Senin, 11 Agustus 2008

Peniup Suling bagi Anak Kuli

Sekolah rakyat model Tan Malaka bertumbuhan di Jawa. Dia menjadikan Marxisme dan antikolonialisme sebagai dasar kurikulumnya.
-------------------------
Tan Malaka bersama staf, pengajar, dan murid-murid Sekolah Rakyat di Yogyakarta.
RAPAT para tuan besar perkebunan yang berada di wilayah perusahaan Senembah Mij baru saja dimulai. Tan Malaka mengamati belasan peserta yang hadir. Dari yang hadir itu, ia hanya kenal dua orang. Salah satunya Herr Graf, tuan besar di Tanjung Morawa, Sumatera Timur.
Tan menatap Graf, yang disebutnya sebagai musuh nomor satunya di Deli. Graf langsung menoleh ke arah lain. Selama rapat, kedua orang ini kerap beradu pandang. Tapi, begitu mata mereka bertemu, Graf dengan segera memalingkan mukanya. Demikian seterusnya.
Tan Malaka tahu, Graf-lah yang menyebarkan fitnah dan menjelek-jelekkan dirinya. Pada saat pemimpin rapat memberikan kesempatan berbicara kepadanya, Tan tak menyia-nyiakan kesempatan. Tan, yang sudah dua tahun menjadi asisten pengawas sekolah di Deli, memaparkan pentingnya pendidikan bagi para anak kuli. Menurut dia, tujuan pendidikan itu untuk mempertajam kecerdasan, memperkukuh kemauan, serta memperhalus perasaan.
”Anak kuli adalah anak manusia juga,” kata Tan Malaka. Dia sengaja mengeluarkan kalimat itu karena banyak tuan besar, pemilik atau pengawas perkebunan, menganggap sekolah bagi anak kuli cuma membuang-buang uang. Sekolah, di benak para tuan besar itu, bakal membuat anak kuli itu lebih ”brutal” ketimbang bapaknya. Ada kekhawatiran lain. Pendidikan ini bisa menciptakan kader-kader baru Sarekat Islam, organisasi yang paling ditakuti pemerintah kolonial Belanda.
Beberapa hari setelah rapat pada Juni 1921 itu, Tan bertemu Dr Janssen, direktur sekolahnya. Tan mengajukan permintaan pengunduran diri. Dia merasa komplotan tuan perkebunan tembakau yang dipimpin Graf sudah sangat mengganggu kerjanya. Tan Malaka mengakui ada empat perkara perbedaan dirinya dengan para petinggi perkebunan yang membuat ia menentukan sikap itu. Pertama, soal warna kulit; kedua, model pendidikan bagi anak kuli; ketiga, menyangkut artikel-artikelnya di surat kabar di Deli; serta keempat menyangkut hubungannya dengan para kuli perkebunan.
Tan melihat sumber semua perbedaan itu dari kacamata Marxisme, yakni konflik antara kaum kapitalis dan proletar. Dia menyebutnya sebagai pertentangan antara ”Belanda-Kapitalis-Penjajah” dan ”Indonesia-Kuli-Jajahan”. Janssen tidak mencegah keinginan Tan untuk mundur, karena dia juga akan kembali ke Nederland. Dia meminta kantor membayar gaji Tan Malaka untuk dua bulan dan menyediakan karcis kapal laut kelas satu ke Jawa.
Awalnya, Janssen-lah yang meminta Tan Malaka membantu Tuan W untuk menjadi pengawas sekolah di Deli. Tan, yang kala itu sedang menempuh sekolah guru di Belanda, tertarik dengan tawaran kerja itu.
Deli adalah kota besar dengan penduduk sekitar dua juta. Namun ada yang menyedihkan di sana. Sekitar 60 persen penduduk Deli merupakan keluarga kuli kontrak perkebunan, pertambangan minyak, dan pengangkutan. ”Mereka keluarga proletaris tulen, dan Deli merupakan daerah proletaria yang sesungguhnya,” kata Tan Malaka dalam catatan hariannya. Kelas atas di Deli, menurut Tan, adalah borjuis asing dari Eropa-Amerika, disusul dari Tionghoa. Adapun borjuis Indonesia adalah Sultan Serdang dan Sultan Deli.
Selama di Deli, Tan sering berbincang-bincang dengan siswanya dan mengunjungi rumah mereka. Ini berbeda dengan Tuan W, yang cuma datang ke sekolah naik mobil dinasnya. Tan ingin mengetahui tabiat, kemauan, dan kecondongan hati masing-masing anak. Dari semua informasi yang diperolehnya, ujar Tan, diperlukan satu pusat sebagai sekolah percontohan.
Selain mengurus pendidikan, Tan Malaka juga menampung keluh-kesah para kuli kontrak. Para kuli itu umumnya buta huruf dan terjerat berbagai peraturan kontrak yang tak bisa dipahami. Tan melihat para kuli itu terbelenggu kekolotan, kebodohan, kegelapan, sekaligus ”hawa nafsu jahat” permainan judi. Kisah kuli kontrak ini mewarnai artikel Tan Malaka yang tersebar di surat kabar Liberal, Medan, dan Sumatera Post, yang kerap membuat marah para tuan besar.
Pengalamannya bergaul dengan kaum proletar ini makin memantapkan Tan bergerak di sektor pendidikan. Menurut dia, ”Kemerdekaan rakyat hanya bisa diperoleh dengan pendidikan kerakyatan.” Ini semua, kata Tan, untuk menghadapi kekuasaan pemilik modal yang berdiri atas pendidikan yang berdasarkan kemodalan.
Pada 2 hingga 6 Maret 1921, Tan Malaka mengikuti Kongres Sarekat Islam di Yogyakarta. Di sinilah ia pertama kalinya bertemu HOS Tjokroaminoto, Agus Salim, Semaun, dan tokoh-tokoh lain organisasi Islam tersebut. Kala itu organisasi ini sedang dilanda perpecahan, antara faksi Islam dan komunisme. Sarekat Islam Semarang yang dipimpin Semaun dan Darsono lebih berkiblat ke komunisme.
Seusai kongres, Semaun mengajak Tan Malaka ke Semarang. ”Kehadirannya menguntungkan bagi gerakan rakyat revolusioner di Indonesia,” ujar Semaun dalam buku Sewindu Hilangnya Tan Malaka. Saat itu keduanya sepakat membangun sekolah rakyat bagi calon pemimpin revolusioner. Sarekat Islam memberikan gedung dan fasilitas pendidikan lainnya. Tan Malaka berjanji mendirikan perguruan yang cocok bagi kebutuhan dan jiwa ”rakyat Murba”, sebutan Tan untuk kaum proletar.
Dalam brosur bertajuk ”SI Semarang dan Onderwijs”, Tan Malaka menguraikan dasar dan tujuan pendidikan kerakyatan. Pertama, perlunya pendidikan keterampilan dan ilmu pengetahuan seperti berhitung, menulis, ilmu bumi, dan bahasa. Hal ini sebagai bekal dalam menghadapi kaum pemilik modal. Kedua, pendidikan bergaul atau berorganisasi dan berdemokrasi. Ini untuk mengembangkan kepribadian yang tangguh, kepercayaan pada diri sendiri, harga diri, dan cinta kepada rakyat miskin. Dan ketiga, pendidikan untuk selalu berorientasi ke bawah.
Tan Malaka menegaskan, sekolahnya bukan mencetak juru tulis seperti tujuan sekolah pemerintah. Selain untuk mencari nafkah diri dan keluarga, sekolah ini juga membantu rakyat dalam pergerakannya.
Menurut Harry A. Poeze, inspirasi mendirikan sekolah rakyat ini berasal dari Belanda dan Rusia. Tan Malaka, katanya, sempat membaca tulisan warga Rusia mengenai kurikulum sekolah komunis. Inspirasi lainnya, kata Poeze, dari pengalaman Tan ketika bertugas di perkebunan tembakau Deli. ”Pengetahuan yang ia dapat disesuaikan dengan keadaan di Indonesia,” kata Poeze.
Hari pertama pembukaan ”sekolah Tan”, ada lima puluh siswa datang mendaftar. Sekolah ini kemudian menggelar upacara penerimaan siswa baru yang dihadiri orang tua dan pengurus Sarekat Islam Semarang. Dua anak berusia 14 tahun tampil ke depan mengucapkan janji murid dan meminta dukungan orang tua. Para siswa yang bercelana merah kemudian melakukan defile sembari menyanyikan lagu internasional.
Penonton bertepuk tangan menyaksikan upacara ini. Banyak yang menitikkan air mata karena acara ini baru pertama kali dilakukan di lingkungan Sarekat Islam. ”Mereka gembira, karena merasa mendapat bakal pahlawan,” kata Tan. Siswa baru terus berdatangan, hingga terkumpul 200 orang. Puluhan orang juga melamar jadi guru.
Sekolah berjalan pagi. Sore harinya Tan Malaka mengadakan kursus untuk mencetak guru. Peserta kursus adalah murid kelas 5 dan guru yang ada untuk dididik menjadi guru berhaluan kerakyatan. Kabar berdirinya sekolah rakyat di Semarang segera menyebar ke sejumlah daerah. Beberapa kota besar di Jawa mengajukan tawaran mendirikan sekolah sejenis di daerahnya.
Bandung akhirnya menjadi daerah kedua yang mendirikan sekolah rakyat, setelah seorang kader Sarekat Islam mendermakan uangnya. Di Kota Kembang itu 300 siswa baru mendaftar. Tahun-tahun berikutnya sekolah rakyat semakin banyak. Apalagi setelah alumni sekolah rakyat Semarang bertebaran di kota-kota besar Jawa. Menurut Tan, para murid, dengan celana merah dan lagu internasionalnya, laksana ahli peniup suling Kota Hermelin. Inilah dongeng yang mengisahkan seorang peniup suling yang mampu menyihir hewan dan anak-anak dengan serulingnya, sehingga mereka terus mengikuti sang peniup seruling.
Encyclopaedie van ned oostindie VI suplement menulis, sekolah rakyat model Tan Malaka ini lantas bermunculan. ”Di antara pekerjaan murid termasuk juga pembentukan barisan (Barisan Muda, Sarikat Pemuda, Kepanduan) satu dan lainnya cocok dengan sistem Komintern.” Ensiklopedia ini juga mencatat adanya kursus kilat membentuk propagandis yang aktif, yang kemudian menjadi kader organisasi.
Sayang, Tan Malaka tidak menyaksikan kemajuan sekolah rakyat yang dibangunnya. Pada 2 Maret 1922, pemerintah kolonial Belanda menangkapnya di Bandung setelah terjadi pemogokan buruh pelabuhan dan minyak. Para buruh tersebut tergabung dalam Vaksentral-Revolusioner, tempat Tan menjadi wakil ketua. Pencipta ”sang peniup suling” ini pun dibuang ke Nederland.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.