Senin, 09 Maret 2009

Jalan Bersimpang Setelah Proklamasi


SEBENARNYA begitu banyak kemiripan Sutan Sjahrir dan Tan Malaka. Keduanya berdarah Minang, mengecap pendidikan Belanda, dan menolak kerja sama dengan Jepang.


Ketika proklamasi dibacakan, Sjahrir dan Tan tak unjuk diri. Sjahrir memilih berada di tepi, hanya mengamati. Tan sedang di Banten dan baru mengetahui proklamasi setelah mengunjungi rumah Achmad Soebardjo, yang sudah dikenalnya sejak 1920-an. Tapi keduanya kemudian mendapat surat wasiat dari Soekarno. Presiden Soekarno menunjuk empat orang sebagai penggantinya bila dia ditangkap Belanda atau mati: Tan Malaka, Sjahrir, Iwa Kusumasumantri, dan Wongsonegoro.

Oleh Wakil Presiden Mohammad Hatta, Sjahrir dan Tan juga sempat ditawari posisi menteri di kabinet pertama, namun keduanya menolak. Penolakan ini membuat pendukung dan lawan politiknya tak habis pikir.

"Kami terus mendorongnya bertindak," ujar Subadio Sastrosatomo, salah satu pengikut Sjahrir. Pemuda yang kurang sabar dengan sikap Sjahrir, seperti Adam Malik, bahkan menuduh dia, "Sengaja menjauhkan diri dari kesibukan membangun dasar-dasar Republik Indonesia."

Kendati banyak kesamaan, sedari mula bertemu, Sjahrir sudah menunjukkan tanda-tanda bakal bersimpang jalan dengan Tan. Mereka bertemu pertama kali di Bogor sekitar satu setengah bulan setelah proklamasi. Saat itu Sjahrir sudah menjabat Ketua Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat.

Dalam pertemuan itu, menurut George McT Kahin dalam Nationalism and Revolution in Indonesia (1952), Tan mengajak Sjahrir menggusur Soekarno-Hatta. Sjahrir mengelak halus. Dia mengatakan, "Kalau saja Engku punya popularitas sepuluh persen saja dari Soekarno, saya akan mempertimbangkan Engku sebagai presiden." Sjahrir memang sudah berkeliling Jawa dan menemukan betapa kuatnya pengaruh Soekarno.

Dalam pertemuan kedua di Serang, Banten, sekitar dua minggu kemudian, Tan mengusulkan berbagi peran dengan Sjahrir. "Saya akan berkeliling Jawa dan daerah lain. Dan Anda, kawan Sjahrir, akan memperkuat barisan di ibu kota Jakarta," kata Tan. Tapi Sjahrir tak menanggapi. "Malam itu, tak sepatah kata pun diucapkannya," ujar Tan.

Sejak itu keduanya berpisah jalan. Sjahrir, yang kemudian menjadi perdana menteri, melihat pengakuan kedaulatan dari negara lain itu penting, sehingga jalur diplomasi termasuk dengan Belanda perlu dibuka. Bagi Tan, pengakuan kemerdekaan, "Bukanlah syarat eksistensi Republik Indonesia." Dus, berunding dengan Belanda tak ada perlunya.

Dalam banyak hal, Sjahrir berbeda dengan Tan. L.N. Sitoroes, pengikut Sjahrir, mengatakan tak mungkin keduanya bisa bersama memimpin negara. "Tak mungkin terjadi. Salah satu di antaranya mestinya seorang Jawa," kata Sitoroes.

Namun "permusuhan" keduanya sebenarnya panas karena salah paham. Ketika Tan mendeklarasikan program minimum dan Persatuan Perjuangan pada 15 Januari 1946, banyak kalangan melihat itu sebagai oposisi terhadap Perdana Menteri Sjahrir. Tapi, menurut Subadio, Perjuangan hanyalah panggung untuk mendongkrak popularitas Tan. Dan yang diincar Perjuangan bukanlah Sjahrir, melainkan Soekarno.

Hubungan Sjahrir dengan Tan tambah buruk ketika sebulan setelah Persatuan Perjuangan berdiri, Tan dan beberapa anak buahnya ditangkap dan dibui. Tak jelas apa alasannya sebab tak ada pengadilan atas mereka. "Saya tidak mengerti siapa yang melakukan itu, mengapa dan atas wewenang apa," kata Tan, dua tahun kemudian.

Surat perintah penangkapan Tan diteken Menteri Pertahanan Amir Sjarifoeddin. Menurut Amir, dia bertindak berdasar perintah tertulis Sjahrir. Entah betul atau tidak pengakuan Amir, sebab tak pernah ditunjukkan surat perintah dari Sjahrir. Pengikut setia Tan, Adam Malik, meyakini penangkapan itu ulah Amir.

Posisi politik Sjahrir saat itu sebenarnya lemah dan terus melemah. Partai Masyumi dan PNI mengajukan mosi tak percaya terhadap kabinet Sjahrir pertama. Dalam kabinet Sjahrir berikutnya, pengaruh Soekarno-Hatta semakin benderang.

Perjalanan politik Tan bisa dibilang sudah tutup buku ketika dia masuk penjara. Pengaruhnya pelan-pelan terkikis. Apalagi setelah dia dituduh berada di balik penculikan Sjahrir di Surakarta pada pertengahan 1946. Tuduhan itu tak terbukti. Menurut Harry Poeze, sejarawan Belanda, otak di balik penculikan Sjahrir ini adalah Mayor Jenderal Soedarsono dan Mohammad Yamin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.