Senin, 09 Maret 2009

Sang Atom dan Dua Ideologi


SAAT berbicara dalam Konferensi Hubungan Asia pada 23 Maret 1947 di New Delhi, India, Sarojini Naidu (1879-1949) mengenalkan Sutan Sjahrir sebagai "perdana menteri atom", the atomic prime minister. Ada nada kagum dalam suara perempuan-penyair itu kepada perdana menteri termuda di dunia ini. Sjahrir ketika itu baru 38 tahun.

Atom, betapa tepat julukan itu. Sjahrir yang bertubuh kecil itu memang mengguncang khazanah diplomasi, ketika negara dunia ketiga lain belum bersuara. Dia manusia Indonesia pertama yang berpidato di majelis Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa di New York, Amerika Serikat, mengenalkan Indonesia dan menyerukan dihentikannya penjajahan.

Di dalam negeri, Sjahrir tak segan menyerang Soekarno-Hatta. Ia absen dalam Proklamasi 1945 karena menilai deklarasi itu rekayasa Jepang, simbol fasisme yang dia perangi seumur hidup.


Tapi para penentangnya juga memakai julukan "si atom" untuk mengkritik: Sjahrir tak pernah meledak. Sjahrir, misalnya, oleh kaum pergerakan Persatuan Perjuangan pimpinan Tan Malaka dituding hanya berkhotbah. "Ia sejenis intelektual yang elitis," tulis Adam Malik dalam Mengabdi Republik (1978).

Sjahrir memang bukan sejenis politikus yang mengajak kerumunan dengan suara gemuruh macam Bung Karno. Hamid Algadri, anggota Konstituante, bersaksi Sjahrir bukan orator ulung. Dalam diskusi-diskusi, tokoh Partai Sosialis Indonesia itu tak mengecam lalu memaksakan kehendak. "Itu memang ciri orang PSI, low profile," kata Rahman Tolleng, 71 tahun, aktivis-politikus simpatisan PSI.

Dalam banyak esainya, terutama dalam buku Sosialisme Indonesia Pembangunan (1982), Sjahrir menyerang pelbagai hal dengan sederet argumentasi yang meyakinkan. Ia menyerang komunisme sebagai ideologi yang mengkhianati sosialisme karena mengabaikan kemanusiaan, seperti Stalin di Rusia, Mao Zedong di Cina, Pol Pot di Vietnam. "Sosialisme yang kita perjuangkan adalah sosialisme yang memerdekakan manusia dari penindasan dan pengisapan oleh manusia," tulisnya.

Para penentangnya mengejek Sjahrir dengan sebutan "soska" alias sosialis kanan karena keterpukauannya kepada segala yang berbau Barat: mengkritik kekolotan, tradisi, dan primordialisme. Sejak muda, tokoh kelahiran Padang Panjang pada 5 Maret 1909 itu menyatakan telah berpisah dengan adat Minang.

Rahman Tolleng menyebut ideologi Sjahrir sebagai "republikanis-sosialis". "Karena dia menekankan partisipasi rakyat," katanya. Karena itulah Sjahrir mengubah sistem presidensial menjadi parlementer agar partisipasi itu bisa maksimal. "Tapi revolusi juga menjadi pilihan jika jalan parlemen sudah tak mungkin."

Sejarah mencatat jalan parlemen dan revolusi pun tak ditempuh Sjahrir. Sal Tas, seorang sosialis Belanda dan bekas suami istri-pertama Sjahrir, menyebut sahabatnya itu simbol tragedi Indonesia. Sjahrir orang yang "gugur dan gagal": meninggal di pengasingan dan PSI terpuruk.

Dalam Pemilihan Umum 1955 PSI hanya meraih dua persen suara dan lima kursi di parlemen. Justru Partai Komunis Indonesia, yang ia kritik ideologinya, menempati posisi keempat perolehan suara. Pada akhirnya, dalam politik, yang tampil adalah mereka yang bisa membujuk dan agitatif. Rakyat lebih senang kepada Bung Karno.

Sampai hari ini, Sjahrir lebih dikenal sebagai penganjur ideologi sosial demokrat. Menurut Vedi Hadiz, pengajar ilmu politik di Universitas Nasional Singapura, ideologi Sjahrir adalah perpaduan antara tradisi sosial demokrat dan liberalisme.

Sosial demokrat Sjahrir, misalnya, terlihat pada perhatian dan gerakannya menumbuhkan pendidikan rakyat. Sedangkan liberalisme muncul dari sikapnya yang menjunjung hak dan kebebasan individu.

Dengan ideologi macam itu, Sjahrir tak begitu populer pada 1950-an. PSI membutuhkan suatu kelas menengah yang kukuh, suatu golongan masyarakat yang melek dan berpendidikan. Menurut Vedi, sekaranglah zaman yang cocok untuk sosialisme Sjahrir. Atom itu bisa meledak di zaman Internet ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.