Senin, 11 Agustus 2008

Tan Malaka, Sejak Agustus Itu

Oleh: Goenawan Mohamad
SAYA bisa bayangkan pagi hari 17 Agustus 1945 itu, di halaman sebuah rumah di Jalan Pegangsaan, Jakarta: menjelang pukul 09:00, semua yang hadir tahu, mereka akan melakukan sesuatu yang luar biasa.
Hari itu memang ada yang menerobos dan ada yang runtuh. Yang runtuh bukan sebuah kekuasaan politik; Hindia Belanda sudah tak ada, otoritas pendudukan Jepang yang menggantikannya baru saja kalah. Yang ambruk sebuah wacana.

Warisan Tan Malaka

Oleh: Asvi Warman Adam 
MENGAPA Tan Malaka tidak berhasil membesarkan Partai Murba? Jawabnya jelas, karena ia ditembak mati di Kediri tiga bulan setelah mendirikan partai itu. Pilihan hari pembentukan partai itu, 7 November 1948—bertepatan dengan hari revolusi Rusia—tentu tak sembarangan. Murba muncul setelah Partai Komunis Indonesia tersingkir pasca-Peristiwa Madiun, September 1948. Karena itu Murba dicitrakan sebagai partai komunis baru atau semacam pengganti PKI.
Itu pula yang kemudian menyebabkan keduanya bukan hanya bersaing sebagai organisasi kiri melainkan bermusuhan. Pertikaian paham mengenai pemberontakan PKI 1926/1927 antara Tan Malaka dan Musso berdampak panjang. Ketika Musso pulang ke Indonesia pada 1948, program politiknya memiliki berbagai kesamaan dengan Tan Malaka. Namun, ketika ditanya wartawan apakah mereka akan bekerja sama, Muso menjawabnya sinis. Bila ia punya kesempatan, katanya, yang pertama dilakukannya adalah menggantung Tan Malaka.

(Bukan) Seseorang dalam Arus Utama Revolusi

Oleh: Bonnie Triyana 
TAN Malaka adalah legenda. Pada 1950-an, di berbagai kota dan desa di Minangkabau, setiap orang tua menceritakan kepada anak-anaknya kehebatan Tan Malaka, yang konon bisa menghilang secara gaib dan berpindah dari satu tempat ke tempat lain, yang jaraknya terpaut ratusan kilometer, hanya dalam satu kedipan mata.

Mitos yang hadir di tengah masyarakat itu tak lain karena ”riwayat hidupnya bagaikan cerita detektif yang penuh ketegangan,” kata Dr Alfian dalam tulisannya, ”Tan Malaka Pejuang Revolusioner yang Kesepian”. Matu Mona alias Hasbullah Parinduri meminjam sosok Tan Malaka untuk karakter Pacar Merah dalam roman Pacar Merah. Muhammad Yamin menyebutnya sebagai Bapak Republik Indonesia yang dipersamakan dengan Washington yang merancang Republik Amerika Serikat jauh sebelum merdeka, atau dengan Rizal-Bonifacio yang meramalkan berdirinya Filipina sebelum revolusi terjadi. Rudolf Mrazek menyebut Tan Malaka sebagai manusia komplet. Ia begitu hebat: pemikir yang cerdas dan aktivis politik yang lincah.
Dengan sederet puja-puji itu, kenapa justru ia tidak mendapat posisi penting di republik ini?

Madilog: Sebuah Sintesis Perantauan

Oleh: Rizal Adhitya Hidayat 
SAMPAI kematiannya yang tragis sebagai tumbal revolusi, lebih dari 20 tahun hidup Tan Malaka dihabiskan untuk merantau di negeri lain. Dari agen Komintern untuk Asia di Kanton sampai menjadi free agent bagi dirinya sendiri. Dari seorang pedagog tulen dengan jaminan finansial hingga hidup merdeka seratus persen. Dan Madilog, buku yang ditulisnya dalam persembunyian dari Kempetai, polisi rahasia Jepang (1943), adalah warisannya yang paling otentik.
Tan menginginkan Madilog—singkatan dari Materialisme, Dialektika, dan Logika—sebagai panduan cara berpikir yang realistis, pragmatis, dan fleksibel. Inilah warisan perantauannya yang berasal dari pemikiran Barat untuk mengikis nilai-nilai feodalisme, mental budak, dan kultus takhayul yang, menurut dia, diidap rakyat Indonesia. Mengapa? Sebab, Tan berpikir, mulai periode Yunnan sampai imperialisme Jepang, bangsa Indonesia tidak mempunyai riwayat kesejarahan sendiri selain perbudakan. Tak mengherankan bila budaya bangsa ini berubah menjadi pasif dan menafikan sama sekali penggunaan asas eksplorasi logika sains.

Pemberontak dari Alam Permai Minangkabau

Oleh: Zulhasril Nasir 
BERDIRI di tempat tinggi, menadahkan kedua tangannya, Roger Tol, peneliti dari lembaga Belanda KITLV, berseru, ”Mengapa di tempat yang indah dan subur ini lahir seorang pemberontak?” Harry Poeze, sejarawan peneliti Tan Malaka yang tegak di sampingnya, hanya membisu.
Adegan itu terjadi di Pandan Gadang, tempat lahir Ibrahim Datuk Tan Malaka, 32 kilometer dari Payakumbuh, Sumatera Barat. Kedua peneliti itu baru usai meresmikan ”Rumah Tan Malaka: Museum dan Pustaka”, pada 22 Februari 2008. Nagari Pandan Gadang tersuruk di Bukit Barisan, di antara lempit bukit dan sawah hijau membentang, kicau burung berlompatan di buah-buah ranum.

Republik dalam Mimpi Tan Malaka

Oleh: Hasan Nasbi A. 
Dr Alfian menyebut Tan Malaka sebagai revolusioner kesepian. Mungkin tidak berlebihan. Tan Malaka memang pejuang kesepian dalam arti sesungguhnya. Sekitar 20 tahun (1922-1942) Tan Malaka hidup dalam pembuangan, tanpa didampingi teman seperjuangan. Beberapa kali dia harus meringkuk di penjara negara imperialis saat berada di Filipina dan Hong Kong, serta selama dua setengah tahun dipenjarakan tanpa pengadilan oleh pemerintah republik yang ia cita-citakan.
Sebagai pelarian dan tahanan, Tan tak pernah berhenti memikirkan nasib Negeri Hindia Belanda. Banyak gagasan yang lahir selama masa pelarian itu. Namun Tan Malaka tak punya cukup kesempatan untuk mendialektikakan gagasannya dengan tokoh-tokoh pejuang lain. Ada perbedaan waktu dan pengalaman sejarah yang membuat Tan Malaka berjarak dengan pengikut-pengikutnya yang kemudian berada dalam barisan Partai Murba. Meski tetap dijadikan idola hingga saat ini, perangai dan prinsip perjuangan Tan sungguh tak bisa diikuti oleh siapa pun. Hatinya terlalu teguh untuk diajak berkompromi dan punggungnya terlalu lurus untuk diajak sedikit membungkuk.

Tan Vs Pemberontakan 1926-1927

Oleh: Mestika Zed 
DI pagi buta yang becek, awal 1927, kaum pemberontak di Silungkang, Sumatera Barat, akhirnya mengikuti jejak rekan-rekan mereka di Banten, yang meletuskan pemberontakan pada pertengahan November 1926. Mereka menyerang kedudukan pemerintah.
Sasaran utama adalah menangkap dan membunuh pejabat pemerintah, pejabat pribumi, dan kulit putih. Mereka merusak sejumlah instalasi publik, seperti stasiun dan kantor pos. Juga berencana membakar instalasi tambang batu bara dan menyerang semua simbol rezim kolonial di kota itu.
Gerakan pemberontak itu dapat dipatahkan. Hanya sebagian kecil sasaran yang terpenuhi. Selebihnya menyisakan prahara berkepanjangan. Sampai 12 Januari 1927, lebih dari 1.300 orang ditangkap. Ratusan bom dan senjata api disita. Kebanyakan mereka dibuang ke luar Sumatera Barat, termasuk ke Digul. Ada pula yang dihukum gantung.

Tan Malaka: Nasionalisme Seorang Marxis

Oleh: Ignas Kleden 
TAN Malaka meninggal pada usia 52 tahun. Setengah dari usia itu dilewatkannya di luar negeri: enam tahun belajar di Negeri Belanda dan 20 tahun mengembara dalam pelarian politik mengelilingi hampir separuh dunia. Pelarian politiknya dimulai di Amsterdam dan Rotterdam pada 1922, diteruskan ke Berlin, berlanjut ke Moskow, Kanton, Hong Kong, Manila, Shanghai, Amoy, dan beberapa desa di pedalaman Tiongkok, sebelum dia menyelundup ke Rangoon, Singapura, Penang, dan kembali ke Indonesia. Seluruhnya berlangsung antara 1922 dan 1942 dengan masa pelarian yang paling lama di Tiongkok.
Selama masa itu, dia menggunakan 13 alamat rahasia dan sekurangnya tujuh nama samaran. Di Manila dia dikenal sebagai Elias Fuentes dan Estahislau Rivera, sedangkan di Filipina Selatan dia menjadi Hasan Gozali. Di Shanghai dan Amoy dia adalah Ossario, wartawan Filipina. Ketika menyelundup ke Burma, dia mengubah namanya menjadi Oong Soong Lee, orang Cina kelahiran Hawaii. Di Singapura, ketika menjadi guru bahasa Inggris di sekolah menengah atas, dia bernama Tan Ho Seng. Setelah masuk kembali ke Indonesia, dia bekerja di pertambangan Bayah, Banten, dan menjadi Ilyas Hussein.
Pelarian dan penyamaran itu dimungkinkan, salah satunya, karena dia menguasai bahasa-bahasa setempat dengan baik. Ketika dia ditangkap di Manila pada Agustus 1927, koran Amerika, Manila Bulletin, menulis, ”Tan Malaka, seorang Bolsyewik Jawa, ditangkap. Dia berbicara bermacam-macam bahasa: Belanda, Inggris, Jerman, Prancis, Tagalog, Tionghoa, dan Melayu.” Dalam pelarian itu, bermacam-macam pekerjaan sudah dilakukannya.

Misteri Mayor Psikopat

MENGAPA Tan Malaka ikut Mayor Sabarudin bergerilya ke Kediri? Inilah teka-teki yang sampai hari ini belum terjawab. Harry Poeze terheran-terheran, Tan yang sangat intelektual dan berpengalaman dalam sejumlah royan itu menyanggupi ajakan Sabarudin berjuang ke Kediri. ”Padahal Sabarudin dikenal sebagai seorang gila, bahkan psikopat,” ucap Poeze.

Wawancara Setelah Mati

Tan Malaka bak selebritas. Kisah hidupnya dicuplik untuk kisah roman, sosoknya dipalsu dan diburu.
-----------------------
NOVEMBER 1945. Tan Malaka sedang dalam perjalanan dari Yogyakarta menuju Surabaya. Di dalam mobil yang ditumpanginya, dia membawa serta bahan buku Madilog. Belum sampai di tempat tujuan, terbetik kabar sudah ada ”Tan Malaka” di Surabaya. Dia berorasi di hadapan para pejuang kemerdekaan. Pidatonya disiarkan stasiun radio lokal.
Begitu tiba di Surabaya, ia ditahan sejumlah aktivis, begitu juga Tan yang sudah berpidato. Soemarsono, pemimpin pemuda pejuang di Surabaya, membawa keduanya ke sebuah rumah. Menurut Harry A. Poeze, pengarang buku tentang Tan Malaka, kedok Tan palsu terbongkar lantaran penjelasannya tidak masuk akal. ”Gara-gara kasus itu, hampir saja bahan Madilog hilang,” kata Tan dalam pengantar bukunya tersebut.
Kisah Tan gadungan tak cuma sekali. Pada 1949, nama Tan muncul dalam sebuah wawancara di koran lokal di Kediri, Jawa Timur. Yang menggelikan, pemuatannya terjadi setelah Tan meninggal. Menurut Poeze, jawaban-jawaban dalam wawancara juga tak sesuai dengan pemikiran Tan Malaka.

Trio Minang Bersimpang Jalan

Tan Malaka, Mohammad Hatta, dan Sutan Sjahrir berselisih paham tentang bagaimana memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan. Sama-sama egois.
----------------------------
OBROLAN tiga anak muda di rumah Darsono, tokoh komunis Indonesia, di Berlin, Jerman, pada pertengahan Juli 1922 itu berlangsung gayeng. Mohammad Hatta sengaja datang dari Belanda. Tan Malaka juga. Tan berapi-api menjelaskan komunisme yang dasarnya demokrasi tulen.
”Bukankah komunisme itu mengesahkan diktator, Bung? Karl Marx menyebut diktator proletariat,” Hatta, 20 tahun, menyela.
”Itu hanya ada pada masa peralihan,” Tan menukas. Dia melanjutkan, ”Peralihan kekuasaan kapitalis ke tangan masyarakat. Kaum buruh merintis jalan ke arah sosialisme dan komunisme yang terselenggara untuk orang banyak di bawah pimpinan badan-badan masyarakat. Jadi bukan diktator orang-seorang.”

Perempuan di Hati Macan

Kisah cinta Tan Malaka sama tragis dengan hidupnya yang klandestin. Mengidamkan sosok Kartini, ditolak dua kali oleh perempuan yang sama.
----------------------------
RAPAT tetua adat Nagari Pandan Gadang, Lima Puluh Kota, berlangsung sengit. Ibrahim, yang belum genap 17 tahun, menolak gelar datuk. Padahal dia anak lelaki tertua keluarga Simabur, yang harus memangku gelar itu sebelum ayahnya meninggal. ”Ibunya memberi pilihan: menolak gelar atau kawin,” kata Zulfikar Kamaruddin, 60 tahun, keponakan Ibrahim, kepada Tempo pada Juli lalu.
Ibrahim menyerah dan menerima gelar tertinggi dalam adat Minang itu. Maka nama lengkapnya menjadi Ibrahim Datuk Tan Malaka. Sebagai datuk, ia membawahkan keluarga Simabur, Piliang, dan Chaniago. Pesta penobatannya, pada 1913, digelar tujuh hari tujuh malam.

Sobatmu Selalu, Ibrahim

Sobat yang baik, Aku sama sekali tidak lupa memberitahukanmu bahwa aku telah gagal. Tidak sampai hati aku mengirimkan kartu pos bergambar dari Zandvoort padamu. Hari ini dan kemarin aku hanya banyak bersenang-senang dengan gadis-gadis, hingga aku merasa bahwa bersedih-sedih atas kegagalan itu hanya akan jadi bahan tertawaan saja....
Semoga kau mencapai sukses. Kuatkanlah hatimu, Kawan. Jika aku masih di Zandvoort, aku akan ke H (Haarlem) pada waktu hasil ujian diumumkan.
Tabek, Ieb Parkstr. 5, Zandvoort
(disadur dari kartu pos asli berbahasa Belanda yang dikirimkan Tan Malaka kepada Dick J.L. van Wijngaarden)
----------------------------
KARTU pos itu sudah lusuh dan kecokelatan termakan usia. Maklum, usianya sudah mencapai 80 tahun. Namun kartu itu tersimpan rapi dalam sebuah album bersama puluhan kartu pos lainnya. Di balik kartu pos terdapat gambar seorang gadis Belanda berbaring di atas pasir sambil tertawa menghadap kamera. Di belakangnya terlihat pantai Zandvoort yang terkenal sebagai pantai nudis—karena sering dikunjungi kelompok yang jarang berpakaian.
Ini hanya salah satu dari sekian banyak kartu pos yang dikirimkan Ibrahim Datuk Tan Malaka kepada sahabat karibnya selama di Belanda, Dick J.L. van Wijngaarden. Dia adalah teman curhat Ibrahim dalam segala hal. Mereka pernah satu kelas dan sempat tinggal di pemondokan yang sama di Bussum sampai Van Wijngaarden harus masuk militer.

Cita-cita Revolusi dari Tanah Haarlem

Tan Malaka pergi ke Belanda untuk sekolah guru. Ia pulang ke Indonesia dengan satu tekad: revolusi.
------------------------
HAARLEM, 2008. Lautan turis, penuh warna, dan berseri-seri. Para pelancong memenuhi kafe di sekitar Grote Markt yang dikelilingi bangunan bersejarah. Ada Vleeshal, pasar daging yang kini menjadi museum; Grote Kerk atau Sint Bavokerk, gereja terbesar yang menyimpan salah satu organ termegah di dunia dan pernah dimainkan Mozart ketika berumur 10 tahun; dan tentu saja, gedung City Hall, pusat administrasi Kota Haarlem.
Di Haarlem inilah Ibrahim Datuk Tan Malaka menginjakkan kaki pertama kali di Negeri Kincir Angin pada akhir 1913. Tak sulit membayangkan bagaimana Ibrahim menjalani kehidupan sehari-hari sebagai siswa sekolah guru Rijkweekschool di kota kecil bagian utara Belanda ini.

Macan dari Lembah Suliki

Jejak hidup dan pemikirannya terentang dari lembah sepi Suliki di Payakumbuh, Sumatera Barat, hingga Moskow di belahan timur Eropa.
Sejak kecil dia adalah si badung yang gandrung tantangan sampai mendapat julukan si Macan. Hidup sang Macan ternyata sunyi dari romansa. Tiga kali jatuh cinta, semuanya pupus di tengah jalan: Tan tidak pernah menikah. Perhatiannya hanya untuk perjuangan.
-------------------
HAMPIR dua abad berlalu, rumah gadang di Nagari Pandan Gadang masih kukuh berdiri. Atap ijuk memang sudah berganti seng, tapi tiang kayu utama, dinding, dan lantai tak tergantikan. Jendela-jendela berkaca patri juga sebagian masih terawat. Di teras tertera tulisan ”Tan Malaka”. Rumah itu terletak seratus meter dari jalan raya yang melintasi Suliki, Payakumbuh, 120 kilometer timur laut Padang.
Rumah ini tadinya didiami keturunan keluarga besar Tan Malaka. Tapi, sejak Februari 2008, rumah itu beralih fungsi menjadi museum. Buku-buku karya Tan dipajang di lemari kaca. Baju adat saat penyematan gelar, tempat tidur, dan foto-foto Tan juga ada di situ. ”Barang-barang ini dikumpulkan oleh keluarga,” kata Hengky Novaron, salah satu keturunan yang kini menjadi pemangku gelar Datuk Tan Malaka.

Tumpah Darahku dalam Sebuah Buku

AWAL tahun 1926. Di Tanah Air, revolusi sudah ”hamil tua”. Dari persembunyiannya di Geylang Serai, Singapura, buru-buru Tan menulis buku sepanjang 129 halaman agar kelahirannya yang prematur, menurut dia, bisa dicegah. Sialnya, pesan berjudul Massa Actie in Indonesia itu terlambat keluar dari percetakan. Pemberontakan Partai Komunis Indonesia 1926 sama sekali gagal menggoyang kekuasaan Belanda. Banyak pendukung terbunuh, para pemimpin dipenjarakan dan dibuang.
Targetnya tidak kesampaian, tapi Massa Actie kemudian justru disambut penuh gairah oleh kalangan nasionalis. Situasi memang sedang panas saat itu; gerakan antikolonialisme menggeliat di Jakarta, Bandung, dan Surabaya. Dan seperti api kecil yang bermunculan di sana-sini, Massa Actie adalah minyak tanah yang membuatnya berkobar dengan pelajaran sejarah ringkas akan arti sebuah imaji bernama Indonesia.
Di dalam Massa Actie, Tan membongkar kultur takhayul yang mendarah daging di bangsa ini, memperkenalkan macam-macam imperialisme, menunjukkan apa arti revolusi, dan menunjukkan bagaimana kekuatan rakyat bisa dimanfaatkan. Inilah semacam cetak biru bagi revolusi massa; desakan kuat dari bawah untuk mendorong perubahan. ”Massa aksi terjadi dari orang banyak yang bergerak,” katanya.

No Le Toqueis, Jawa!

Filipina adalah tanah air Tan yang kedua. Pesakitan di negeri sendiri, Tan justru dielu-elukan di Manila.
-------------------------
WAJAH Quezon langsung sumringah bila berbicara tentang Tan Malaka. Dalam Apa dan Siapa Tan Malaka, Muhammad Yamin mencatat betapa bekas ketua senat dan presiden Filipina itu tersenyum lebar ketika menyebut Tan, seorang kawan lama yang memanggil negeri pinoy itu dengan nama intim: Indonesia Utara.
Tan tak pernah tinggal lama di Filipina. Tapi kehadirannya membawa angin segar bagi gerakan nasionalis yang makin mekar setelah pahlawan mereka, Jose Rizal, dieksekusi pada 1896. Saat Tan ke sana, dua dekade sudah berlalu sejak Spanyol kalah perang. Ratusan ribu hingga satu juta orang Filipina tewas saat Amerika Serikat masuk. Jadilah negeri ini koloni dengan julukan berbau rasis, ”saudara kecil kita yang berkulit cokelat”.

Penggagas Awal Republik Indonesia

BERKELANA sebagai orang buangan di saat rekan-rekannya di Tanah Air berjuang melawan imperialis membuat Ibrahim Datuk Tan Malaka nelangsa. Ia kian kesal ketika permohonannya untuk kembali ke Jawa ditolak Gubernur Jenderal Hindia Belanda Dick Fock. Padahal keinginannya mengabdi kepada partai dan rakyat begitu menggebu-gebu.
Maka, di sela-sela tugasnya sebagai agen Komintern di Tiongkok, Tan pun menulis sebuah brosur panjang: Naar de Republiek Indonesia (Menuju Republik Indonesia). Dalam kata pengantar, dia menulis: ”Jiwa saya dari sini dapat menghubungi golongan terpelajar (intelektuil) dari penduduk Indonesia dengan buku ini sebagai alat.”
Naar de Republiek terbit di Kanton pada April 1925. Tak jelas berapa eksemplar brosur ini dicetak. Yang pasti, cuma beberapa buah yang berhasil masuk ke Indonesia. Tan kembali mencetak tulisan panjang itu ketika dia berada di Filipina pada Desember 1925. Cetakan kedua inilah yang kemudian menyebar luas melalui jaringan Perhimpunan Pelajar Indonesia. Para pemuda bahkan mengetik ulang buku ini—setiap kali dengan karbon rangkap tujuh.
Para pemimpin perjuangan, termasuk Bung Karno yang kala itu memimpin Klub Debat Bandung, membaca buku Tan. ”Bung Karno selalu membawanya,” kata Sayuti Melik, seperti dikutip Hadidjojo Nitimihardjo dalam pengantar edisi terjemahan Naar de Republiek.

Naskah dari Rawajati

DI DESA Rawajati, dekat sebuah pabrik sepatu di Kalibata, Jakarta, ia menyewa gubuk bambu. Pada sepetak ruang sekitar 15 meter persegi di rumah itulah, Ibrahim Datuk Tan Malaka, dari pukul enam pagi hingga pukul 12 siang, berkutat merangkum gagasan dan pikirannya.
Kelak buah pikiran itu mewujud dalam sebuah buku termasyhur: Madilog (Materialisme, Dialektika, dan Logika). Tan menulis Madilog sejak 15 Juli 1942 sampai 30 Maret 1943.
Selama bermukim di Rawajati, ia kerap menyambangi Museum Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen—sekarang Museum Nasional— untuk mencari dan membaca naskah rujukan. Ke museum yang kini terletak di seberang Monumen Nasional itu ia sering berjalan kaki—kadang butuh waktu empat jam.
Bila hendak ke sana, Tan bangun pukul setengah lima subuh. Tiba di museum sekitar pukul sembilan, ia biasanya tak lebih dari satu jam di perpustakaan. Setelah sebentar mempelajari keadaan di kota, ”Sorenya kembali jalan kaki menuju sarang saya di Kalibata,” tulis Tan dalam memoarnya, Dari Penjara ke Penjara II.

Gerilya di Tanah Sun Man

Meski sibuk menjalin hubungan dengan para revolusioner kiri, dia sempat menulis buku tentang Republik Indonesia.
------------------------
IBRAHIM Datuk Tan Malaka menjejak Tiongkok pada musim dingin 1923. Kala itu Dinasti Qing sudah lama terkubur. Kerajaan masih berdiri. Namun Puyi, The Last Emperor, praktis hanya ”boneka”. Negeri itu larut dalam tarik-menarik antara kekuatan Asing—terutama Inggris, Amerika, serta Jepang—dan para nasionalis yang menginginkan berdirinya Republik Cina merdeka.
Bujangan 26 tahun utusan Komintern di Moskow itu tinggal di Kanton, kini Guangzhou—kota di selatan Cina yang padat. Penduduknya dua juta. Toh, bagi Tan, Kanton tak pantas disebut kota besar. Cuma ada tiga jalan utama, satu kantor pos, perusahaan listrik, dan sebuah pabrik semen yang cerobongnya menjadi satu-satunya bangunan tinggi di sana. Namun Kanton istimewa karena menjadi pusat gerakan revolusi Cina. Sun Yat-sen atau Sun Man, pemimpin Kuomintang yang pada 1912 mendeklarasikan Republik Cina, tinggal di kota ini.
Tak lama setelah menetap, Tan mengunjungi dokter Sun, diantar ketua partai komunis setempat, Tang Ping-shan. Presiden Republik Cina Selatan itu tinggal di tepian Sungai Pearl yang membelah Kanton jadi dua. Di sana, Tan juga bertemu dengan anaknya, dokter Sun Po, dan rekan seperjuangannya, Wang Chin Way.
”Berjumpa orang revolusioner di Rusia adalah perkara biasa saja,” tulis Tan dalam memoarnya, Dari Penjara ke Penjara, mengenang pertemuan itu. ”Tapi berjumpakan revolusioner besar di Asia adalah perkara istimewa.” Dia begitu girang.

Kerani yang Baik Hati

Tan Malaka membangkitkan gerakan buruh di Bayah. Tempo menapak tilas perjalanannya.
---------------------------
PENDENGARANNYA tak lagi sempurna. Ingatannya pun telah memudar. Dia hanya menggelengkan kepala ketika ditanyai soal usianya. Parino, dalam kartu tanda penduduk, lahir di Purworejo pada Februari 1917. Sedangkan data Romusha Kecamatan Bayah mencatat nama Amat Parino kelahiran Purworejo 1924.
Parino kini tinggal di Kampung Pulo Manuk, Desa Darmasari, Bayah, Banten Selatan—sekitar 230 kilometer dari Jakarta. Dia diboyong dari Purworejo, Jawa Tengah, untuk bekerja di bagian lubang tambang batu bara. Parino tidak tahu persis usianya ketika itu. Yang diingatnya, ”Saya belum menikah, tapi sudah disunat,” ujarnya sambil tertawa.
Bayah menjadi tempat berkumpul romusha dan pegawai pertambangan sejak Jepang mengeksploitasi tambang batu bara pada 1 April 1943. Pada awal penambangan, sekitar 20 ribu orang datang dari Jawa Tengah dan Jawa Timur, termasuk Parino. Di kawasan pesisir selatan inilah Ibrahim Datuk Tan Malaka singgah dan bekerja sebagai juru tulis.
Tan Malaka datang ke Bayah pada Juni 1943. Dia dikenal masyarakat Bayah dengan nama samaran Ilyas Hussein. Parino lamat-lamat mengingat nama Hussein sebagai seorang kerani atau juru tulis. ”Kalau enggak salah, orangnya sangat pintar,” kata Parino.

Peniup Suling bagi Anak Kuli

Sekolah rakyat model Tan Malaka bertumbuhan di Jawa. Dia menjadikan Marxisme dan antikolonialisme sebagai dasar kurikulumnya.
-------------------------
Tan Malaka bersama staf, pengajar, dan murid-murid Sekolah Rakyat di Yogyakarta.
RAPAT para tuan besar perkebunan yang berada di wilayah perusahaan Senembah Mij baru saja dimulai. Tan Malaka mengamati belasan peserta yang hadir. Dari yang hadir itu, ia hanya kenal dua orang. Salah satunya Herr Graf, tuan besar di Tanjung Morawa, Sumatera Timur.
Tan menatap Graf, yang disebutnya sebagai musuh nomor satunya di Deli. Graf langsung menoleh ke arah lain. Selama rapat, kedua orang ini kerap beradu pandang. Tapi, begitu mata mereka bertemu, Graf dengan segera memalingkan mukanya. Demikian seterusnya.

Dukungan untuk Pan-Islamisme

DI Kongres Komunis Internasional ke-4, Tan Malaka menganjurkan kerja sama dengan kaum muslim dunia melawan kapitalisme. Gagasannya tak didukung, tapi pidatonya mendapat tepukan gemuruh peserta kongres. Petikannya:
.... Pan Islamisme punya sejarah panjang. Pertama saya ingin bercerita tentang pengalaman kami bekerja sama dengan kelompok muslim di Hindia. Di Jawa kami memiliki sebuah organisasi beranggotakan buruh-buruh miskin, Sarekat Islam, yang pada 1912-1916 memiliki satu juga anggota—mungkin juga tiga atau empat juta. Ini sebuah gerakan revolusioner yang amat besar dan muncul secara spontan.
Kami bekerja sama dengan kelompok ini sampai 1921. Sekitar 13 ribu anggota kami bergabung dan melakukan propaganda di dalam. Pada 1921 itu kami berhasil mempengaruhi mereka menjalankan program kami. Perkumpulan Islam itu mendorong masyarakat desa mengambil alih kendali perusahaan-perusahaan. Semboyannya: petani miskin menguasai semuanya, proletar menguasai segalanya! Jadi SI telah melakukan propaganda yang sama dengan Partai Komunis, cuma kadangkala dengan nama lain.

Bertemu Para Bolsyewik Tua

Mewakili Partai Komunis Indonesia dalam Kongres Komunis Internasional di Moskow. Minta sekolah lagi tapi ditolak.
---------------------------
BAGI aktivis komunis 1920-an, Vladimir Lenin, Josep Stalin, dan Leon Trotsky bukanlah nama biasa. Mereka ”dewa” komunisme yang menggerakkan kaum revolusioner dunia dari Moskow. Tan Malaka beruntung bisa bertemu dengan mereka.

Komunis muda van Hindia ini tiba di Moskow pada Oktober 1922, dari Jerman. Dia sering mengunjungi pabrik, berkenalan dengan para buruh, dan cepat akrab dengan para Bolsyewik di Negeri Beruang Merah itu. Kamarnya, di salah satu bekas hotel di Moskow, menjadi tempat singgah para pemuda dan pelajar.

Bolsyewik yang Terbuang

Sejarah Republik mencatat, Ibrahim Datuk Tan Malaka seorang Bolsyewik. Dia membaca buku Karl Marx dan berguru kepada para dedengkot komunis Rusia. Dia pernah memimpin Partai Komunis Indonesia. Bersama tetua Sarekat Islam, Tan menggagas sekolah rakyat—tempat belajar murah bagi anak-anak kaum Murba yang ditelantarkan penjajah Belanda. Buku-bukunya yang bergelora, seperti Naar de Republiek Indonesia dan Massa Actie, menjadi bacaan ”wajib” Ir Soekarno dan para bapak bangsa lain.
----------------------------
SEMARANG, 25 Desember 1921. Malam semakin larut, namun suhu dalam Kongres II Partai Komunis Indonesia malah memanas. Selain udara pengap oleh 1.500 orang peserta, hawa dalam ruangan juga tambah panas akibat pidato Abdul Muis, anggota Central Sarekat Islam. Dia mengungkit silat kata antara Partai Komunis dan beberapa tokoh Sarekat tentang Pan-Islam, beberapa bulan sebelumnya. Muis juga mengungkap lagi kritik Komunis Internasional terhadap gerakan Pan-Islam yang didukung sebagian anggota Sarekat.
Padahal, beberapa menit sebelumnya, Ibrahim Datuk Tan Malaka, telah mengingatkan perlunya persatuan antara Partai Komunis dan Sarekat Islam. Menurut Tan, yang baru terpilih sebagai Ketua Partai Komunis, kedua partai semestinya bersatu karena tujuannya sama: mengusir imperialis Belanda.
Di mata Tan, silang pendapat kedua partai hanyalah bagian dari politik pecah belah imperialis. ”Kalau perbedaan Islamisme dan komunisme kita perdalam dan kita lebih-lebihkan, kita memberikan kesempatan kepada musuh yang terus mengintai untuk melumpuhkan gerakan Indonesia,” katanya. Pendapat Tan ini didukung Kiai Haji Hadikusumo, tokoh Muhammadiyah di Sarekat Islam. Menurut Hadikusumo, mereka yang memecah-belah persatuan rakyat berarti bukan muslim sejati.

Gerilya Dua Sekawan

Tan Malaka dan Jenderal Soedirman sama-sama menentang diplomasi. Renggang setelah peristiwa Wirogunan.
-----------------
SLAMET Gandhiwijaya adalah aktivis Murba. Ia tinggal di rumah besar di dekat stasiun Kedungrandu, 10 kilometer dari Purwokerto, Jawa Tengah. Tan Malaka kerap datang sembunyi-sembunyi ke rumah itu. Di sana, dia kemudian bertemu dengan para tokoh Persatuan Perjuangan.
Beberapa kali sepanjang tahun 1946, Tan datang khusus untuk menemui Panglima Besar Tentara Keamanan Rakyat, Jenderal Sudirman. Perintis Gunawan, putra bungsu Slamet—kini 49 tahun—mendapat cerita pertemuan kedua tokoh itu dari ibunya, Martini.
Setiap datang ke rumah itu, Soedirman selalu lebih dulu mencari Herman, sepupu Perintis. Sang Jenderal lalu menimang-nimang bocah itu sebelum masuk ke ruang makan. Di situ ia bertemu dengan Tan. ”Ibu langsung disuruh keluar. Dia tidak boleh mengikuti pertemuan,” kata Perintis.

Si Mata Nyalang di Balai Societeit

Tan Malaka membangun Persatuan Perjuangan di Purwokerto. Upaya menyerang politik diplomasi pemerintah.
-------------------
PURWOKERTO, kota kecil di selatan Jawa Tengah, menyala-nyala. Bintang Merah, bendera Murba, berderet-deret setengah kilometer dari alun-alun kota hingga Societeit, balai pertemuan merangkap gedung bioskop. Tiga ratusan orang memenuhi bangunan itu. Mereka wakil dari 141 organisasi politik, organisasi kemasyarakatan, dan laskar.
Nirwan, guru Sekolah Rakyat dan aktivis Murba, mengingat petang itu, 4 Januari 1946, tepat seratus hari pasukan Sekutu mendarat di Jawa. ”Orang berduyun-duyun ke kota ingin menyaksikan tamu yang datang,” ujar pria yang saat itu berusia 16 tersebut.
Rapat politik itu dihadiri antara lain para pemimpin pusat Partai Sosialis, Partai Komunis Indonesia, Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi), Partai Buruh Indonesia, Hizbullah, Gerakan Pemuda Islam Indonesia, Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi, dan Persatuan Wanita Indonesia. Rakyat jelata berjejal-jejal. Mereka antusias, karena Panglima Besar Jenderal Soedirman juga di tengah-tengah mereka.

Kisruh Ahli Waris Obor Revolusi

Soekarno pernah memberikan testamen politik dan naskah proklamasi kepada Tan Malaka. Testamen itu belakangan dibakarnya.
--------------------------
SAYUTI Melik mengemban tugas penting. Tiga pekan setelah proklamasi, ia diminta Soekarno mencari Tan Malaka. Bung Karno mendengar desas-desus tokoh pergerakan itu ada di Jakarta.
Untungnya, Sayuti tahu di mana mencari Tan. Beberapa hari sebelumnya, Menteri Luar Negeri Ahmad Soebardjo mempertemukannya dengan penulis buku Naar de Republiek Indonesia itu.
Pertemuan pun diatur. Soekarno meminta Soeharto, dokter pribadinya, menyediakan ruangan. Tapi ia merahasiakan siapa tamu yang akan datang. Dengan bersepeda, Sayuti menjemput Tan. Keduanya kemudian menuju rumah Soeharto—sekarang Apotek Titimurni—di Jalan Kramat Raya.

Jalan Sunyi Tamu dari Bayah

Menggagas konsep republik sejak 1925, Tan Malaka justru terlambat mengetahui proklamasi. Semboyannya membakar semangat dan mengilhami rapat akbar di Lapangan Ikada.
------------
IA memperkenalkan dirinya sebagai Ilyas Hussein. Datang dari Bayah, Banten Selatan, pria paruh baya itu bertamu ke rumah Sukarni di Jalan Minangkabau, Jakarta, awal Juni 1945. Di sana sudah ada Chaerul Saleh, B.M. Diah, Anwar, dan Harsono Tjokroaminoto. Tamu jauh itu hendak menghadiri kongres pemuda di Jakarta.
Memakai baju kaus, celana pendek hitam, dan topi perkebunan ditenteng di tangan, tamu itu disambut tuan rumah. Setelah sedikit basa-basi, Hussein menyampaikan analisisnya tentang kemerdekaan dan politik saat itu. Situasi memang lagi genting. Penjajah Jepang sudah di tubir jurang.
Ulasan Hussein tentang proklamasi membuat Sukarni terpukau. Pikiran Hussein sama persis dengan tulisan-tulisan Tan Malaka yang selama ini dipelajari Sukarni. Setelah mendengar analisis Hussein, Sukarni makin mantap: proklamasi harus segera diumumkan.

DIA YANG MAHIR DALAM REVOLUSI

Hatinya terlalu teguh untuk berkompromi. Maka ia diburu polisi rahasia Belanda, Inggris, Amerika, dan Jepang di 11 negara demi cita-cita utama: kemerdekaan Indonesia.
Ia, Tan Malaka, orang pertama yang menulis konsep Republik Indonesia. Muhammad Yamin menjulukinya ”Bapak Republik Indonesia”. Soekarno menyebutnya ”seorang yang mahir dalam revolusi”. Tapi hidupnya berakhir tragis di ujung senapan tentara republik yang didirikannya.
Ia seorang yang telah melukis revolusi Indonesia dengan bergelora. Namanya Tan Malaka, atau Ibrahim Datuk Tan Malaka, dan kini mungkin dua-tiga generasi melupakan sosoknya yang lengkap ini: kaya gagasan filosofis, tapi juga lincah berorganisasi.
-----------------
ORDE Baru telah melabur hitam peran sejarahnya. Tapi, harus diakui, di mata sebagian anak muda, Tan mempunyai daya tarik yang tak tertahankan. Sewaktu Soeharto berkuasa, menggali pemikiran serta langkah-langkah politik Tan sama seperti membaca novel-novel Pramoedya Ananta Toer. Buku-bukunya disebarluaskan lewat jaringan klandestin. Diskusi yang membahas alam pikirannya dilangsungkan secara berbisik. Meski dalam perjalanan hidupnya Tan akhirnya berseberangan dengan Partai Komunis Indonesia (PKI), sosoknya sering kali dihubungkan dengan PKI: musuh abadi Orde Baru.
Perlakuan serupa menimpa Tan di masa Soekarno berkuasa. Soekarno, melalui kabinet Sjahrir, memenjarakan Tan selama dua setengah tahun, tanpa pengadilan. Perseteruannya dengan para pemimpin pucuk PKI membuat ia terlempar dari lingkaran kekuasaan. Ketika PKI akrab dengan kekuasaan, Bung Karno memilih Musso—orang yang telah bersumpah menggantung Tan karena pertikaian internal partai—ketimbang Tan. Sedangkan D.N. Aidit memburu testamen politik Soekarno kepada Tan. Surat wasiat itu berisi penyerahan kekuasaan kepemimpinan kepada empat nama—salah satunya Tan—apabila Soekarno dan Hatta mati atau ditangkap. Akhirnya Soekarno sendiri membakar testamen tersebut. Testamen itu berbunyi: ”...jika saya tiada berdaya lagi, maka saya akan menyerahkan pimpinan revolusi kepada seorang yang telah mahir dalam gerakan revolusioner, Tan Malaka.”

Senin, 19 Mei 2008

Dari Tempat yang Akan Datang

PADA akhirnya kematianlah yang memisahkan mereka. Chairil Anwar mungkin tak pernah bermimpi memiliki cucu, seseorang yang kelak mengagumi sajak-sajaknya. Mochtar Lubis, si wartawan jihad, kini punya pengikut: seorang cucunya berkarier sebagai jurnalis. Mohammad Hatta hanya bisa dikenal Athar, cucu lelakinya, dari foto dan buku-buku.

Pada akhirnya kematianlah yang memisahkan mereka. Para pendiri republik itu pergi dengan cita-cita yang mungkin tak sepenuhnya terlaksana: tentang demokrasi yang tegak berdiri, dan orang ramai hidup tanpa perut keroncong.

Di Karet, di karet (daerahku y.a.d)," kata Chairil. Pada akhirnya kematianlah yang memisahkan mereka.

Surat dari Ternate

oleh: Sangkot Marzuki

KALAU orang Indonesia ditanya siapa pencetus teori evolusi, jawabannya hampir pasti Charles Darwin. Jawaban ini mungkin akan dilengkapi keterangan bahwa teori itu lahir setelah pelayaran Darwin ke Galapagos.

Sebenarnya nama yang lebih tepat disebut adalah Alfred Russel Wallace. Ia menemukan teori ini setelah diilhami oleh keanekaragaman hayati Indonesia, yang disebutnya memiliki dua macam fauna yang sangat berbeda, sebesar perbedaan hewan Afrika dan Amerika Selatan. Bukan karena kebanggaan buta sebagai bangsa Indonesia jika nama Wallace lebih patut disebut, tapi karena demikianlah yang sesungguhnya.

Siapakah Wallace? Mengapa dia terlupakan dan justru Darwin yang mendapat semua kehormatan sebagai pencetus teori akbar tersebut? Hikmah apa yang dapat diambil dari sejarah karya ilmiah Wallace di tanah air kita?

W. J. S. Poerwadarminta Bapak Kamus Indonesia

WILFRIDUS Joseph Sabarija Poerwadarminta (12 September 1904-28 November 1968) masuk angkatan orang Indonesia pertama yang memperkenalkan bahasa Indonesia di luar negeri setelah peristiwa bersejarah Sumpah Pemuda. Ketika menjadi dosen bahasa Melayu di Sekolah Bahasa Asing di Tokyo (1932-1937), ia sering mengatakan kepada orang Jepang bahwa Indonesia sudah punya bahasa nasional sendiri. Barangkali ia mengatakannya dengan begitu saja, tidak berlandaskan sebuah kesadaran politik. Barangkali juga kecintaannya kepada bahasa Indonesialah yang mendorong dia memuliakan bahasanya itu di negeri asing. Tapi kita tahu, baru pada 1938 bahasa Indonesia boleh dipakai dalam sidang-sidang di Dewan Rakyat Hindia-Belanda, yaitu sejak Mohammad Hoesni Thamrin berpidato dengan bahasa itu di sana.

Dalam ingatan kita, Poerwadarminta adalah seorang ilmuwan, bukan politikus. Ia ilmuwan swadidik bersahaja yang berperan besar dalam sejarah perkembangan bahasa Indonesia. Minatnya kepada bahasa sudah terlihat ketika ia berusia sekitar 20 tahun. Sambil mengajar di sebuah sekolah dasar di kota kelahirannya, Yogyakarta, ia mengambil kursus pelbagai bahasa, seperti bahasa Belanda, Inggris, Prancis, Sanskerta, Jerman, Jawa Kuno, Melayu, dan Jepang, sampai ia menguasai semua bahasa itu. Tercatat ia sudah menghasilkan sedikitnya 25 buku sebagian besar berupa kamus lima diktat kuliah bahasa, serta sejumlah tulisan yang tersebar di beberapa media cetak.

Tanda Bangsa Berbudaya

ALFRED Simanjuntak, 87 tahun, terus terang menyatakan kekagumannya pada tokoh satu ini. Saat pencipta lagu Bangun Pemudi Pemuda tersebut masih berusia dua tahun, si tokoh sudah menjadi anggota Volksraad alias parlemen Hindia Belanda. Pada usia 20-an Alfred pernah bertemu dengannya di sebuah gereja di Jalan Kramat, Jakarta Pusat. Berbincang dengannya pun menjadi kemewahan luar biasa. Terlebih bila melihat namanya. “Sudah Todung, Sutan, Gunung, Mulia lagi," kata Alfred.

Rasa hormat Alfred terhadap Profesor Doktor Todung Sutan Gunung Mulia (1896-1966) bukan semata melihat keturunan dan aktivitas politiknya. “Perhatiannya terhadap pendidikan dan agama sungguh luar biasa," ujarnya. “Dialah orang Batak yang paling terhormat." Tak mengherankan bila Alfred menjadi salah satu penggagas untuk mengabadikan namanya menjadi Badan Penerbit Kristen Gunung Mulia pada 1971.

Kisah Atlas dari Amsterdam

AJAKAN itu datang dari sahabat jauh di negeri Belanda, awal 1950. Mattheus van Randwijk, Kepala Redaksi dan Direktur Majalah Mingguan Vrij Nederland, meminta Djamaludin Adinegoro datang ke Belanda. Randwijk punya agenda penting. Bersama Cornelis de Koning, koleganya di Vrij Nederland, ia ingin memperbanyak penerbitan buku untuk Indonesia. Salah satunya membuat atlas.

Mereka mencurahkan energi pada usaha penerbitan dan penjualan buku setelah majalah yang dikelolanya goyah ditinggal pelanggan. Vrij Nederland dianggap terlalu memihak Indonesia.

Adinegoro menerima ajakan Randwijk. Ia rela meninggalkan Mimbar Indonesia, surat kabar yang ikut dirintisnya sejak 1947, karena upaya penerbitan buku itu untuk menjembatani hubungan Indonesia dan Belanda. "Kami sekeluarga sampai boyongan ke Amsterdam," kata Anita Bachtul Chatam, anak kedua Adinegoro, Selasa pekan lalu.

Lawatan ke Pelosok Negeri

SEKELOMPOK wartawan melakukan lawatan ke Sumatera, Singapura, hingga Malaysia pada 1947. Mereka dipimpin seorang pegawai tinggi Departemen Penerangan Republik Indonesia, Parada Harahap. Muhammad Radjab, wartawan kantor berita Antara, kemudian menuliskan perjalanan itu ke dalam sebuah buku, Tjatatan di Sumatera.

Buku itu diterbitkan Dinas Penerbitan Balai Pustaka dan dilansir pertama kali pada 1949. Bentuknya laporan perjalanan, lengkap dengan tanggal peristiwa. Selain Radjab, ikut serta Suardi Tasrif dari harian Berita Indonesia dan Rinto Alwi dari koran Merdeka. Mereka sudah menuliskan laporan perjalanan di koran masing-masing.

Radjab dalam pengantar bukunya menyebutkan, meski tak resmi berbagi tugas, masing-masing penulis melakukan pengamatan yang berbeda. Suardi Tasrif, misalnya, mengamati soal ekonomi, sementara Rinto Alwi lebih berfokus pada masalah politik. Ia sendiri lebih memperhatikan kondisi masyarakat serta kebiasaan dan kehidupan rakyat, yang baru saja merdeka.

Mati Ketawa Keliling Indonesia

SEBUAH tulisan Pramoedya Ananta Toer di koran Bintang Timur pada 1963 menancap di benak Gerson Poyk. Pram, pengasuh pojok kebudayaan Lentera, menganjurkan kepada mereka yang berminat menjadi penulis agar memiliki jiwa nasionalis. "Caranya, kenali Indonesia," kata Gerson, kini 77 tahun.

Maka Gerson pun berhenti mengajar di sebuah sekolah menengah pertama di Ternate, Maluku selain karena gaji guru tidak pasti. Gerson menjajal profesi baru sebagai wartawan Sinar Harapan. Menjadi jurnalis, pikirnya, punya kesempatan mengenali dan berkeliling Indonesia. Tapi hanya tujuh tahun ia bertahan. Alumnus sekolah guru agama di Surabaya ini kemudian menjadi wartawan lepas.

Mulai 1970, tulisan perjalanan Gerson muncul di banyak media. Ia lebih bebas menyambangi tempat-tempat yang belum pernah dikunjungi wartawan. Gerson melaporkan pelbagai hal: dari kisah dua gadis miskin yang menjadi pelacur di Jatiluhur, turis mabuk di Bali, petani karet di sekitar Sungai Kapuas yang terimbas embargo ekonomi Malaysia, hingga upacara adat di Merauke.

Tulisannya ringan dan jenaka, seringan hatinya ketika mengunjungi tempat-tempat itu. Ia tak pernah merencanakan kepergian dengan susah. Tiba-tiba ingin pergi ke Papua, berangkatlah ia ke sana, tak peduli kantong cekak. Gerson biasa mengembara tanpa sepeser pun uang. Ia pernah menjual jaket untuk ongkos pulang dari Bojonegoro, Jawa Timur.

Sepotong Sejarah Jakarta

CETAKAN pertama buku setebal 116 halaman ini diluncurkan pada 1977 oleh penerbit PT Dunia Pustaka Jaya. Sejak awal, Rosihan Anwar, sang penulis, membidik pembaca dari kalangan siswa sekolah dasar dan sekolah menengah pertama. Tak aneh bila bahasa dan penyajiannya dibuat mudah dan tidak berbelit-belit. "Font dan gambarnya juga khas buku untuk anak," ujar wartawan senior Budiman S. Hartoyo, yang juga kolektor buku tua.

Sang penulis, yang saat itu wartawan harian Asia Raya, lalu koran Merdeka, merekam kejadian penting di bulan-bulan pertama setelah Proklamasi. Termasuk beberapa kejadian yang tidak sempat dilaporkan di korannya dulu. "Sensor Jepang saat itu sangat ketat," kata Rosihan.

Tirto dan Koran Pergerakan


GEDUNG Indonesia Menggugat, Bandung, 7 Desember 2007. Artis Dewi Yull tampak terharu menerima kenang-kenangan Panitia Seabad Pers Kebangsaan. Cendera mata tersebut berupa poster buyutnya, R.M. Tirto Adhi Soerjo, yang menegaskan peran tokoh itu di kancah pergerakan nasional Indonesia.

Tirto Adhi Soerjo alias Djokomono merupakan orang pribumi pertama yang mendirikan perusahaan pers. Surat kabarnya, Medan Prijaji, dianggap sebagai surat kabar pertama Indonesia yang pendanaan, pengelolaan, percetakan, penerbitan, dan wartawannya orang Indonesia asli. "Pada masa itu, surat kabar biasanya dimiliki dan dikelola oleh orang Tionghoa, Belanda, atau Indo Belanda," kata wartawan senior Rosihan Anwar.

Cerita dari Tanah Dingin

BERAPA jauhkah jarak Marseille-Paris? Pada 1926, ketika bangsa Indonesia sedang sibuk bergerak", itu bukan pertanyaan mudah. Bacaan terbatas. Koran berbahasa Indonesia bisa dihitung dengan jari. Orang yang pernah menginjak Eropa pun tak banyak.

Tapi pembaca harian Pandji Pustaka tahu: Cuma sejauh Banjarmasin-Long Iram di Kalimantan." Ini kata Adinegoro, yang ketika itu sedang berkelana keliling Eropa. Barangkali ada orang di Long Iram atau Bandjarmasin jang tertawa membatja ini, akan tetapi demikianlah jang sebenarnja," tulisnya, dalam ejaan asli.

Djamaluddin Adinegoro Datuk Maharadjo Sutan bukanlah wartawan Pandji. Dia mahasiswa kedokteran di STOVIA yang gemar menulis. Mula-mula dia menulis untuk majalah Tjahaja Hindia, kemudian Pandji Pustaka.

Dari Angkot hingga Asimilasi

- Apa perbedaannya antara Orde Lama dan Orde Baru sekarang?

+ Ada perubahan, ada kemajuan, tapi tidak banyak.


DIALOG imajiner ini terdapat pada alinea awal Kompasiana edisi 31 Juli 1967. Ketika itu, Orde Baru masih balita. Rubrik itu menyoal keputusan Soeharto menunjuk Roeslan Abdulgani sebagai wakil tetap Indonesia di Perserikatan Bangsa-Bangsa. Padahal banyak pihak tak setuju.

Jadi, kesimpulan kita ialah bahwa dulu kita bungkem, pemerintah jalan terus," tulis kolom itu. Sekarang kita boleh bersuara, tapi pemerintah berjalan terus juga."

Lugas dan kritis, itu ciri Kompasiana, yang pertama kali muncul di harian Kompas pada 4 April 1966. Penulisnya P.K. Ojong, pendiri Kompas selain Jakob Oetama.

Menghadirkan Indonesia

nilah sekelompok wartawan yang menulis tentang Indonesia yang nyata: Tirto Adhi Soerjo, Adinegoro, Rosihan Anwar, Mohammad Radjab, P.K. Ojong, dan Gerson Poyk. Di ujung pena mereka, Nusantara menjadi tanah yang hidup dengan segala pesona dan karut-marutnya--bukan sekadar gugusan pulau yang membisu.

Inilah juga pelopor pertama pembuat atlas berbahasa Indonesia, ensiklopedia berbahasa Indonesia, dan kamus umum bahasa Indonesia. Mereka adalah Adinegoro, Adam Bachtiar, Sutopo, Todung Sutan Gunung Mulia, dan Wilfridus Joseph Sabarija Poerwadarminta.

Jagat Buku Islam dan Kebangkitan Nasional

oleh: Haidar Bagir

"MESKIPUN sains bisa membawa kita ke arah yang berlawanan, kemungkinan amat besar orang akan terus berdoa sampai akhir dunia, kecuali jika tabiat mental mereka berubah ke arah yang tak bisa kita ketahui sekarang. Dorongan untuk berdoa adalah suatu konsekuensi niscaya dari fakta bahwa, meskipun lubuk paling dalam dari diri-diri empiris manusia adalah berupa diri yang bersifat sosial, ia hanya dapat menemukan Socious (kawan agung)-nya yang memuaskan hati di suatu dunia ideal. Demikian psikolog dan filsuf Amerika Serikat, William James, meramalkan kehidupan manusia dalam bukunya tentang pengalaman religius yang kini telah menjadi klasik, Varieties of Religious Experience.

Mungkin cuma sebuah kebetulan bahwa buku tersebut terbit pada 1904, hanya empat tahun sebelum didirikannya Boedi Oetomo, yang diyakini sebagai momentum awal kebangkitan nasional Indonesia.

Kenyataannya, seabad lebih dari itu, tabiat mental manusia tetap tidak berubah-meski sains telah menjadi jauh lebih digdaya dalam semua bidang kehidupan mereka, dan meskipun ia seharusnya makin menggoyahkan keimanan manusia kepada religiusitas yang "tidak saintifik". Tidak seperti James, sosiolog sekaliber Peter Berger pun harus mengoreksi pandangannya tentang agama. Setelah melihat prospek agama akan meredup, dia pun beberapa tahun lalu menerbitkan buku suntingannya yang berjudul The Desecularisation of the World. Hampir di seluruh dunia, agama dan spiritualitas dinyatakannya menunjukkan gejala kebangkitan kembali.

(89) Wiro "Anak Rimba Indonesia"
Penerbit: Liong, Semarang (1956)

SAYA membaca Wiro kira-kira mulai kelas tiga sekolah rakyat. Pada 1957, saya membaca komik itu sampai jilid 10. Saya menangis ketika satu per satu hewan sahabat Wiro tewas ditembak Jepang.

Saya dan teman-teman sekelas menganggap Wiro sebagai Tarzan Indonesia. Tapi, dibandingkan dengan Tarzan, menurut saya, Wiro punya kelebihan. Gambarnya bagus, seperti gambar orang Indonesia. Saya dan teman-teman merasa lebih akrab.

Waktu itu komik dalam negeri bisa bersaing dengan komik luar negeri seperti Tarzan, Roy Rogers, Phantom, Rip Kirby, Superman, atau Flash Gordon. Saya lupa apakah komik luar negeri menjelang akhir 1950-an dilarang atau tidak. Seingat saya, saat itu memang mudah mendapatkan komik dalam negeri.

Bambang Bujono, wartawan senior dan seniman.

(90) Keulana
Penerbit: Firma Harris, Medan (1959)

TAGUAN Hardjo tak asing bagi saya. Ketika berumur delapan tahun, saya membaca karyanya. Sepulang sekolah, saya sempatkan diri menyambangi taman baca Persewaan Indah di kawasan Pakualaman, Yogyakarta. Di situlah kliping komik Taguan Hardjo dari sebuah koran tersusun. Saya lupa nama korannya. Komik utuhnya sangat sulit didapat walaupun sudah diterbitkan secara utuh.

Sungguh inspiratif tokoh dalam komik Taguan. Pendekar itu menjadi teladan bagi saya. Bukan cuma gemar mengembara, kejantanan pendekar ditunjukkan melalui nilai-nilai kejujuran yang diajarkan.

Komik Keulana baru saya baca dua tahun belakangan. Saya tertarik meriset komik itu karena memang hebat. Bagi saya, komik Taguan ajaib. Seperti relief, dan panelnya (bagian cerita) selalu selesai. Ia memiliki kemampuan seni gambar hampir sempurna. Detail dalam melukis perkampungan serta karakter orang sungguh eksotis. Ada sisi romantis alam indah permai dan laga aksinya yang sadistis.

Seno Gumira Ajidarma, penggemar komik.

(91) Matinya Seorang Petani
Penerbit: Majalah Indonesia (1955)

DI tangan Agam Wispi, pesan politik atau ideologi tidak tinggal sebagai slogan-slogan mentah yang kehilangan daya seperti batu apung yang melayang ringan. Pesan politik bukan saja menjadi artistik, tapi juga menjadi lontaran batu granit tajam. Wispi adalah satu dari sedikit seniman Lekra yang mampu memadukan mutu karya dengan ideologi secara pas.

Di Lekra, perdebatan internal tentang bagaimana melahirkan karya realisme sosialis tak pernah kunjung henti. Wispi termasuk pemimpinnya di "lapangan", bersama tokoh seniman lain seperti Amarzan Loebis dan Putu Oka Sukanta.

Karya yang cuma politik atau ideologi tertentu sering kali ditampik di "lingkaran dalam", secara diam-diam atau terang-terangan. Misalnya, karya penyair dadakan dari kalangan pemimpin sering dipertanyakan kelayakan pemuatannya di lembar kebudayaan. Wispi salah satu yang melakukannya dengan lantang. Wispi menganggap ada kecenderungan penggampangan dalam menerapkan ideologi dan artistik dalam sebuah karya.

Intensitas kesenimanan Wispi mirip Chairil Anwar. Chairil pembaru, dan Wispi, yang dalam hal berpakaian jauh lebih necis ketimbang Chairil, juga pembaru.

T. Iskandar Thamrin, sastrawan.

Hilang tapi Terus Berjuang

Apabila usul ditolak tanpa ditimbang suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan dituduh subversif dan mengganggu keamanan maka hanya ada satu kata: lawan!

KATA lawan!" dalam baris terakhir puisi bertajuk Peringatan yang dibuat di Solo pada 1996 itu lebih terkenal daripada penciptanya, Wiji Thukul. Tidak hanya di panggung pembacaan puisi, kata lawan!" sering diteriakkan di berbagai medan demonstrasi sampai sekarang. Kata lawan!" itu bahkan lebih ngetop dibanding judul puisi Thukul.

Kata itu seperti menjadi ikon demonstrasi melawan penguasa. Makin terasa kuat dan relevan karena sang penulis, yang bernama asli Wiji Widodo, sampai sekarang hilang tak tentu rimbanya. Dugaan kuat: Thukul sengaja dihilangkan". Lelaki kelahiran Kampung Sorogenen, Solo, 26 Agustus 1963, itu masih terus dicari keluarganya. Istri dan dua anaknya, Fitri Nganti Wani dan Fajar Merah, terus mempertanyakan nasib penyair mbeling itu.

Di mata Munir, Thukul luar biasa. Kalimat pendek itu menunjukkan pilihan hidup Wiji Thukul. Bukan pilihan yang mudah, Wiji Thukul telah membayarnya dengan mahal, dia telah menjadi korban praktek penghilangan orang," tulis Munir, Direktur Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan, dalam pengantar buku kumpulan puisi Wiji Thukul, Aku Ingin Jadi Peluru. Munir pun kemudian tewas diracun dan kasusnya belum tuntas hingga kini.

Potret Pembangkangan Rendra

TUBUHNYA yang tinggi dengan rambut yang tebal dikibarkan angin itu mampu menyihir para mahasiswa. Dia berdiri di atas panggung kampus sembari tangannya memegang setumpuk kertas berisi puisi yang dibacakannya. Dan Rendra, pemilik tubuh tinggi dan sepasang mata bak elang itu, akan membuang helai demi helai yang dibacakannya itu....

Kita adalah angkatan gagap yang diperanakkan oleh angkatan takabur, Kita kurang pendidikan resmi di dalam hal keadilan, karena tidak diajarkan berpolitik, dan tidak diajar dasar ilmu hukum
Suara yang nyaring, menekan, dan menyihir itulah yang selalu diingat Hendardi, kini 50 tahun. Sajak Anak Muda yang dibawakan Willibrordus Surendra Broto Rendra atau W.S. Rendra, bagi Hendardi, telah menjadi sumber inspirasi melawan rezim Orde Baru. "Waktu itu saya baru masuk menjadi mahasiswa. Kakak angkatan kami ditangkapi dan ditahan, militer masuk kampus," katanya.

Denyut Demonstran dalam Puisi

Anakmu yang berani Telah tersungkur ke bumi Ketika melawan tirani
-Salemba, Taufiq Ismail, 1966

SEBAIT sajak dalam kumpulan puisi Tirani dan Benteng itu menyeruak di tengah pergolakan politik 1966. Penyair Taufiq Ismail menulis puisi itu tatkala suhu politik negeri ini memanas. Gelombang demonstrasi pelajar dan mahasiswa menuntut pembubaran Partai Komunis Indonesia, Kabinet Dwikora, dan penurunan harga-dikenal dengan Tiga Tuntutan Rakyat-sedang marak-maraknya.

Ketika itu Jakarta membara oleh lautan demonstran. Di jalanan Ibu Kota, di tengah ingar-bingar pengunjuk rasa, puisi-puisi Taufiq hadir dalam bentuk stensilan bersama ratusan pamflet dan spanduk, yang meneriakkan protes terhadap pemerintahan Demokrasi Terpimpin di bawah Presiden Soekarno.

Puisi-puisi yang sarat dengan tema sosial itu berisi kecemasan, kesangsian, kebebasan, harapan, cita-cita, dan tekad. Taufiq baru saja dua tahun lulus dari Fakultas Kedokteran Hewan dan Peternakan Universitas Indonesia, dan langsung berada di tengah hiruk-pikuk demonstrasi. Ia mengabadikan momen bersejarah itu melalui puisi-puisi yang ditulis sepanjang Februari-Maret 1966.

Chairil Anwar dan Semangat Kebangsaan

oleh: Arif Bagus Prasetyo

SEMANGAT kebangsaan, atau nasionalisme dan patriotisme, memang seakan melekat pada citra Chairil Anwar (1922-1949). Chairil aktif berpuisi pada zaman revolusi, sebuah kurun mahagenting dalam sejarah bangsa Indonesia dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan. Puisi-puisi awalnya ditulis pada masa pendudukan Jepang dan karya-karya terakhirnya diguratkan pada pengujung dasawarsa 1940-an.

Kepenyairan Chairil bersinar ketika Indonesia masih "bangsa muda menjadi, baru bisa bilang 'aku'" (Buat Gadis Rasid) sehingga masih harus berjuang keras mempertahankan diri dari berbagai kekuatan eksternal dan internal yang ingin menghapus eksistensinya. Chairil semasa hidupnya konon bergaul dengan para tokoh elite pejuang-pendiri negara-bangsa Indonesia, seperti Bung Karno dan Bung Sjahrir.

Kritikus H.B. Jassin (almarhum) menobatkan Chairil sebagai "Pelopor Angkatan 45", sebuah periodisasi sastra(wan) Indonesia yang dinamai dengan angka keramat tahun kemerdekaan Republik Indonesia. Dan yang terpenting, sejumlah puisi Chairil memang jelas-jelas mengumandangkan spirit perjuangan dan kejuangan bangsa.

Itulah kiranya sebagian faktor yang membuat Chairil cenderung dinilai sebagai sosok penyair yang, lebih daripada penyair Indonesia lainnya di sepanjang sejarah, paling representatif membawa pijar semangat kebangsaan. Banyak sudah pakar sastra Indonesia yang menyepakati bahwa nasionalisme/patriotrisme adalah bagian penting dari riwayat Chairil sang Penyair.

Puisi: Roh Sebuah Gerakan

Puisi-puisi itu mengembuskan keberanian. Pada 1966, tatkala mahasiswa tertembak mati, sajak-sajak Tirani dan Benteng karya Taufiq Ismail adalah sebuah energi. Ketika pada 1978 kampus-kampus bergolak, sajak-sajak pamflet Rendra turut membakar, memberikan nyali kepada mahasiswa. "Aku tulis pamplet ini, karena lembaga pendapat umum ditutupi jaring labah-labah...." Adapun puisi Wiji Thukul paling populer dibacakan dalam rangkaian demonstrasi pada 1990-an: "Hanya satu kata: Lawan".

Inilah buku-buku puisi yang ikut berperan dalam mengkritik rezim. Kumpulan puisi yang mengikuti jejak, sajak-sajak si binatang jalang Chairil Anwar, yang kami anggap dari tahun 1945-an sampai kini pun mampu memberikan rasa perlawanan.

Selain itu, kami juga menyajikan komik yang dalam pandangan kami mampu membuat imajinasi anak-anak pada zamannya melayang pada sikap antikolonial.

Dari Perbendaharaan Lama

oleh: Taufik Abdullah

ALKISAH, tersebutlah perkataan bahwa Syekh Shaqiq Zahid memberikan nasihat kepada Sultan Harun al-Rasyid.

"Ya, Amirul Mukminin, ketahuilah olehmu yang mata air itu engkau juga dan segala menteri dan hulubalang dan lain daripada itu seperti segala sungai juga umpamanya. Jikalau mata air itu suci dan segala sungai itu keruh tiada mengapa. Tetapi jika mata air itu keruh dan segala sungai itu suci tiada berguna."

Maka sangatlah terharu Sultan mendengar perkataan ini karena Baginda merasakan juga akan kebenarannya. Syekh pun berkata lagi bahwa adapun "mata air" itu pangkal segala-galanya, karena ia adalah Sultan Khalifatur rahman dan Sultan Zilu'l-lahi fi-l alam. Sebab, jika tidaklah demikian halnya, "Raja itulah bayang-bayang iblis dan khalifah seteru Allah Ta'ala jua adanya." Tapi, walaupun raja itu "adil" dan kekuasaannya pun besar pula, "sungai-sungai" harus sadar bahwa raja tidak lebih daripada "hamba Allah", yang telah dikurniai Allah "kerajaan" dan "kebesaran". Karena itulah mereka harus menjaga kesucian atas kepercayaan yang telah diberikan Allah itu.

(75) Perjuangan Kita Publikasi: Berbentuk pamflet mulai 14 November 1945. Pusat Dokumentasi Politik Guntur menerbitkan ulang pada 2001.

SUTAN Sjahrir menulis dalam salah satu pamflet: "Pemerintahan harus di-demokratiseer." Sesudah Proklamasi dikumandangkan, pamflet tersebut makin sering ditulis. Menurut Sjahrir, risalah itu adalah ikhtiar mengupas perkara pokok dalam perjuangan.

Perjuangan Kita membuat Sjahrir tampak berseberangan dengan Soekarno, yang terobsesi pada persatuan dan kesatuan. Sjahrir justru menulis, "Tiap persatuan hanya akan bersifat taktis, temporer, dan karena itu insidental. Usaha-usaha untuk menyatukan secara paksa hanya menghasilkan anak banci. Persatuan semacam itu akan terasa sakit, tersesat, dan merusak pergerakan."

Sjahrir banyak mengkritik sejumlah elite yang dianggapnya tidak pantas duduk dalam pemerintahan. "Hal itu terkait hubungan mereka dengan pihak penjajah Jepang," kata Ahmad Mansur Suryanegara, sejarawan Universitas Padjadjaran, Bandung. Pamflet Sjahrir membuat kalangan muda menjadi tergugah nasionalismenya.

(76) Melawan Melalui Lelucon Publikasi: Majalah Tempo 1975-1983. Kumpulan artikel diterbitkan Pusat Data dan Analisa Tempo tahun 2000.

KUMPULAN tulisan Abdurrahman Wahid di majalah Tempo ini terentang antara tahun 1975 dan 1983. Temanya mulai dari politik, sosial, ekonomi, budaya, Islam, sampai pesantren. Pada periode itu, Orde Baru makin menunjukkan ototnya. "Pemerintah melakukan deideologisasi Islam," kata Ahmad Suaedy, Direktur The Wahid Institute.

Merogoh Hati Si Bung

"Kita sama tua dengan revolusi. Kita anak kandung revolusi! Di manakah Harian Rakjat dan golongannja pada petjahnja Revolusi 45 dan waktu berhadapan dengan kolonialisme Belanda?"...

PERNYATAAN gagah dan tudingan panas yang dimuat surat kabar Merdeka pada "Djumat, 3 Djuli 1964" itu mengarah ke Harian Rakjat. Ketika itu, silat kata di kedua surat kabar tersebut sudah hampir berlangsung satu bulan. Nyaris menggapai klimaks.

Sehari sebelumnya, Harian Rakjat memuat tulisan panjang bertajuk "Merdeka Sudah Jelas Sekali Membela Tuan Tanah". Lewat tulisannya itu, koran corong Partai Komunis Indonesia ini menangkis tudingan Merdeka yang menganggapnya sebagai "kaum rebelli" alias pembangkang.

Pergolakan yang Tak Pernah Padam

BUKU kecil berwarna hijau dengan gambar kepalan tangan yang gempal di sampulnya itu saya kenal pertama kali sewaktu masih belajar di pesantren pada awal 1980-an. Saya melihat sejumlah santri dengan sembunyi-sembunyi membaca buku itu. Agar tak ketahuan, mereka menaruh buku itu di sela-sela kitab berbahasa Arab. Dari luar, mereka tampak seolah-olah membaca kitab, padahal sedang menikmati sebuah buku yang dianggap "berbahaya" oleh banyak tokoh Islam.

Buku Pergolakan Pemikiran Islam yang berisi catatan harian Ahmad Wahib itu sudah menimbulkan "pergolakan" yang hebat di kalangan Islam sejak diterbitkan oleh LP3ES untuk pertama kali pada 1981. Kegemparan yang ditimbulkan buku ini melanjutkan heboh serupa yang disulut oleh pidato Nurcholish Madjid pada Januari 1970. Baik Wahib maupun Cak Nur lahir dari rahim yang sama, yakni Himpunan Mahasiswa Islam, organisasi mahasiswa Islam terbesar saat itu.

Gagasan Wahib dan Cak Nur memang menimbulkan kegemparan karena menabrak sejumlah doktrin yang sudah dianggap selesai. Sebaliknya, di mata anak-anak muda seperti mereka, doktrin-doktrin itu justru dipandang sebagai kebuntuan. Keprihatinan Wahib dan Cak Nur sebetulnya sederhana: kenapa Islam berdiri di luar perubahan-perubahan sosial yang terjadi, tanpa bisa memberikan arahan? Inti keprihatinannya satu: kontekstualisasi-bagaimana Islam nyambung dan relevan dengan perubahan-perubahan yang terus terjadi, bukan agama antik yang hanya peduli pada siksa kubur, neraka, surga, dan bidadari.

Bertukar Gagasan di Jalan Sunyi

Dua kepala lebih baik dari satu.

Dimulai dari Soetatmo Soerjokoesoemo yang beradu gagasan soal nasionalisme dengan Tjipto Mangoenkoesoemo pada 1918. Lalu Sanusi Pane dan kawan-kawan berdebat soal kebudayaan dengan Sutan Takdir Alisjahbana pada 1935. Hampir 30 tahun kemudian, Njoto berpolemik dengan Burhanudin Muhammad Diah soal manifesto politik Soekarno.

Di sudut lain, tak hirau oleh tempik sorak perdebatan, ada yang memilih jalan sunyi: menulis catatan harian. Soe Hok Gie dan Ahmad Wahib, untuk menyebut dua di antaranya. Tapi pengaruh catatan itu merentang jauh bertahun-tahun kemudian, melampaui zamannya. Semuanya, langsung atau tidak, membentuk konsep "Indonesia" di kepala kita.

Catatan Abadi Para Demonstran

HASIL suntingan Ismid Hadad dan Fuad Hashem sudah kelar. Buku Catatan Seorang Demonstran siap naik cetak pada 1972. Tapi buku yang berisi kumpulan catatan harian Soe Hok Gie itu akhirnya masuk laci. "Gie telanjang menyebut sejumlah nama yang dianggapnya bobrok. Padahal situasi sosial politik pada saat itu masih rawan," kata Daniel Dhakidae, salah seorang penggagas penerbitan buku tersebut.

Gagasan itu datang dari Yayasan Mandalawangi, yang didirikan teman-teman Gie. Untuk mengenang salah satu tokoh demonstran angkatan 1966 itu, mereka berencana menerbitkan catatan harian yang ditulisnya sejak dia berumur 15 tahun hingga 8 Desember 1969. Sayang, buku tersebut urung terbit. Baru 11 tahun kemudian, Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) bisa menerbitkan buku tersebut. Itu pun bukan dari naskah asli, tapi dari hasil fotokopi yang dimiliki Daniel.

Surat tentang Kebebasan dan Cita-cita

JEPARA, 8 Agustus 1900. Rosa Manuela Abendanon dan suaminya, seorang pejabat Hindia Belanda, Direktur Kementerian Pengajaran, Ibadat, dan Kerajinan, mampir ke kabupaten itu. Mereka bertemu dengan keluarga Bupati RMAA Sosroningrat, termasuk Kartini dan dua saudaranya-Roekmini dan Kardinah-dan menghabiskan dua malam bersama keluarga itu.

Sejak itu, Rosa Manuela Abendanon memperoleh gambaran seorang perempuan ningrat Jawa yang gelisah. Melalui surat-menyurat intensif, ia melihat gairah yang begitu tinggi untuk menuntut ilmu di Negeri Belanda. Juga pandangannya yang kritis terhadap sepak terjang pemerintah Hindia Belanda yang diskriminatif terhadap kaum pribumi di lingkungan sekitar dirinya, dan terhadap budaya aristokratik yang mengekang.

Ya, dia menulis soal kehidupan rakyat yang terbelakang dan minimnya pengajaran bagi para perempuan. Dia menggambarkan penderitaan perempuan Jawa yang terbelenggu oleh tradisi, dilarang belajar, dipingit, dan harus siap berpoligami dengan laki-laki yang tidak mereka kenal. Kartini berbicara tentang keinginannya mendobrak tradisi yang menghambat kemajuan. Dia akhirnya menyimpulkan: pendidikan mutlak perlu untuk mengangkat derajat perempuan Indonesia. Pengajaran kepada perempuan, secara tidak langsung, meningkatkan martabat bangsa.