Senin, 19 Mei 2008

Negara tanpa Rakyat?

oleh: Parakitri T. Simbolon

TIDAK SULIT membicarakan pergerakan kebangsaan kita menurut kajian sarjana asing. Pilihan sangat banyak, baik dalam bentuk, cakupan kurun waktu, maupun sudut pandang. Yang sulit adalah menemukan satu-dua perkara yang terus mengusik rasa ingin tahu setelah selesai membaca sejumlah kajian, sendiri-sendiri ataupun serangkaian, ibarat seutas benang merah yang menjelujuri permasalahan gerakan kebangsaan kita selama ini. Ini sulit, karena benang merah menuntut kesinambungan sejumlah kajian, padahal satu kajian lebih sering menolak atau mengubah kajian lain.
***

Itulah yang terjadi dengan kajian-kajian sarjana asing tentang pergerakan kebangsaan kita, yang dimulai dengan trilogi J.Th. Petrus Blumberger. Ketiga kajian Blumberger itu: De Communistische Beweging in Nederlandsch-India (1928), De Nationalistische Beweging in Nederlandsch-India (1931), dan De Indo-Europeesche Beweging in Nederlandsch-India (1939).

Seperti tampak pada ketiga judul itu, Blumberger memahami pergerakan kebangsaan kita terdiri atas berbagai aliran (stroomingen) dan pergerakan nasional dianggapnya hanya salah satu aliran yang terdiri atas beberapa organisasi, seperti Perhimpunan Indonesia, studieclub, Partai Nasional Indonesia, dan Pemufakatan Perhimpunan-perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia. Aliran lain terdiri atas pergerakan ras dan etnis, agama, ekonomi, serta kepentingan umum lain (moderne geestesstromingen), yang mencakup Budi Utomo, Sarekat Islam, Paguyuban Pasundan, organisasi komunis, gerakan kepanduan, dan lain-lain.

Blumberger mengambil bahan-bahan kajiannya dari sumber-sumber resmi pemerintah Hindia Belanda. Itulah ikhtisar-ikhtisar politik dalam maklumat-maklumat pemerintah, seperti Laporan Kolonial (Koloniale Verslagen), ikhtisar pers dari Balai Pustaka, dan risalah-risalah parlemen Belanda (Kamer) serta Hindia Belanda (Volksraad). Maklum, ia bekas asisten residen.

Trilogi Blumberger pada dasarnya hanya mengolah secara sistematis sumber-sumber sejarah resmi yang ada waktu itu mengenai proses evolusi sosial Hindia Belanda. Ia memaparkan timbul dan berkembangnya cara-cara baru menghadapi pemerintah, yakni organisasi-organisasi perhimpunan dan partai serta sikap pemerintah jajahan menghadapi semua itu. Namun, terkesan juga rasa yakin Blumberger bahwa cara-cara baru itu bermaksud menimbulkan kesulitan besar (groote problemen) bagi pemerintah jajahan untuk menentukan politik masa depan.

Pada 1946 sampai 1952 terbit sedikitnya empat buku, dua di antaranya tetap mengandalkan sumber-sumber yang sedikit-banyak sama dengan yang digunakan oleh Blumberger, yang dalam semangat dan pandangan bertentangan dengan Blumberger. Keempat buku itu: J.H. Francois, 37 Jaar Indonesische Vrijheidsbeweging (1946); Alexandre von Arx, l'Evolution Politique en Indonesie (1949); D.M.G. Koch, Om de Vrijheid. De Nationalistische Beweging in Indonesia (1951); dan George McTurnan Kahin, Nationalism and Revolution in Indonesia (1952).

Dengan caranya masing-masing, keempat kajian mengemukakan bahwa pergerakan kebangsaan kita sesuai dengan semangat zaman bahkan kewajiban moral. Itulah hak setiap bangsa untuk mencapai kemerdekaan. Malah Von Arx menganggap negara-negara penjajah memikul tanggung jawab moral untuk membantu dan mendorong pergerakan kebangsaan mencapai kemerdekaan. Hanya dengan memenuhi kewajiban moral itu, perdamaian dunia bisa ditegakkan. Yang terjadi di Indonesia adalah karena penjajah melanggar kewajiban moral tersebut.

Kahin berpendirian bahwa sebagai kewajiban moral, mencapai kemerdekaan bisa dilakukan dengan revolusi bila perlu. Ini berarti, bukannya organisasi pergerakan yang menimbulkan kesulitan bagi pemerintah jajahan, sebagaimana menurut Blumberger, melainkan sebaliknya.

Pada 1953 terbitlah kajian J.M. Pluvier, Overzicht van de Ontwikkeling der Nationalistische Beweging in Indonesia in de Jaren 1930 tot 1942. Kajian ini sebagian besar merupakan hasil pemeriksaan silang antara bahan-bahan Ikhtisar Pers Pribumi dan Cina-Melayu terbitan Balai Pustaka (Overzicht van de Inlandsche en Maleisch-Chineesche Pers) di satu pihak dan siaran rahasia bagi kalangan terbatas mengenai politik keamanan (Politiek-Politioneele Overzichten) oleh Kejaksaan Agung Hindia Belanda.

Dengan demikian, Pluvier berhasil antara lain mengubah anggapan keliru mengenai pergerakan kebangsaan kita pada 1930-1942 sebagai masa lesu, tidak berdaya, terhadap kekuasaan penjajahan yang sedang jaya-jayanya. Dengan argumen yang ketat, Pluvier mengukuhkan bahwa pergerakan 1930-1942 sama jayanya dengan pergerakan kemerdekaan 1908-1929. Dua-duanya sama-sama merupakan ungkapan Kebangkitan Timur, "het Oosters Reveil", hasil persentuhan Timur dan Barat selama 400 tahun.

Salah satu implikasi kajian Pluvier ini adalah bahwa anggapan Belanda mengenai kemerdekaan Indonesia sebagai hadiah Jepang sama sekali tidak berdasar. Implikasi lain yang tak kalah penting adalah menyangkut rahasia keberdayaan itu. Jika pada masa yang paling mematikan, seperti 1930-1942, pergerakan kebangsaan kita memang betul tidak kurang berdaya daripada masa-masa sebelumnya, akan timbul pertanyaan-pertanyaan sekitar sumber atau letak keberdayaan itu, siapa yang berperan di dalamnya, dan bagaimana keberdayaan itu tetap terpelihara sekalipun dalam masa sulit.

Pengertian dan pertanyaan yang sama rupanya timbul juga pada sarjana lain, di tempat lain, dan dalam waktu yang berdekatan. Contoh, Robert van Niel dari Russell Sage College, Amerika Serikat, The Emergence of the Modern Indonesian Elite (1954/1960). Jawaban Van Niel, keberdayaan itu terletak pada the leader group of Indonesian society, sedangkan the Indonesian society itu hanyalah satu di antara empat kelompok dalam the East Indian society di samping kelompok Eropa (Belanda), Tionghoa, dan Arab. Untuk memahami keberdayaan ini, Van Niel mengupas social change selama 25 tahun pertama abad XX, khusus di kalangan the leader group of Indonesian society.

Hidup di bawah penjajahan, perkembangan Indonesian society dan the leader group-nya juga sangat dipengaruhi oleh colonial policies, practices, and attitudes. Dinamika Indonesian society dan serba perubahan pola kepemimpinannya dalam menghadapi pengaruh itu selama 25 tahun membentuk landasan sosial Indonesia merdeka kemudian.

Jawaban Van Niel ini menjadi kurang meyakinkan dengan terbitnya pada 1976 kajian Susan Abeyasekere, One Hand Clapping: Indonesian Nationalists and the Dutch 1939-1942. Setelah para pemimpin yang berhaluan nonkoperasi habis ditangkap dan dibuang, tampillah pemimpin yang berhaluan koperasi. Namun, tuntutan mereka yang paling lunak pun, seperti Indonesia berparlemen, sama sekali dianggap sepi oleh Belanda, padahal Belanda sedang berada dalam keadaan perang.

Menyedihkan bahwa para pemimpin yang berhaluan koperasi itu tidak bisa berbuat apa-apa terhadap sikap Belanda yang tak masuk akal itu, sampai Jepang masuk. Nasib yang sama lagi-lagi menimpa para pemimpin yang berhaluan nonkoperasi di bawah kekuasaan Jepang. Jadi semua pemimpin pergerakan tidak berhasil mencapai apa-apa dengan kekuatan sendiri, hanya dapat menyerahkan nasib pada kekuatan luar. Benar-benar bagai one hand clapping, tangan bertepuk sebelah.

Sikap para pemimpin ini sangat bertentangan dengan asas perjuangan Indonesische Vereeniging (kemudian Perhimpunan Indonesia) di Nederland yang dicanangkan pada 3 Maret 1923. Asas perjuangan itu menegaskan bahwa masa depan rakyat Indonesia (het volk van Indonesia) hanya dan semata-mata bergantung pada penyelenggaraan pemerintah yang bertanggung jawab kepada rakyat itu sendiri (dat volk zelf). Setiap orang Indonesia (Indonesiar) wajib sesuai dengan kemampuan dan bakatnya berjuang mencapai hal ini dengan kekuatan sendiri (eigen kracht en eigen kunnen), tidak bergantung pada bantuan orang lain (onafhankelijk van de "hulp" van vreemden). Asas perjuangan ini dapat dibaca oleh masyarakat luas berkat jasa Harry A. Poeze dan kawan-kawan yang menyusun buku tentang kehidupan orang-orang Indonesia di negeri penjajah, In het Land van de Overheerser I: Indonesiars in Nederland 1600-1950 dan terbit pada 1986.

Lalu muncullah kajian yang lain dari yang lain, karya Takashi Shiraishi, An Age in Motion: Popular Radicalism in Java, 1912-1926 (1990). Kajian ini lain dari yang lain karena dua hal. Pertama, rakyatlah yang lebih penting dan jadi sumber keberdayaan, bukan golongan pemimpin atau elite. Kedua, kenyataan ini baru terlihat setelah Shiraishi menolak cara pandang lama melihat pergerakan kebangsaan kita sebagai orthodox historiography.

Yang ortodoks melihat pergerakan sebagai garis yang bergerak lurus dari suatu bangsa yang belum bernama ke pencarian nama, "Indonesia", dan cita-cita kebangsaannya, "Indonesia merdeka": dari surat-surat Kartini dan Boedi Oetomo ke Perhimpoenan Indonesia, Partai Nasional Indonesia, dan "sumpah pemuda". Cara pandang ini merupakan anak kandung perkawinan antara cara pandang dokumen-dokumen resmi Hindia Belanda dan cara pandang pascakemerdekaan yang berpusat pada Indonesia. Dasarnya adalah cara pandang J.Th. Petrus Blumberger dengan dua sistem penggolongannya, yang rasial dan organisasional. Maklum, pemerintah jajahan lebih takut kepada golongan dan organisasi daripada orang per orang.

Historiografi baru ala Shiraishi menganggap orang, rakyat yang lebih penting dan melihat pergerakan sebagai gelombang gerak rakyat ketika memperoleh kesadaran baru tentang dunia ini serta merasa dapat mengubah dunia dan mengungkapkan kesadaran itu dengan wahana serta bahasa modern. Pendeknya, pergerakan adalah gelombang gerak rakyat, yang lintas golongan dan lintas organisasi. Namun, ia menutup kajiannya dengan kehancuran gelombang gerak rakyat itu dalam perlawanan bersenjata 1926.

***

Rakyat. Tapi benarkah ada rakyat Indonesia? Siapakah mereka? Di mana kedudukan mereka dalam pergerakan kebangsaan dan kemudian dalam kebangsaan Indonesia merdeka?

Semua kajian sarjana asing yang kita bicarakan diam membisu tentang rakyat, kecuali kajian Shiraishi. Yang satu ini pun berakhir dengan kehancuran. Jadi inilah benang merah pergerakan kebangsaan kita, bukan karena ramai dibicarakan, tapi karena nyaris dilupakan. Dengan kata lain, rakyat dalam pergerakan kebangsaan kita jadi mencolok karena terlupa. "Being conspicuous by its absence," kata Shakespeare.

Memang, "rakyat" bukanlah kata asli Indonesia, tapi dipinjam dari Arab untuk menggantikan berbagai sebutan penjajah, seperti volk, inheemse bevolking, inlanders, tidak jelas kapan, tapi mungkin pada masa awal pergerakan kebangsaan kita. Di Indonesia pada umumnya sebutan yang agak dekat selalu terkurung dalam kerangka lapisan sosial, seperti wong cilik jika dilihat dari sudut jenjang kekuasaan, caca atau rumah tangga dari sudut lapisan pemilikan tanah.

Sayang, gerakan kebangsaan belum berhasil menggalang "rakyat" hingga senyata peuple menjelang dan sesudah Revolusi Prancis. Maknanya pun belum terumus sejernih peuple dalam rumusan Voltaire atau Mirabeau. Menurut Voltaire, peuple ialah penduduk yang tak punya apa-apa untuk bertahan hidup kecuali tangan. Menurut Mirabeau, mereka yang kekuasaannya tak mungkin dicabut kecuali dengan bayonet.

Ketika kekuasaan penjajah dan modal swasta dengan segala dampaknya sudah sampai ke pelosok Indonesia (Jawa), urusan dipermudah dengan tidak menghitung orang, melainkan desa dengan kepala desa atau "kebekelan" dengan "bekel"-nya. Apa yang kemudian disebut "rakyat" tidak ada kecuali dalam nama saja. Mereka praktis diperlakukan sama dengan barang atau hewan peliharaan belaka.

Pergerakan kebangsaan berhasil mencapai Indonesia merdeka, tapi gagal membangkitkan "rakyat". Dan mengikuti Van Niel tentang perubahan sosial golongan elite atau the leader group of Indonesian society sebagai landasan sosial Indonesia merdeka, maka sekarang dapat juga dikatakan bahwa negara tanpa rakyat jadi landasan Indonesia merdeka.

Parakitri T. Simbolon Kolumnis, tinggal di Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.