Senin, 11 Agustus 2008

Bolsyewik yang Terbuang

Sejarah Republik mencatat, Ibrahim Datuk Tan Malaka seorang Bolsyewik. Dia membaca buku Karl Marx dan berguru kepada para dedengkot komunis Rusia. Dia pernah memimpin Partai Komunis Indonesia. Bersama tetua Sarekat Islam, Tan menggagas sekolah rakyat—tempat belajar murah bagi anak-anak kaum Murba yang ditelantarkan penjajah Belanda. Buku-bukunya yang bergelora, seperti Naar de Republiek Indonesia dan Massa Actie, menjadi bacaan ”wajib” Ir Soekarno dan para bapak bangsa lain.
----------------------------
SEMARANG, 25 Desember 1921. Malam semakin larut, namun suhu dalam Kongres II Partai Komunis Indonesia malah memanas. Selain udara pengap oleh 1.500 orang peserta, hawa dalam ruangan juga tambah panas akibat pidato Abdul Muis, anggota Central Sarekat Islam. Dia mengungkit silat kata antara Partai Komunis dan beberapa tokoh Sarekat tentang Pan-Islam, beberapa bulan sebelumnya. Muis juga mengungkap lagi kritik Komunis Internasional terhadap gerakan Pan-Islam yang didukung sebagian anggota Sarekat.
Padahal, beberapa menit sebelumnya, Ibrahim Datuk Tan Malaka, telah mengingatkan perlunya persatuan antara Partai Komunis dan Sarekat Islam. Menurut Tan, yang baru terpilih sebagai Ketua Partai Komunis, kedua partai semestinya bersatu karena tujuannya sama: mengusir imperialis Belanda.
Di mata Tan, silang pendapat kedua partai hanyalah bagian dari politik pecah belah imperialis. ”Kalau perbedaan Islamisme dan komunisme kita perdalam dan kita lebih-lebihkan, kita memberikan kesempatan kepada musuh yang terus mengintai untuk melumpuhkan gerakan Indonesia,” katanya. Pendapat Tan ini didukung Kiai Haji Hadikusumo, tokoh Muhammadiyah di Sarekat Islam. Menurut Hadikusumo, mereka yang memecah-belah persatuan rakyat berarti bukan muslim sejati.
l l l
Ketika mendirikan Indische Sociaal Democratische Vereniging alias Perhimpunan Sosial Demokrasi di Hindia pada 9 Mei 1914, semula Hendricus Josephus Franciscus Marie Sneevliet tidak ingin terlibat politik. Dia ingin sekadar mempropagandakan sosialisme. Namun, ketika Perhimpunan yang mayoritas anggotanya orang Belanda di Hindia makin terlibat dalam politik lokal, kebutuhan melebarkan pengaruh pun makin besar.
Usaha pertamanya menggalang kerja sama dengan Insulinde bubar dalam setahun. Sneevliet, yang semula begitu terpesona dengan karisma Dr Tjipto Mangunkusumo, pemimpin Insulinde, gagal menyeret Tjipto ke ”kiri”. Belakangan, Sneevliet bahkan mengkritik Tjipto. ”Dia kurang memihak kelas proletar,” katanya.
Pada saat hubungan dengan Insulinde putus, sebenarnya Perhimpunan sudah mulai melirik Sarekat Islam. Jalur masuk ke Sarekat ini terbuka lewat Suharsikin, istri pemimpin Sarekat, Haji Omar Said Tjokroaminoto. Suharsikinlah pengelola rumah indekos yang ditempati Alimin, Musso, Soekarno, dan juga S.M. Kartosuwirjo di Surabaya. Selain tempat mondok, rumah Tjokroaminoto juga kantor pusat Sarekat. Sneevliet, Adolf Baars, dan anggota Perhimpunan seperti Semaun dan Darsono, acap terlibat diskusi rutin di rumah itu.
Penyusupan pengaruh Perhimpunan lebih mulus karena beberapa anggotanya seperti Semaun, Alimin, dan Darsono juga merangkap anggota Sarekat. Semaun, misalnya—aktivis buruh kereta api—sudah masuk ke Sarekat sejak 1914 dan sempat menjabat sebagai sekretaris cabang Surabaya.
Semangat merengkuh kelompok Islam ke dalam barisan komunis sebenarnya juga dilakukan Partai Komunis Rusia. Pada Februari 1918, tiga bulan setelah Revolusi Bolshevik, Partai Komunis Rusia membentuk komisariat khusus organisasi Islam sebagai corong propaganda ke negara-negara berpenduduk mayoritas muslim. Namun aliansi tak bisa mulus. Karena Pemimpin Partai Komunis Rusia, Vladimir Ilyich Lenin, tetap menjaga jarak dengan kekuatan Islam. ”Tidak boleh melebur, tapi tetap menjaga independensi karakter gerakan proletar,” kata Lenin. Hingga pada Kongres II Komunis International pada Juli 1920, kedua kekuatan pecah, karena Komunis menilai Pan-Islam hanya memperkuat posisi para mullah.
Sikap Komunis Internasional ini mempersulit usaha Perhimpunan—yang kemudian bersalin nama menjadi Partai Komunis Indonesia setelah bergabung dengan Komunis Internasional—merebut pengaruh dalam Sarekat Islam. Hubungan Partai Komunis Indonesia dengan Sarekat kian buruk setelah Darsono dan Baars menyerang kepemimpinan Tjokroaminoto. Itu ditambah propaganda kelompok anti-Partai Komunis dalam Sarekat yang dimotori duo Agus Salim-Haji Fachrudin.
Adalah Tan Malaka yang terus berusaha merangkul kembali Sarekat Islam. Dia bahkan mengkritik Darsono dan Baars yang dianggapnya telah menjauhkan komunis dan Islam. Untuk merebut hati kaum muslim, Partai Komunis juga mendukung perbaikan peraturan ibadah haji.
Ketika pemimpin Muhammadiyah mengundang Tan berpidato tentang komunisme, dengan penuh semangat dia menyanggupi. Sayangnya, Tan keburu ditangkap pemerintah kolonial Belanda. Hanya tiga bulan menjabat Ketua Partai Komunis, pada 29 Maret 1922, dari Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Tan kembali meninggalkan Indonesia menuju Belanda.
Kendati sudah jauh dari Indonesia, Tan tetap mengkampanyekan aliansi komunis-Islam. Dalam Kongres IV Komunis Internasional di Petrograd, Rusia, pada November 1922, Tan meminta mereka meralat sikap atas Pan-Islam. Menurut Tan, Pan-Islam merupakan perjuangan seluruh bangsa muslim merebut kemerdekaan. ”Jadi bukan hanya perjuangan kemerdekaan terhadap kapitalisme Belanda, tapi juga Inggris, Prancis, dan kapitalisme di seluruh dunia,” katanya dalam bahasa Jerman. Aplaus panjang menyambut Tan pada saat turun panggung.
Sayang, usaha Tan gagal. Perpecahan tak dapat dicegah. Kelompok Islam di Sarekat memaksa ”orang-orang kiri” keluar dari partai. Kelompok pecahan ini kemudian menjadi Sarekat Islam Merah, yang terafiliasi dengan Partai Komunis.
l l l
Di Partai Komunis, popularitas dan pengaruh Tan cepat melesat. Kurang dari setahun sejak dia diperkenalkan Sutopo, aktivis Budi Utomo, dengan Semaun dan Tjokroaminoto dalam Kongres Sarekat Islam di Yogyakarta, Tan sudah menduduki posisi puncak Partai Komunis.
Terusir dari Indonesia pun tak membuatnya kehilangan posisi. Pada Januari 1923, Komunis Internasional memilih Tan sebagai pengawas untuk Indonesia, Malaya, Filipina, Thailand, Burma, dan Vietnam. Namun, ada saja yang tak setuju.
Salah satunya Pieter Bergsma, pengurus Partai Komunis Indonesia. Dalam suratnya kepada Semaun, Bergsma menyatakan telah berusaha mencegah penunjukan Jep—panggilan Tan. Baik Bergsma maupun Semaun berpendapat, Tan terlalu cepat mendapat posisi setinggi itu. Begitu juga dengan Alimin dan Musso. Menurut Alimin, Komite Eksekutif Komunis Internasional tak pernah memberikan mandat veto kepada Tan. ”Orang yang benar-benar jujur dan paham cara kerja seorang propagandis bukan orang yang suka mengklaim dirinya penting dan punya kekuasaan,” Alimin mengkritik Tan.
l l l
Sejak awal, perencanaan aksi pemberontakan terhadap penjajah Belanda itu berantakan. Keputusan tidak dibuat dengan solid. Menurut Djamaluddin Tamin, rapat di Prambanan, Jawa Tengah, pada 25 Desember 1925-lah yang memutuskan aksi itu. Yang hadir sebelas kamerad, termasuk Alimin dan Musso. Namun Alimin membantah ikut rapat perencanaan pemberontakan tersebut—dia mengatakan tahu rencana itu belakangan. Sedangkan para pemimpin utama Partai, seperti Semaun, Tan, Musso, Darsono, dan Ali Archam, ada di pengasingan atau di bui.
Selain itu, dana cekak. Uang untuk membayar ongkos perjalanan kader partai sering tak ada. Alat propaganda partai seperti koran Api pun terancam semaput.
Tatkala partai ”kurang darah”, massa pendukung justru kian hilang sabar, ingin aksi secepatnya. Perintah Partai pada 5 Agustus—empat bulan sebelum rapat Prambanan—untuk menunda pemogokan tidak digubris. Serikat buruh di tiga kota, Surabaya, Medan, dan Batavia, tetap mogok, dan akhirnya ”patah” dengan cepat.
Padahal, rencananya, pemogokan dilakukan bertahap. Surabaya menjadi titik awal pemberontakan. Tapi, akibat kekalahan di tiga kota itu, mereka tak lagi punya banyak pilihan, melawan atau ditumpas. ”Kami percaya, akan lebih terhormat mati dalam perlawanan daripada mati tanpa pernah melawan,” ujar Darsono. Maka rapat Prambanan pun memutuskan pemberontakan.
Untuk mengatasi kekurangan dana, Alimin, yang ketika itu ada di Singapura, diutus ke Moskow. Selain berharap restu Komunis Internasional, mereka juga butuh duit, pasokan senjata, dan kalau perlu tentara. Sebelum ke Moskow, mereka ingin memastikan dukungan Semaun dan Tan, dua wakil partai di Komunis Internasional, terhadap rencana Prambanan.
Semaun, yang berkantor di Amsterdam, Belanda, menolak undangan ke Singapura. Alimin pun berangkat menemui Tan di Filipina pada Januari 1926. Seperti dia perkirakan, Tan menolak rencana Prambanan. ”Sikapnya begitu dingin. Dia juga merasa dilangkahi,” kata Alimin. Sebagai tanggapan, Tan menulis Massa Actie. Dia beralasan, untuk tujuan kecil, Partai Komunis sudah punya cukup kekuatan. ”Akan tetapi, untuk mengadakan satu aksi nasional umum, mereka betul-betul belum kuasa.”
Menurut Tan, apa yang dilakukan Partai Komunis baru sebatas putch, gerombolan kecil yang bergerak diam-diam dan tak berhubungan dengan rakyat. Kata Tan, ”Membuat putch di negeri seperti Indonesia (terutama di Jawa), di tempat kapital dipusatkan dengan rapi dan dilindungi militer serta mata-mata modern—sebaliknya, rakyat masih mempercayai yang gaib, takhayul, dan dongeng—samalah artinya dengan ”bermain api”: tangan sendiri yang akan hangus.”
Tapi Alimin tidak menjelaskan sikap Tan itu kepada beberapa kamerad lain yang berkumpul di Singapura. Dia hanya mengatakan Tan terlalu sakit untuk berdiskusi dan menolak mendukung rencana Prambanan. Dia juga mengatakan, Tan menyuruh mereka berangkat sendiri ke Moskow. Musso dan Alimin, dua pendukung utama rencana Prambanan, memutuskan pemberontakan jalan terus.
Di Manila, Tan mulai tak sabar menunggu kabar dari Alimin. Ternyata, Tanlah yang meminta Alimin mengumpulkan seluruh pimpinan Partai Komunis di Singapura. ”Saya tidak berniat melarang pemberontakan, tapi cuma mau menyampaikan pendapat dan kritik,” ujar Tan, beberapa bulan setelah pemberontakan.
Tak kunjung ada kabar, Tan menyusul ke Singapura, tapi di sana hanya bertemu Subakat, salah satu agen partai. Alimin dan Musso sudah berangkat ke Moskow. Merasa ditelikung, Tan didukung Subakat dan Suprodjo, salah satu pimpinan partai, mengirim surat ke seluruh pimpinan partai soal sikapnya.
Partai Komunis pun terbelah, sebagian di belakang Tan, yang lain tetap mendukung rencana Prambanan. Komunis Internasional yang semula diandalkan pun lepas tangan. Joseph Stalin, Sekretaris Jenderal Partai Komunis Uni Soviet, menolak mendukung pemberontakan yang tak terorganisasi dan hampir pasti bakal gagal.
Secara sporadis, pemogokan diikuti sabotase dan perlawanan bersenjata tetap terjadi di Batavia, Tangerang, daerah Priangan, Solo, Pekalongan, dan berakhir di Silungkang, Sumatera Barat. Dimulai pada 12 November 1926 tengah malam dan padam pada 12 Januari 1927. Alimin melempar kesalahan kepada Komunis Internasional.
Sejak itu, Tan Malaka berpisah dengan Partai Komunis. Bersama Subakat dan Djamaluddin Tamin, dia medirikan Partai Republik Indonesia pada Juni 1927 di Bangkok, Thailand. Tan memang sempat bertemu Alimin pada 1931 dan keduanya membicarakan pemulihan kerja sama, tapi gagal.
Tiga puluh tahun kemudian, Ketua Partai Komunis Indonesia, D.N. Aidit, mengatakan sumber kegagalan pemberontakan 1926 antara lain kurang persiapan dan minim koordinasi. ”Tapi, selain itu, ada orang seperti Tan Malaka, yang tidak melakukan apa pun, hanya menyalahkan setelah perlawanan meletus,” kata Aidit. Dia juga menyebut Tan sebagai Trotskyite, pengikut Leon Trotsky (lawan politik Stalin), ”sang pemecah belah”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.