Senin, 19 Mei 2008

Setelah Malam yang Genting

"SAUDARA-saudara sekalian! Saya telah minta Saudara-saudara hadir di sini untuk menyaksikan satu peristiwa mahapenting dalam sejarah kita. Sekarang tibalah saatnya kita benar-benar mengambil nasib bangsa dan nasib tanah air di dalam tangan kita sendiri," suara Soekarno terdengar mantap. Di hadapannya, orang berkerumun dengan wajah harap-harap cemas. Jumlahnya tak sampai seratus. Mohammad Hatta, wakilnya di Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia, berdiri sedikit di belakangnya. Hari itu Jumat, 17 Agustus 1945, pukul 10.00 lebih sedikit.


Wajah Soekarno pagi itu agak pucat. Semalam suntuk, bersama Hatta dan Achmad Soebardjo, tokoh pergerakan yang sehari kemudian didaulat menjadi Menteri Luar Negeri pertama, dia begadang mempersiapkan naskah Proklamasi. Naskah itu baru kelar menjelang terang tanah.

***

SEHARI sebelumnya, sehabis subuh. Para pemuda menculik Soekarno dan Hatta ke Rengasdengklok, Jawa Barat. Penculikan dipicu oleh perdebatan sengit antara tokoh pemuda dan Soekarno-Hatta pada 15 Agustus: Wikana versus Soekarno dan Subadio Sastrosatomo melawan Hatta.

Para pemuda mendesak deklarasi kemerdekaan Indonesia dilakukan sesegera mungkin, mumpung pemerintah Jepang sedang gamang akibat dua kotanya, Hiroshima dan Nagasaki, dihantam bom atom. Tapi Soekarno-Hatta menolak desakan itu. Soekarno ingin lebih dulu memastikan peta kekuatan terakhir Jepang, Belanda, dan Sekutu. "Ini batang leherku, seretlah aku ke pojok itu dan potong leherku malam ini juga," kata Bung Karno ketika Wikana terus mendesak.

Hatta mendukung Soekarno. "Jika Saudara tidak setuju dengan apa yang telah saya katakan, dan mengira bahwa Saudara telah siap dan sanggup untuk memproklamasikan (Indonesia), mengapa Saudara tidak memproklamasikan kemerdekaan itu sendiri?"

Raibnya Soekarno dan Hatta membuat panik Jakarta. Apalagi, pukul 10.00 hari itu, seharusnya ada rapat pertama Panitia Persiapan Kemerdekaan. Semua anggota, 12 orang di antaranya datang dari luar Jawa, sudah berkumpul di Hotel Des Indes, di Jalan Gajah Mada, Jakarta Pusat. Menurut Hatta, jika tidak ada insiden Rengasdengklok, Proklamasi seharusnya terjadi pada 16 Agustus.

Achmad Soebardjo, yang pertama kali tahu raibnya Soekarno-Hatta, berkeliling mencari kedua tokoh itu. Situasi Jakarta tak menentu, tak jelas lagi siapa yang berkuasa. Tempat pertama yang disatroni Soebardjo adalah markas tentara Jepang. Tidak ada. Dia lalu menghubungi Wikana. Dari Wikana, lokasi penyekapan Soekarno-Hatta terbongkar. Tak buang waktu, Soebardjo memacu mobil Skoda-nya ke Rengasdengklok.

Sesampai dia di sana, para pemuda masih menolak membebaskan Soekarno dan Hatta. Kepepet oleh situasi yang makin genting, Soebardjo menjamin, "Kalau Proklamasi tidak dilakukan, saya bersedia ditembak mati," katanya. Baru setelah itu, para pemuda melunak.

Rombongan Soekarno-Hatta tiba di Jakarta pukul sepuluh malam. Mereka berniat menggelar rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan saat itu juga. Namun, karena ada jam malam, Hotel Des Indes tak mau dijadikan tempat rapat. Soebardjo lalu menghubungi Laksamana Tashida Maeda, perwira Angkatan Laut Jepang, untuk meminjam rumahnya yang jembar di Jalan Meiji Dori (sekarang Jalan Imam Bonjol).

Tengah malam, pertemuan dibuka. Situasi tegang. Golongan pemuda tak ingin Panitia Persiapan dilibatkan dalam perumusan Proklamasi, karena lembaga itu dituding sebagai boneka Jepang. Tapi Soekarno-Hatta ingin melibatkan mereka agar pengelolaan pemerintahan pascakemerdekaan lebih mudah.

Agenda rapat pertama adalah soal judul. Tajuk "Maklumat Kemerdekaan" ditolak oleh sebagian anggota Panitia Persiapan. "Seakan-akan ini adalah keputusan badan tertentu, padahal ini keputusan suatu bangsa," ujar anggota Panitia, Iwa Kusumasumantri. Akhirnya diputuskan pernyataan berjudul "Proklamasi". Soekarno, Hatta, dan Achmad Soebardjo lalu masuk ke ruang makan untuk merumuskan naskahnya.

Naskah Proklamasi Indonesia berisi dua kalimat saja. Kalimat pertama didiktekan Hatta: "Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan Kemerdekaan Indonesia." Menurut Hatta, kalimat itu dimaksudkan sebagai deklarasi, pernyataan tegas, dan maknanya tunggal. Kalimat itu bertalian erat dengan kalimat pertama naskah mukadimah konstitusi yang sudah dirancang dua bulan sebelumnya: "Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu hak segala bangsa dan, oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan".

Menteri Luar Negeri Nur Hassan Wirajuda menyebutkan pemikiran tentang "kemerdekaan adalah hak" di balik teks Proklamasi itu adalah konsep yang melampaui zamannya. Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa yang disahkan pada 24 Oktober 1945, tulis Wirajuda dalam kolom di harian Kompas, Agustus 2004, hanya mengakui kemerdekaan atas persetujuan negara penjajah. Baru pada 1960, Majelis Umum Perserikatan mengakui hak bangsa-bangsa terjajah untuk merdeka.

Kalimat kedua, "Hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dll. diselenggarakan dengan cara seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya," dirumuskan sendiri oleh Soekarno. Sosiolog Ignas Kleden menilai kalimat ini merupakan cermin benturan pemikiran Soekarno dan Hatta. "Yang disebut dalam teks itu hanya soal pemindahan kekuasaan, karena memang hanya itu yang bisa secepatnya dilakukan," kata Ignas. Hatta, menurut Ignas, sadar benar deklarasi kemerdekaan itu tak bisa serta-merta mengubah budaya orang terjajah menjadi budaya orang merdeka.

Pada pukul 03.00 pagi, naskah Proklamasi rampung. Saat Soekarno meminta persetujuan tokoh pergerakan yang hadir, terjadi debat panas. Seorang tokoh pemuda, Sukarni, dengan pedas berujar, "Naskah ini lepas dari semangat revolusioner, lemah, dan tidak memiliki kepercayaan terhadap diri sendiri."

Menurut sejarawan Belanda, Lambert Giebels, atas saran Laksamana Maeda, Soekarno memang sempat menolak usul Hatta yang ingin mencantumkan kalimat "kekuasaan direbut dari tangan penguasa". Namun keterangan Giebels dibantah sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Asvi Warman Adam. "Maeda tidak ikut campur dalam perumusan naskah Proklamasi," katanya.

Suhu perdebatan dini hari itu naik lagi ketika mereka membahas siapa yang akan menandatangani naskah Proklamasi. Sukarni lagi-lagi berkeras menolak anggota Panitia Persiapan menorehkan namanya. Atas usul tokoh pemuda lain, Sayuti Melik, akhirnya hanya Soekarno dan Hatta yang membubuhkan tanda tangan, "atas nama bangsa Indonesia." Menjelang waktu sahur-saat itu memang bulan Ramadan-rapat usai.

Enam jam kemudian, di halaman rumah Soekarno di Jalan Pegangsaan Timur 56, Menteng, Jakarta Pusat, suara bariton khas milik sang empunya rumah membahana: "Maka kami, tadi malam, telah mengadakan musyawarah dengan pemuka-pemuka rakyat Indonesia dari seluruh Indonesia. Permusyawaratan itu seia-sekata berpendapat, bahwa sekaranglah datang saatnya untuk menyatakan kemerdekaan kita. Saudara-saudara, dengan ini kami nyatakan kebulatan tekad itu.... Dengarkanlah proklamasi kami.... (*)

(57) Naskah Proklamasi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.