Senin, 09 Maret 2009

Setelah Sibi Tiada

Poppy Sjahrir membesarkan dua anaknya dalam kesederhanaan. Sempat larut dalam kesedihan.

BANDAR Udara Kemayoran, Jakarta Pusat, 17 April 1966. Jenazah bekas perdana menteri Sjahrir, yang baru datang dari Zurich, Swiss, disambut masyarakat dengan gempita. ”Pake diupacarain. Kami harus sering berdiri memberi hormat,” kata Siti Rabyah Parvati, kini 48 tahun, putri bungsu Sjahrir, mengenang. Keesokan harinya, Sjahrir dikebumikan di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Bekas Pemimpin Redaksi Harian Pedoman Rosihan Anwar mencatat setidaknya 250 ribu orang mengikuti prosesi pemakaman itu.


Penghormatan itu bertolak belakang dengan suasana ketika Sjahrir berangkat ke Zurich—dalam status tahanan politik—setahun sebelumnya. Tak ada hiruk-pikuk, tak ada pesta perpisahan, kecuali lambaian tangan beberapa kerabat.

Siti Rabyah (Upik) dan kakaknya, Kriya Arsjah Sjahrir (Buyung), berusia 6 dan 9 tahun saat ayahnya wafat. Ketika Sjahrir sakit di Zurich, kedua bersaudara ini punya waktu untuk selalu bersama mendiang. ”Sebelas bulan di Zurich adalah kesempatan kami menghabiskan waktu bersama Papa,” kata Upik. Sebelumnya, Sjahrir memang tak banyak di rumah. Pada 1962-1965 ia adalah tahanan politik di Jakarta dan Madiun.

Sepeninggal Sjahrir, Siti Wahjunah atau yang biasa disapa Poppy Sjahrir berusaha tak menampakkan kesedihan di depan anak-anak. Namun, ”Kami tahu Mama sedih,” kata Upik. ”Mama sering membuka kotak di kamarnya sambil menangis. Belakangan, ketika saya remaja, saya tahu bahwa kotak itu berisi gips cetakan wajah Papa.”

Kata Upik, ”Bagi Mama, yang ada hanya Sjahrir, Sjahrir, dan Sjahrir. Saya lari ke Bu Dun jika sedang sedih dan ingin curhat.” Bu Dun adalah Dunia Pantiadi, saudara yang membantu mengasuh Upik dan Buyung.

Dua tahun lebih Poppy larut dalam duka. Sampai, suatu kali, Dun menegurnya. ”Sibi sudah tiada. Dia meninggalkan Upik dan Buyung, jangan lupa itu, Zus,” Upik mengenang percakapan ibunya dan Dun. Sibi adalah panggilan Poppy kepada Sjahrir.

Teguran Dunia membuat Poppy sadar dan lebih memperhatikan kedua anaknya. Nilai-nilai yang diajarkan Sjahrir, terutama tentang kejujuran dan kebesaran hati, disampaikan Poppy dalam perbincangan di ruang keluarga. ”Saya jadi tahu sosok Papa lebih dekat,” kata Upik. ”Peninggalan Papa jauh lebih berharga dibanding harta.”

Upik lalu mengenang masa kecilnya. Ketika kecil ia hanya punya satu boneka. ”Itu pun pemberian Pak Muthalib, teman Papa.” Jika ingin main masak-masakan, Upik harus bertandang ke rumah tetangga. Adapun Buyung lebih beruntung. ”Saya punya dua sepeda. Mainan juga berlimpah waktu kami di Swiss,” kata Buyung, yang kini bekerja di Kementerian Perumahan Rakyat.

Setelah Sjahrir tiada, Poppy dan anak-anak rutin datang ke makamnya. ”Setiap Minggu pagi kami ke Kalibata,” kata Buyung.

Poppy amat aktif di berbagai organisasi kewanitaan. Kegiatan itu praktis tak banyak menghasilkan uang. Ekonomi keluarga akhirnya lebih banyak ditunjang bantuan kerabat dan keluarga. Sebagai perdana menteri, Sjahrir menerima uang pensiun yang tak seberapa. Pada 1992, uang pensiun Sjahrir hanya Rp 240 ribu per bulan, lalu naik menjadi Rp 600 ribu pada 1999.

Seiring berjalannya waktu, kebutuhan terus membengkak. ”Tak cukup kalau hanya mengandalkan uang pensiun,” kata Upik. Itu sebabnya, pada 1980-an, empat kamar di rumah Sjahrir, di Jalan Jawa, kini Jalan HOS Cokroaminoto, Jakarta Pusat, dijadikan kos-kosan.

Meski keuangan tak begitu baik, Poppy tak pernah mengeluh. Dia mewanti-wanti Upik dan Buyung tekun bersekolah. Beruntung, keduanya mendapat beasiswa dari Yayasan Supersemar meski besarnya hanya belasan ribu rupiah per bulan. Upik dan Buyung mencetak nilai bagus. Upik tamat dari Universitas Indonesia dan Buyung dari Institut Teknologi Bandung.

Poppy meninggal pada 8 Maret 1999, pada usia 89 tahun. Bagi Buyung, ketimbang Sjahrir, sang bunda lebih membekas dalam ingatannya. ”Sejak kecil, yang berjuang untuk kami adalah Mama,” katanya. Baginya, Poppy adalah ibu yang tegas tapi tak segan memuji anak-anaknya. Kata Buyung, ”Mama sering bilang, ’I’m proud of you’.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.