Senin, 09 Maret 2009

Foto Tua di Garasi Mursia

Sempat tinggal di rumahnya, Mursia bertekad meneruskan semangat Sjahrir: membangun koperasi.

ORANG memanggilnya Eyang Zaafril. Kini 84 tahun, Mursia Zaafril Ilyas memang orang lama. Halaman rumahnya di Jalan Tenes, Bareng, Malang, Jawa Timur, kerap menjadi tempat parkir gerobak pedagang keliling.

Lebih dari 60 tahun lalu, Mursia tinggal di rumah Sjahrir. Ia masih ingat detail kenangannya bersama pendiri Partai Sosialis Indonesia itu. Ia bertemu pertama kali dengan Bung Kecil pada 1942 di Surabaya, ketika menghadiri diskusi pemuda. Wiyono, gurunya di Taman Siswa Yogyakarta, yang mengenalkan mereka.

”Saya terkesan dengan pidato-pidatonya yang membakar semangat,” katanya ketika ditemui di rumahnya, tiga pekan lalu. ”Ia mengatakan: apa arti hidup seseorang dibanding nasib jutaan manusia yang telantar menjadi korban kekejaman manusia lain?”

Terbakar pidato-pidato Sjahrir, Mursia meninggalkan bangku sekolah. Ia bergabung dengan pergerakan pemuda Surabaya. Pada November 1945, perang berkobar di Surabaya. Mursia dan teman-temannya pindah ke Malang. Sebulan tinggal di kota ini, Mursia berencana pulang ke Madura. Rencana ini batal karena Belanda memblokir jalanan. Sjahrir ketika itu berkunjung ke Malang. ”Dia mengajak saya ke Jakarta,” tuturnya.

Sjahrir yang belum menikah menampung Mursia di rumahnya. Di rumah itu telah tinggal sejumlah pemuda termasuk Des Alwi. ”Bung Sjahrir tak punya uang banyak tapi rela berkorban untuk orang banyak. Dia tidak segan mengerjakan pekerjaan rumah seperti mencuci baju dan memasak.”

Mursia mengenang: ”Selama tinggal, saya diajak berdiskusi dengan tamu-tamu. Karena masih muda, saya banyak diam saja, mendengarkan. Kalau sedang berdua, Bung Sjahrir juga selalu memberikan nasihat.”

Suatu ketika Mursia pamit mau pulang ke Madura. Sjahrir tak mengizinkan. Alasannya, jalanan belum aman. Tapi tak lama kemudian Sjahrir memintanya menemui Presiden Soekarno yang ketika itu berada di Yogyakarta. ”Bung Sjahrir menitip pesan agar saya memberi tahu Presiden Soekarno soal sepak terjang orang komunis. Dia minta Presiden Soekarno tidak boleh terlalu dekat dan membela komunis.”

Mursia berangkat ke Yogyakarta. ”Saya menyampaikan surat ke Bung Karno. Ternyata itu surat pengantar agar saya diterima bekerja di Istana Kepresidenan. Saya kemudian diangkat menjadi sekretaris pribadi Bung Karno. Tugas saya menetapkan jadwal dan tamu yang bertemu. Enam bulan, saya berhenti dan pulang ke Madura. Saya sempat tinggal di Jalan Patuk, Yogyakarta.”

Setelah pada 1948 menikah dengan Zaafril Ilyas—dokter kandungan ternama di Malang yang meninggal pada 1990-an—Mursia tinggal di kota apel itu. Seperti Sjahrir, ia berniat membantu orang. ”Saya tidak tahu ilmu ekonomi. Satu-satunya pelajaran dari Bung Sjahrir, yang bilang koperasi bisa menjadi saluran perjuangan perekonomian. Saya turuti permintaan Bung Sjahrir dengan membentuk koperasi.”

Tahun 1950-an Mursia merintis koperasi, menghimpun pedagang Pasar Besar. ”Banyak yang menolak. Saya rayu para pedagang itu: mau tidak saya pinjami uang tapi nanti jadi anggota koperasi?”

Koperasi ini ternyata sangat lamban berkembang. Mursia kemudian menyimpulkan kegiatan ekonomi yang mampu bertahan dan berkembang adalah arisan. Kuncinya: anggota bersedia menalangi anggota lain yang belum membayar.

Ia lalu membentuk Koperasi Setia Budi Wanita, yang menerapkan sistem arisan. ”Kalau ada anggota gagal melunasi kewajibannya, semua anggota lain dalam kelompok harus menanggung secara merata. Saya membidik kalangan wanita, yang mengatur rumah tangga dan ikut mendukung ekonomi keluarga.”

Koperasi itu berkembang terus sampai anggotanya 2.000 orang. Ketika berumur sembilan tahun, Koperasi Setia bubar. Mursia ditangkap dengan tuduhan menggunakan koperasi itu buat menggulingkan Soekarno. Mursia merintis lagi pada 1972, setelah keluar dari penjara.

Kini Koperasi Setia Budi Wanita sukses merekrut 5.000 anggota. Koperasi ini mampu memutar uang Rp 1,8 miliar per bulan. Ia lalu mendirikan Pusat Koperasi Wanita Jawa Timur, yang kini menaungi 43 koperasi dengan aset miliaran rupiah dan 30.000-an anggota. Pada 1990, dia menghidupkan Induk Koperasi Wanita tingkat nasional.

Semua itu dibangun dari garasi rumah Mursia. Di situ terpampang lukisan foto Sjahrir. Ia tersenyum: ”Lukisan itu membuat saya selalu bersemangat membangun koperasi.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.