Senin, 11 Agustus 2008

Tumpah Darahku dalam Sebuah Buku

AWAL tahun 1926. Di Tanah Air, revolusi sudah ”hamil tua”. Dari persembunyiannya di Geylang Serai, Singapura, buru-buru Tan menulis buku sepanjang 129 halaman agar kelahirannya yang prematur, menurut dia, bisa dicegah. Sialnya, pesan berjudul Massa Actie in Indonesia itu terlambat keluar dari percetakan. Pemberontakan Partai Komunis Indonesia 1926 sama sekali gagal menggoyang kekuasaan Belanda. Banyak pendukung terbunuh, para pemimpin dipenjarakan dan dibuang.
Targetnya tidak kesampaian, tapi Massa Actie kemudian justru disambut penuh gairah oleh kalangan nasionalis. Situasi memang sedang panas saat itu; gerakan antikolonialisme menggeliat di Jakarta, Bandung, dan Surabaya. Dan seperti api kecil yang bermunculan di sana-sini, Massa Actie adalah minyak tanah yang membuatnya berkobar dengan pelajaran sejarah ringkas akan arti sebuah imaji bernama Indonesia.
Di dalam Massa Actie, Tan membongkar kultur takhayul yang mendarah daging di bangsa ini, memperkenalkan macam-macam imperialisme, menunjukkan apa arti revolusi, dan menunjukkan bagaimana kekuatan rakyat bisa dimanfaatkan. Inilah semacam cetak biru bagi revolusi massa; desakan kuat dari bawah untuk mendorong perubahan. ”Massa aksi terjadi dari orang banyak yang bergerak,” katanya.
Tan memperkenalkan pula kepada sesama rakyat di negeri terjajah akan pentingnya persatuan di bawah bendera Federasi Republik Indonesia; gabungan Indonesia Selatan, tempat bercokolnya Hindia Belanda, dan Indonesia Utara, alias Filipina, yang dijajah Amerika. Termasuk Semenanjung Malaka, yang ada di bawah kuasa Inggris. ”Mari kita satukan 100.000.000 yang tertindas dan mendiami pusat strategi dan lalu lintas seluruh benua Asia dan samuderanya,” Tan menulis.
Dan Massa Actie pun memberikan pedoman aksi bagi kemerdekaan. Satu yang hangat diingat Hadidjojo Nitimihardjo. Ia putra Maruto Nitimihardjo, Ketua Indonesische Studieclub yang bersama kelompoknya mengadakan Kongres Pemuda Indonesia pada 26-28 Oktober 1928. Menurut Hadidjojo kepada Tempo, saat itu Maruto dan aktivis lain, Sugondo Djojopuspito, menggandeng seorang pemuda bertubuh ceking berwajah tirus. Dialah Wage Rudolf Supratman.
”W.R. Supratman sudah membaca seluruh buku Massa Actie itu,” kata Hadidjojo. Muhammad Yaminlah yang memaksa Sugondo memberikan waktu bagi Supratman memainkan lagu ciptaannya di situ. Lalu bergemalah lagu Indonesia Raya, lagu yang terinspirasi dari bagian akhir Massa Actie: ”Lindungi bendera itu dengan bangkaimu, nyawamu, dan tulangmu. Itulah tempat yang selayaknya bagimu, seorang putra tanah Indonesia tempat darahmu tertumpah.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.