasa Ini Penerbit: Alumni, Bandung (1983)
MERUPAKAN kumpulan karangan, pernyataan, dan pidato Mochtar Kusumaatmadja sebagai Menteri Luar Negeri, buku ini dijadikan pegangan untuk menganalisis pelaksanaan politik luar negeri Indonesia. Pergulatan Mochtar memperjuangkan keutuhan teritorial dalam konvensi hukum laut internasional tercatat dalam buku ini. Hasil perjuangan itu sampai kini menjadi sumber hukum kelautan Perserikatan Bangsa-Bangsa.

(24) Culture and Politics in Indonesia Penerbit: Cornell University Press, London (1972)
UPAYA mengidentifikasi jejak budaya dalam tata politik Indonesia. Para penulisnya mewakili sejumlah ahli antropologi, sejarah, dan ilmu politik. Mereka mengulas cara institusi, kepercayaan, dan nilai-nilai tradisi mempengaruhi kesadaran kekuasaan. Begitu pula pemberontakan, afiliasi politik, yang pada akhirnya membentuk ekspresi budaya baru.

(25) Art in Indonesia: Continuities and Change Penerbit: Cornell University Press, New York (1967)
DALAM buku ini Claire Holt berupaya melacak kontinuitas dan diskontinuitas sejarah kebudayaan Indonesia. Ia menggunakan bahan yang amat luas, mulai data arkeologi sampai relief-relief. Buku ini terdiri atas tiga bagian: warisan, tradisi yang hidup, dan seni modern. Setiap bagian merupakan periode tersendiri dalam sejarah seni Indonesia, dari zaman prasejarah hingga seni rupa Indonesia pada paruh pertama abad ke-20.

Holt (1901-1970) mampu menyajikan argumentasi, ada benang merah yang tak terlihat antara lukisan-lukisan di dinding gua di Pasemah dan lukisan Sudjojono.

(26) Science and Scientists in the Netherlands Indies Penerbit: Board for the Netherlands Indies, Surinam & Curaao, New York (1945)

INILAH buku pepak informasi ilmu alam yang dijadikan panduan ilmuwan Indonesia selepas kemerdekaan. Disusun oleh 75 kontributor, sebagian besar materi sudah pernah dipublikasikan pada 1869-1944. Bentuknya makalah ilmiah, pidato, laporan perjalanan, serta daftar institusi ilmiah dan ilmuwan di Hindia Belanda semasa pendudukan Jepang. Tak kurang dari 134 ilustrasi-foto, sketsa, diagram, dan peta-melengkapi buku ini.

(27) Alam Asli Indonesia: Flora, Fauna, dan Keserasian Penerbit: Yayasan Indonesia Hijau dan Gramedia (1986)
KEKAYAAn flora dan fauna Indonesia dibahas tuntas oleh Kathy MacKinnon, ahli zoologi asal Inggris, dalam buku ini. MacKinnon menelisik keragaman alam Indonesia berdasarkan lokasinya: hutan hujan Kalimantan dan Sumatera, Jawa-Bali, Sulawesi, Maluku, Sunda Kecil, serta Papua. Habitat pinggiran semacam bukit kapur, sungai, danau, hutan bakau, tepi pantai, dan karang laut juga dibahas.

MacKinnon mendedikasikan satu bab khusus tentang hubungan manusia Indonesia dengan alamnya. Misalnya bagaimana alam membentuk suku-suku yang berbeda. Kolonialisme dianggap berpengaruh besar karena banyaknya hutan hujan yang beralih menjadi lahan pertanian dan perkebunan.

(28) Ekonomi Pancasila: Gagasan dan Kemungkinan Penerbit: LP3ES, Jakarta (1981)
MUBYARTO (1938-2005), guru besar Universitas Gadjah Mada, menggagas sistem ekonomi yang mengacu pada etika dan falsafah Pancasila. Sistem ini mengharapkan terwujudnya pemerataan ekonomi dan sosial. Ide utamanya: mendorong para pelaku ekonomi bekerja berdasarkan moral serta mekanisme yang sehat.

(29) NU, Tradisi, Relasi-relasi Kuasa, Pencarian Wacana Baru Penerbit: LKiS dan Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1994
SEMULA Martin menganggap kaum tradisional sebagai penghambat modernisasi. Setelah mengkaji Nahdlatul Ulama, ia menyimpulkan organisasi "kaum tradisionalis" ini memberikan warna lain dalam proses modernisasi.

Tergambar pula perubahan haluan politik Nahdlatul Ulama: dari semula mengkritik pemerintah, melakukan rekonsiliasi dengan menerima Pancasila sebagai asas tunggal, lalu meninggalkan politik praktis. Sifat paling menonjol dari Nahdlatul adalah sangat terdesentralisasi, yang menggambarkan kemandirian para kiai lokal.

(30) Manusia Indonesia (Sebuah Pertanggungjawaban) Penerbit: Yayasan Idayu, Jakarta (1981)
MUNAFIK, segan bertanggung jawab, berjiwa feodal, boros, dan percaya takhayul, tapi berjiwa seni tinggi. Itulah orang Indonesia yang digambarkan buku ini. Naskahnya pertama kali dibacakan Mochtar Lubis (1922-2004) sebagai ceramah di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 6 April 1977.

Mochtar memaparkan, ciri-ciri itu hasil sekian banyak persinggungan peradaban. Mochtar mengimbau rakyat Indonesia untuk terus mengelola kekayaan nasional, daripada membiarkan diri terbuai jerat kapitalisme.

(31) Catatan Subversif Penerbit: Yayasan Obor Indonesia dan PT Penerbit Gramedia (1987)
INI sebenarnya catatan harian Mochtar Lubis selama sembilan tahun sejak 22 Desember 1956: ketika ia dipenjarakan dan kemudian menjadi tahanan luar. Di situ digambarkan antara lain perilaku elite-elite politik zaman Soekarno dan orang-orang yang dipenjarakan rezim kala itu. Pemimpin Redaksi Indonesia Raya ini juga menulis kasus korupsi pada saat itu.

(32) Pembagian Kekuasaan Negara Penerbit: Aksara Baru (1978)
BERISI teori pembagian kekuasaan negara di Inggris, Amerika Serikat, dan Uni Soviet, serta Indonesia. Buku ini berpengaruh pada proses pembentukan tata negara Indonesia. Pemisahan kekuasaan dalam arti material tak pernah dilaksanakan di Indonesia. Yang ada adalah pemisahan formal.

(33) Laporan dari Banaran Penerbit: Sinar Harapan (1960)
MERUPAKAN memoar Jenderal Simatupang yang dicatatnya selama setahun hingga pengakuan kedaulatan RI, 27 Desember 1949. Di situ diungkapkan peran rakyat dalam perjuangan, termasuk ungkapan Jenderal Sudirman tentang " kemanunggalan rakyat dan tentara". Yang hendak ditonjolkan bukan hanya tentara yang berperan dalam perang rakyat 1945.

(34) Bulan Sabit Muncul dari Balik Pohon Beringin Penerjemah: Yusron Asrofie Penerbit: Gadjah Mada University Press, Yogyakarta (1983)
PROFESOR emeritus Chiba University, Jepang, ini meneliti pergerakan Muhammadiyah di Kotagede, Yogyakarta, 1900-1972. Kotagede dianggap sebagai pusat budaya Jawa yang sinkretis. Muhammadiyah sebagai gerakan Islam pembaruan ternyata tak bertentangan dengan kebudayaan Jawa. Ini bertolak belakang dengan citra organisasi itu sebagai gerakan pemurnian ajaran Islam. Muhammadiyah justru dianggap terpadu dengan tradisi kejawen dalam menyaring intisari Islam.

(35) Six Decades of Science and Scientists in Indonesia Penerbit: Naturindo, Bogor (2005)
SETELAH 60 tahun Indonesia merdeka, Setijati menggagas buku penerus Science and Scientists in the Netherlands Indies. Pada 2005, berkumpullah 22 peneliti senior, kebanyakan telah pensiun, dan generasi pertama ilmuwan Indonesia. Masing-masing menyusun tulisan dalam bahasa Inggris sesuai dengan bidang keilmuannya.

Beragam topik dalam koridor ilmu alam disajikan, dari geofisika, ilmu tanah, mikrobiologi, ilmu serangga, ornitologi (ilmu burung), nutrisi, kehutanan, pendidikan perbenihan, pengembangan jurnal ilmiah, hingga sejarah Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.

(37) Pedoman Etik Penelitian Kedokteran Indonesia Penerbit: Fakultas Kedokteran UI (1986)
INI hasil Lokakarya Nasional Etika Penelitian yang diselenggarakan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia pada 1986. Fakultas itu sebelumnya telah melansir beberapa kode etik penelitian kedokteran, tapi buku ini menjadi rujukan karena disusun dari urun rembuk fakultas kedokteran se-Indonesia.

Meski tipis, buku ini memuat panduan etika penelitian yang padat. Etika penelitian terhadap manusia dan hewan serta penggunaan jenazah diuraikan kerangkanya. Buku ini menyinggung pula etika penulisan ilmiah.

(38) A Preliminary Analysis of the October 1, 1965, Coup in Indonesia Penerbit: Modern Indonesia Project, Southeast Asia Program, Cornell University, Ithaca, New York (1971)LEBIH dikenal sebagai "Cornell Paper", inilah sejarah Gerakan 30 September yang berlawanan dengan versi penguasa Orde Baru. Analisis diambil berdasarkan dokumen Mahkamah Militer Luar Biasa serta artikel-artikel media massa di Jakarta, Medan, Solo, Bali, dan Surabaya pada Oktober-November 1965.

Cornell Paper mengungkapkan, kejadian 30 September 1965 adalah masalah internal Angkatan Darat. Partai Komunis Indonesia justru tidak mengetahui gerakan itu. Naskah yang diedarkan terbatas pada 10 Januari 1966 ini awalnya tanpa nama penyusun. Banyak dikritik karena dianggap kurang akurat, naskah itu langsung memicu perdebatan kalangan intelektual. Identitas penulis akhirnya bocor. Sejak 1968 hingga tumbangnya Orde Baru, Anderson ditolak masuk Indonesia. Pada 1971, edisi revisi naskah itu diterbitkan sebagai buku, lengkap dengan nama penyusunnya.

(39) 125 Tahun Pendidikan Dokter di Indonesia 1851-1976 Penerbit: Fakultas Kedokteran UI (1976)
DISUSUN oleh profesor-profesor Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, buku ini merangkum 125 tahun perjalanan pendidikan kedokteran di Nusantara. Pijakan awalnya 1851, ketika Dokter Djawa School, sekolah dokter pertama di Indonesia, didirikan di Jakarta. Penyusun menguraikan perkembangan sekolah dokter pada masa penjajahan Belanda, Jepang, hingga 1976.

Para penulis menyinggung pula kehidupan siswa School tot Opleiding van Indische Artsen (STOVIA), cikal-bakal Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Buku ini memuat daftar lulusan pendidikan kedokteran dari zaman Belanda, daftar dokter yang gugur atau hilang semasa perang kemerdekaan, dan statistik mahasiswa kedokteran di Indonesia. l

(40) Ekologi Pedesaan: Sebuah Bunga Rampai Penerbit: CV Rajawali, Jakarta (1982)
BERDASARKAN penguasaan tanah sebagai alat produksi petani, Sajogyo mengelompokkan masyarakat tani sebagai petani atas, tengah, gurem, dan tunakisma. Petani gurem dan tunakisma alias buruh tani merupakan mayoritas masyarakat pedesaan. Tapi mereka tak mendapatkan perhatian politik. Akibat kritiknya, Sajogyo dicopot dari jabatan Ketua Badan Pelaksana Survei Agro-Ekonomi.