Senin, 09 Maret 2009

Kerja Sama Singkat Tan Malaka dan Sjahrir

Oleh: HARRY POEZE

SJAHRIR adalah satu dari Tujuh Begawan Revolusi Indonesia. Ketujuh orang ini—Soekarno, Hatta, Sjahrir, Amir Sjarifoeddin, Tan Malaka, Sudirman, dan A.H. Nasution—dalam kadar berbeda menentukan arah dan produk revolusi. Republik Indonesia pada zaman revolusi, dengan demikian, bukan merupakan akibat dari proses sosial yang impersonal dan tak terhentikan, melainkan hasil interaksi ribuan orang dan organisasi, kelompok angkatan bersenjata dan badan perjuangan, politikus nasional dan lokal, idealisme dan oportunisme, patriotisme dan banditisme, pahlawan dan pengecut. Semua ingar-bingar itu berakhir dengan ajaib: pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda pada Desember 1949.

Ketujuh pemimpin ini dengan caranya masing-masing berkontribusi bagi jalannya revolusi. Setelah revolusi, mereka mengalami peruntungan berbeda, aliansi berbeda, dan perimbangan kekuatan berbeda.

Sjahrir dan Amir, yang tak tergoda bekerja sama dengan Jepang, pada 1945 segera mengambil alih kekuasaan dari tangan Soekarno dan Hatta. Mereka menghadirkan Republik Indonesia yang siap bernegosiasi dengan Sekutu dan Belanda. Di latar belakang, Soekarno dan Hatta menunggu saat yang tepat untuk comeback. Kesempatan itu datang tatkala Sjahrir berada di bawah tekanan melakukan terlalu banyak konsesi dalam pembicaraannya—yang dalam diskursus politik sering disederhanakan sebagai diplomasi.


Tan Malaka, politikus sorangan, yang setelah 20 tahun di pembuangan, secara diam-diam kembali ke Jawa pada 1942. Ia mengepalai sebuah koalisi berwajah angker antara organisasi politik dan organisasi militer, Persatuan Perjuangan. Koalisi yang membawa panji-panji perjuangan ini melancarkan oposisi blak-blakan terhadap konsesi apa pun dengan Belanda, bila konsesi itu menyimpang dari semangat Proklamasi. Tujuan mereka adalah merdeka 100 persen.

Namun Tan Malaka dan koalisinya ternyata hanya raksasa dengan kaki dari tanah liat. Setelah melakukan perlawanan sengit terhadap Sjahrir, Amir, Soekarno, dan Hatta—keempatnya hanya memberikan tanggapan moderat— dalam sidang parlemen sementara, yaitu Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) di Solo pada Februari 1946, Persatuan Perjuangan lenyap tak berbekas. Tan Malaka pun hilang dalam gerhana.

Kendati demikian, Tan masih dianggap ancaman bagi kehormatan Republik. Entah Amir atau Sjahrir, atau mungkin keduanya, dengan persetujuan Soekarno, secara tak resmi mendukung penculikan Tan Malaka dan beberapa pengikut setianya oleh dua orang pemuda Pesindo, organisasi pemuda sosialis, dari sayap yang dipersenjatai. Penculikan pada Maret 1946 itu berhasil, tak mendapat kecaman publik, dan Tan Malaka ditahan tanpa proses persidangan sampai September 1948. Ketika dibebaskan, Tan tentu saja sakit hati terhadap mereka yang bertanggung jawab atas penahanannya: Sjahrir, Amir, Soekarno, Hatta.

Selama delapan bulan—dari Proklamasi sampai penculikan Tan Malaka—Tan berubah dari negarawan senior terhormat, disegani karena pengalamannya dan perjuangan antikolonialnya, dan seorang teoretikus revolusi, menjadi orang buangan, dihujat dan dilupakan. Sjahrir adalah salah satu pengagumnya. Mereka bertemu pertama kali pada September, di rumah Soebardjo, tempat Tan Malaka tinggal sementara. Mereka bertemu lagi ketika Tan Malaka pindah ke Bogor. Sjahrir dan para pemuda terkemuka mendiskusikan cara menggantikan kekuasaan presiden Soekarno dan Hatta dengan pemerintahan parlementer yang dikepalai Sjahrir.

Tan Malaka memberikan usulan dalam bahasa Inggris: ”We must follow a nationalist policy with a very deep cut into socialism” (Kita harus menjalankan suatu politik nasionalis yang sangat diwarnai oleh sosialisme). Sjahrir setuju. Dalam kerja sama yang erat, mereka merencanakan langkah-langkah untuk mengambil alih kekuasaan dari Soekarno dan Hatta.

Tapi belakangan Sjahrir berpikir bahwa dalam keadaan segenting itu perlu mempertahankan Soekarno sebagai simbol negara. Sjahrir juga menaruh rasa hormat pada Tan Malaka yang ia sapa dengan sapaan kehormatan Minangkabau, Engku.

Sjahrir kemudian terpilih menjadi Kepala Badan Pekerja KNIP pada 17 Oktober untuk menangani masalah-masalah parlementer. Ia mengisi lembaga yang dipimpinnya dengan sejumlah besar pendukungnya yang ditemuinya seminggu kemudian. Termasuk, Tan Malaka yang saat itu berada di Serang. Ini merupakan pertemuan penting. Tan Malaka mengemukakan pandangannya bahwa perlawanan all-out terhadap Belanda merupakan kebijakan yang harus diikuti. Indonesia tak memiliki persenjataan, tapi ia memiliki rakyat dan pemuda yang siap bertempur.

Ancaman bumi hangus akan mencegah Belanda untuk kembali. Perundingan dengan Belanda hanya boleh terjadi bila Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia. Perlawanan total inilah yang kemudian menjadi program Persatuan Perjuangan dan memicu bubarnya kerja sama Tan Malaka dan Sjahrir. Tapi, di Serang, Sjahrir masih meminta Tan Malaka menjadi Ketua Partai Sosialis yang segera didirikan. Reputasi Tan yang legendaris dipandang dapat memperkuat basis kekuasaan yang solid bagi Sjahrir.

Tan Malaka menolak tawaran itu. Dalam pandangannya, partai-partai yang tumbuh seperti jamur di musim hujan hanya membawa perpecahan dan mengancam persatuan yang begitu diperlukan bagi perjuangan melawan Belanda. Tan Malaka menegaskan prinsipnya: ”Sesudah lebih daripada dua puluh tahun di belakang ini, saya tiada ingin akan menjadi teman separtai kaum sosialis, yang kebanyakan masih mau berkompromi dengan kapitalis-imperialis itu.” Kepada pengikut setianya, Maroeto Nitimihardjo, ia bahkan lebih terus terang, ”Aku tak bisa melakukan ini, aku Komunis.”

Inilah akhir kerja sama kedua tokoh ini—Sjahrir memilih garis lebih moderat, Tan Malaka mengorganisasikan alternatif lebih radikal. Keduanya tak pernah bertemu lagi.

Dari ketujuh tokoh utama revolusi, hanya Sjahrir dan Tan Malaka yang menuangkan gagasan mereka dalam tulisan. Sjahrir menerbitkan Perjuangan Kita, yang beredar luas dan dipuji. Khususnya, oleh para pendukung di luar negeri—dari kelompok sosial demokrat yang moderat—yang setuju dengan lahirnya bangsa Indonesia yang baru. Namun prinsip-prinsip dan visi yang dikemukakan Sjahrir tentang persoalan-persoalan aktual kenegaraan terlalu singkat. Visi Sjahrir juga bercampur-aduk antara analisis politik, pertimbangan-pertimbangan taktis, rencana jangka pendek dan jangka panjang, pilihan praktis, ortodoksi Marxis, serta hasil pengamatan yang ditujukan kepada audiens dalam negeri dan luar negeri, yang disajikan kadang-kadang secara agresif, kadang-kadang tersembunyi.

Dibandingkan trilogi Tan Malaka yang disajikan dalam format dialog— Politik, Muslihat, Rencana Ekonomi—buklet Sjahrir tak dapat bersaing dengan tulisan Tan Malaka yang koheren dan mendalam tentang kebijakan-kebijakan pemerintah. Tapi Tan Malaka tak punya sarana untuk menerbitkan dan mengedarkan buklet-bukletnya. Ia juga tak mempunyai hubungan baik, serta kontak dan simpati dengan luar negeri.

Di dalam penjara Tan Malaka menulis Dari Penjara ke Penjara, yang juga berisi komentar-komentarnya tentang revolusi Indonesia yang diwarnai pengalaman-pengalaman getir bersama kuartet Soekarno, Hatta, Sjahrir, dan Amir. Dalam jilid tiga Dari Penjara ke Penjara yang beredar dalam bentuk stensilan ia tetap mengemukakan pandangan-pandangannya. Pada waktu itu Sjahrir telah turun dari jabatan perdana menteri, telah pula kehilangan goodwill, dan dituduh terlalu banyak melakukan konsesi dengan Belanda. Amir mengalami nasib yang sama menyusul keterlibatannya dalam Pemberontakan Komunis di Madiun, yang dibayar dengan eksekusi mati.

Analisis Tan Malaka atas keempat pemimpin dilakukan dalam bentuk sketsa: ”Satu dengan lainnya lebih banyak mempunyai persamaan dalam hal yang penting daripada perbedaan. Mereka sama-sama berasal dari golongan petite bourgeoisie, borjuis kecil Indonesia, sama-sama mendapatkan pendidikan sekolah Belanda tertinggi. Dan sama-sama bercita-cita ‘kerja-sama’ dengan imperialis Belanda, menurut Linggarjati dan Renville. Mereka cuma berbeda dalam kualitas, sifat, sebagai orang saja.”

Tentang Sjahrir, Tan menulis: ‘Sampai pada waktu Jepang menyerah, maka Sutan Sjahrir paling dekat dengan para pemuda […]. Tetapi dalam sikap tindakan merebut senjata dari Jepang pada 17-18-19 Agustus sudah kelihatan retak antara Sjahrir cs. dengan para pemuda. […] Sebenarnya Sjahrir sudah bertindak dengan Soekarno-Hatta. Dia dengan golongan pemudanya sudah melayang-layang di antara Massa Aksi dengan Diplomasi. Dia kelak dengan majunya perjuangan akan terpaksa memilih salah satunya—pekerjaan yang sangat sukar bagi borjuis kecil.” Tan terus mencadangkan kritik terhadap perilaku Sjahrir pada rapat KNIP di Solo, ketika keempatnya—Sjahrir, Amir, Soekarno, Hatta menyingkirkan Persatuan Perjuangan lewat gerakan-gerakan rahasia dan manuver-manuver cerdik.

Atas cara ini, dalam beberapa bulan, kerja sama yang menjanjikan telah berbelok menjadi perseberangan yang pahit, dengan Tan Malaka dalam peran abadinya sebagai pecundang sepi. Tapi hari-hari kejayaan Sjahrir juga pendek. Sejak Juli 1947, ia dihukum untuk berdiri di pinggir, sebagai pemimpin partai sosial demokratik yang kecil.

HARRY POEZE
Penulis biografi yang ekstensif tentang Tan Malaka. Jilid pertama dari enam jilid diterbitkan di Indonesia dengan judul Tan Malaka, Gerakan Kiri dan Revolusi, jilid I Agustus 1945-Maret 1946, tahun 2008. Tahun ini dua jilid lagi akan diterbitkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.