Senin, 09 Maret 2009

Sjahrir dalam Renungan Dua Jilid

Oleh: DANIEL DHAKIDAE

MENGENANG Sutan Sjahrir menempatkan siapa pun jauh-jauh dari suasana selebrasi bagi salah seorang tokoh utama revolusi Indonesia. Mengenang Hatta adalah perayaan, untuk tidak mengulang super-selebrasi dalam hal Soekarno. Mengenang Sjahrir adalah merenungi keterasingan dan pengasingan sebegitu rupa sehingga terpaksa dilakukan sesuatu yang, pada dasarnya, memalukan untuk ”memperkenalkan kembali” siapa Sutan Sjahrir.

Sjahrir, Ilmu, dan Pembudakan Ilmuwan

Sjahrir adalah a man of paradox dalam berbagai arti. Tubuhnya kecil dengan tinggi tidak mencapai satu setengah meter, 145 sentimeter, dan berat badan hanya 45,5 kilogram. Namun di sana tersimpan energi dahsyat. Inteligensinya mengagumkan.

Namun—atau sebenarnya justru karena—inteligensinya yang besar itu dia meninggalkan studinya di Leiden, Belanda, tanpa berminat sedikit pun untuk menyelesaikannya, sebagaimana Hatta dan kawan-kawannya yang lain. Tentang ini, dengan enteng dia hanya berkata bahwa seorang pemegang titel itu hanya ”pemegang titel sahadja”, tidak lebih dari itu.

Namun pandangan Sjahrir jauh melampaui masalah sepele ijazah. Sjahrir menukik tajam ke dalam soal ilmu dan keilmuan ketika dia memberikan jawaban yang paling serius dalam Indonesische Overpeinzingen (IO): ”Lama-kelamaan saya tahu bagaimana membebaskan diri dari perbudakan ilmu resmi (de slavernij van de officiĆ«le wetenschap). Otoritas ilmiah tidak terlalu berarti bagiku secara batin. Dengan begitu seolah-olah jiwaku semakin bebas, tidak ada nama besar dan tenar, yang resmi maupun tidak resmi, yang menguasai pikiranku untuk membutakanku dengan kehebatannya dan membuang atau membantai semua kegiatan orisinalku…. Yang lebih penting bagiku adalah bagaimana tiba pada kebenaran harmonis dan pribadi sifatnya” (IO, 29 Desember 1936). Secara utiliter seolah-olah dia katakan: pengetahuan tidak berguna kalau tidak menjadi kebenaran yang bisa diserap dan diolah masing-masing orang. Di luar itu, ilmu hanya sekadar kumpulan kaidah dan abstraksi yang tak bermanfaat.

Renungan Jilid Satu: Sjahrir dan Dirinya

Sutan Sjahrir mewariskan kepada bangsa ini dua karya monumental. Pertama, yang sudah dikutip di atas, Indonesische Overpeinzingen, 1945, yang ditulis seluruhnya dalam bahasa Belanda. Dalam kata pengantar cetakan ketiga, dikatakan penerbit Belanda, ”Sjahrir mengejutkan dunia dengan kedalaman, dinginnya berpikir, dan kebijakan seorang negarawan.”

Kenyataan bahwa buku ini diterbitkan dalam bahasa Belanda, di Belanda pula, semakin mengasingkan penulisnya dari massa rakyat. Meski sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia pada 1947 oleh penerjemah tangguh, H.B. Jassin, buku ini tetap asing bagi sebagian besar warga bangsa ini, dulu, apalagi sekarang, untuk kalangan tua, apalagi untuk kalangan muda.

Melalui terjemahan Inggris, renungannya memukau dunia. Dalam hubungan itu, sama sekali bukan kebetulan kalau semua rentetan renungan selama kurang-lebih empat tahun, 1934-1938, dibuka Sjahrir dengan renungan utama tentang individu dan masyarakat. Persoalan ini jelas bukan masalah Indonesia, meski Indonesia mulai menapak ke dalamnya.

Namun pikiran Sjahrir hanya mungkin dipahami bila ditempatkan dalam arus utama Eropa, kalau diperhatikan bagaimana kekuatan baru seperti Uni Soviet, yang tengah mempropagandakan homo sovieticus, manusia baru Soviet, yang bebas dari nafsu kapital demi pengabdian kepada masyarakat komunis. Gerakan fasisme di daratan Eropa sendiri menempatkan nasion menjadi lebih penting daripada pribadi—baik di Jerman, Italia, maupun Spanyol. Ini bukan semata-mata karena Hitler, Mussolini, dan Franco, melainkan karena kaum filosof sekaliber Martin Heidegger pun menjadi sumber inspirasinya.

”The Kyoto School of Philosophy”, Kyoto tetsugaku-ha, mengembangkan hal serupa dengan menganut paham bahwa nilai etika baru mencapai kesempurnaan ketika semuanya diambil alih negara. Hanya negara yang menjamin kesempurnaan etis. Kesempurnaan etis akan mendapatkan terjemahan material dalam ekonomi persemakmuran dalam naungan bangsa dan negara Jepang bagi Asia.

Dalam paham dan pengalaman Sjahrir, bahkan Belanda pun, sarang dari individualisme itu, mengalami perubahan dan semakin mempopulerkan pembicaraan tentang apa yang oleh Sjahrir disebut sebagai pandangan hidup organik. Kalau ini yang terjadi, individualisme itu sudah jelas mengalami perubahan besar dan berarti dan berada dalam ancaman.

Bagi Sjahrir, semuanya mengarah ke suatu perkembangan yang mengkhawatirkan menuju sejenis staatsabsolutisme, absolutisme negara, di mana negara secara organik-biologik menjadi ”bentuk lebih tinggi dari masyarakat manusia”, dan dengan begitu tentu saja menjadi bentuk idaman. Sjahrir sangat khawatir terhadap perkembangan ini.

Sjahrir dan Nasionalisme

Kontroversi Sjahrir tertuang dalam pandangannya tentang nasionalisme yang melawan arus utama yang berlaku di Indonesia pada masa-masa itu. Soekarno senantiasa mengatakan nasionalisme Indonesia berbeda dari nasionalisme di mana pun karena nasionalisme Indonesia ”bukan nasionalisme yang timbul dari kesombongan belaka”, ”bukan nasionalisme yang menyerang-nyerang”, karena nasionalisme kita adalah nasionalisme ”ketimuran”.

Sjahrir tanpa tedeng aling-aling mengatakan nasionalisme adalah proyeksi kejiwaan dari semangat rendah diri dalam sikap kolonial antara penjajah dan kaum terjajah (de projectie van het inferioriteits-complex, IO, hlm. 178). Sebagaimana kita tahu, pandangan ini pun tidak jauh dari pandangan Julien Benda, kritikus intelektual Prancis, yang mengatakan nasionalisme adalah bentuk korup dari semangat kecendekiaan dan malah menjadi bagian dari nafsu kekuasaan. Sjahrir dan Benda bersetuju dalam hal ini.

Karena itu, Sjahrir mengatakan dia tidak pernah benar-benar menjadi penganut paham ”non-ko”, karena sikapnya menolak kerja sama dalam Dewan Ra’jat lebih menjadi propaganda politik, dan tidak pernah memungkinkannya membangun suatu dasar filosofis di atasnya. Menolak kerja sama dengan Belanda hanya pencerminan dari ketidakpahaman terhadap perkembangan dunia yang lebih luas; dunia sudah berubah. Namun nasionalisme berjalan di tempat.

Renungan Jilid Dua: Perdjoeangan Kita

Perdjoeangan Kita adalah sesungguhnya renungan Sjahrir jilid dua, pascaproklamasi. Sementara renungan pertama adalah sesuatu yang reflektif ketika subyek Sjahrir dan obyek dunia dan Indonesia tidak diberi jarak, renungan jilid dua Sjahrir mengambil jarak sepenuh-penuhnya sehingga menjadi sesuatu yang rasional dengan tujuan yang hendak langsung dicapai dan dengan alat yang Sjahrir sendiri tahu dan diberi rekomendasi utama: membersihkan pemerintahan dari noda-noda fasis Jepang.

Perdjoeangan Kita diterbitkan pada November 1945, kira-kira tiga bulan setelah proklamasi kemerdekaan. Berbeda dengan renungan Indonesia yang ditulis dalam bahasa Belanda, Perdjoeangan Kita ditulis dalam bahasa Indonesia karena, menurut pengantarnya sendiri, risalah tersebut ”mengoepas perkara pokok perdjoeangan kita sekarang” dan ”mengenai kehidoepan dan nasib ra’jat kita jang bermilioenan”.

Dalam masa tiga bulan bisa disaksikan semacam kekosongan, ketiadaan keputusan penting, dan malah ketiadaan pemerintahan. Sjahrir dengan tajam menunjukkan alasan mengapa terjadi hal-hal semacam itu. Pertama, yang mengambil alih dan mengendalikan pemerintahan adalah mereka yang berjiwa lemah yang biasa ”membungkuk serta berlari untuk Jepang atau Belanda”.

Kedua, perasaan bahwa kemerdekaan adalah karunia Jepang tidak memungkinkan mereka bertindak bahkan setelah Jepang kalah perang sekalipun. Ketiga, pemuda-pemuda tidak memiliki syarat untuk memimpin karena pemuda hanya cakap untuk ”menjadi serdadu... berbaris, menerima perintah menyerang, menyerbu dan berjibaku, dan tidak pernah diajar memimpin”. Karena tidak berpengetahuan lain, semuanya menyalin mentah-mentah apa yang dipelajari dari Jepang, yaitu berpikir dan bertindak fasistis.

Sjahrir dan Prediksinya

Prediksinya secara mengagumkan tidak meleset. Sedangkan yang menyangkut dirinya self-fulfilling. Apa yang sudah ditulisnya 10 tahun sebelum merdeka, di Banda Neira, akhirnya mendapatkan kepenuhan pada 1945. Apa yang dikhawatirkan dalam ”individu dan masyarakat” semakin menjadi kenyataan ketika mereka yang mendapatkan pendidikan militeristis Jepang mulai memegang tampuk pemerintahan republik baru. Sjahrir tidak perlu menunggu terlalu lama untuk mengalami otoritarianisme bangsanya sendiri ketika dia dipenjarakan di Madiun pada 1960 oleh militer dalam Demokrasi Terpimpin. Dia sakit di penjara, dikirim oleh pemerintah Soekarno ke rumah sakit di Swiss, dan menemui ajal di negeri asing itu pada 1965.

Bilamana dia hidup lebih lama lagi, dia pun akan menyaksikan bahwa apa yang ditakutinya pada 1934 mendapat kepenuhan dengan intensitas berlipat-ganda 30 tahun kelak dalam Orde Baru, yang selama 40 tahun mengerjakan neofasisme militer, yang tidak saja menguasai, tapi demi nafsu kesatuan, juga memporakporandakan bangsa ini.

DANIEL DHAKIDAE
Peneliti senior pada Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES), Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.