Senin, 11 Agustus 2008

Gerilya Dua Sekawan

Tan Malaka dan Jenderal Soedirman sama-sama menentang diplomasi. Renggang setelah peristiwa Wirogunan.
-----------------
SLAMET Gandhiwijaya adalah aktivis Murba. Ia tinggal di rumah besar di dekat stasiun Kedungrandu, 10 kilometer dari Purwokerto, Jawa Tengah. Tan Malaka kerap datang sembunyi-sembunyi ke rumah itu. Di sana, dia kemudian bertemu dengan para tokoh Persatuan Perjuangan.
Beberapa kali sepanjang tahun 1946, Tan datang khusus untuk menemui Panglima Besar Tentara Keamanan Rakyat, Jenderal Sudirman. Perintis Gunawan, putra bungsu Slamet—kini 49 tahun—mendapat cerita pertemuan kedua tokoh itu dari ibunya, Martini.
Setiap datang ke rumah itu, Soedirman selalu lebih dulu mencari Herman, sepupu Perintis. Sang Jenderal lalu menimang-nimang bocah itu sebelum masuk ke ruang makan. Di situ ia bertemu dengan Tan. ”Ibu langsung disuruh keluar. Dia tidak boleh mengikuti pertemuan,” kata Perintis.
Harry A. Poeze, sejarawan Belanda yang banyak menulis buku tentang Tan, mengatakan kedua tokoh itu berhubungan dekat. Mereka bertemu pertama kali dalam Konferensi Persatuan Perjuangan di Purwokerto, Januari 1946. ”Mereka mempunyai persamaan pendapat dan ideologi,” katanya.
Adam Malik, dalam buku Mengabdi Republik Jilid II: Angkatan 45, bahkan menyebut Tan dan Soedirman sebagai ”dwitunggal”. Ia menyamakan hubungan kedua tokoh dengan relasi Soekarno-Hatta serta Sutan Syahrir-Amir Syarifuddin. Adam menilai Tan dan Soedirman memiliki urat dan akar di kalangan pemuda radikal, anggota pasukan Pembela Tanah Air, dan bekas romusha. ”Di bawah pimpinan Tan dan Sudirman, para pemuda itu menyerang pos dan kubu pertahanan Jepang,” Adam menulis.
Keduanya juga diikat kesamaan sikap: menentang jalan diplomasi pemerintahan Sutan Syahrir. Bagi mereka, ”kemerdekaan harus seratus persen” dan ”berunding berarti kemerdekaan kurang dari seratus persen”.
Jalan oposisi Tan berbuah penjara. Menteri Pertahanan Amir Syarifuddin memerintahkan penangkapannya. Pada 17 Maret 1946 beserta beberapa pemimpin Persatuan Pergerakan, dia diringkus di Madiun, Jawa Timur. Tan dijebloskan ke penjara Wirogunan, Yogyakarta. Dua belas pemimpin Barisan Banteng ditangkap dua bulan kemudian.
Soedirman tidak tinggal diam. Ia memerintahkan Panglima Divisi III Mayor Jenderal Sudarsono membebaskan semua tahanan pada 3 Juli 1946. Dengan perintah ini, Sudarsono dan pasukannya menyerbu penjara Wirogunan. Aksi ini membuat marah Presiden Soekarno. Ia memerintahkan Letnan Kolonel Soeharto, penanggung jawab keamanan Yogyakarta—kelak menjadi presiden—agar menangkap Sudarsono.
Setelah peristiwa ini, hubungan Tan dan Soedirman merenggang. Soedirman menganggap koleganya terlalu jauh menekan Soekarno. Menurut Harry Poeze, Soedirman juga tidak setuju dengan langkah Tan membantu laskar rakyat yang secara politik bertentangan dengan tentara.
Adam Malik menulis, Presiden Soekarno berhasil meyakinkan Jenderal Soedirman untuk meninggalkan Tan. Sebagai balasan, ia mendukung penuh semua keputusan Sudirman sebagai panglima besar tentara. Sejarah mencatat, Tan dan Soedirman kembali ke jalan gerilya setelah Agresi Militer Belanda II pada 1948.
Dalam agresi itu, Belanda menangkap Soekarno, Hatta, Sutan Syahrir, Haji Agus Salim, dan para pejabat pemerintah. Mereka diasingkan ke Bangka. Sudirman lolos dari sergapan Belanda dan masuk hutan. Ia bergerilya di Jawa Tengah.
Tan berangkat ke Kediri dengan kereta api khusus, dikawal 50 orang. Ia bergabung dengan satu brigade Divisi IV Tentara Nasional Indonesia pimpinan Sabarudin di Blitar, Jawa Timur. Di markas pertahanan Desa Belimbing, Kediri, ia mendirikan Gabungan Pembela Proklamasi yang kemudian menjadi Gerilya Pembela Proklamasi.
Ia banyak menulis pamflet yang dia beri nama ”Dari Markas Murba Terpendam”. Lewat RRI Kediri, Tan menyerukan rakyat terus bergerilya melawan Belanda seperti Soedirman.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.