Senin, 01 Oktober 2007

Malam terakhir: Setelah Lampu Depan Dimatikan

Jarum jam menunjuk angka 21.30.

Bocah enam setengah tahun itu merosot turun dari ranjang ibunya. Sudah pukul setengah sepuluh malam. Dentang jam dinding di ruang tengah membuatnya makin terjaga pada malam itu, Jumat Pahing, 30 September 1965.

Ilham, bocah itu, menyelinap ke ruang tamu. Ayahnya, Dipa Nusantara Aidit, tengah asyik mengobrol dengan Hardoyo, mantan Ketua Concentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI), organisasi mahasiswa onderbouw Partai Komunis Indonesia (PKI). Pembicaraan berlangsung serius. Wajah keduanya menegang. Beberapa kali keduanya terpaksa menghentikan pembicaraan tatkala Ilham berseliweran di ruang tamu.

Ketika Hardoyo pamit, Ilham melihat ayahnya mengantar tamunya hingga ke teras. Setelah itu, Aidit berbalik masuk rumah, mengunci pintu depan, dan menghalaunya ke kamar tidur. "Ham, larut malam begini kau belum juga tidur," kata Aidit. Ketua Comite Central (CC) PKI itu meraih tangan Ilham dan menggandengnya menuju kamar.

Ilham hafal. Jika sudah tidak ada tamu, biasanya ayahnya berganti baju dan masuk ruang kerjanya. "Kalau tidak membaca, ya menulis, sampai pagi," cerita Ilham, anak lelaki kedua Aidit yang lahir di Moskow, 18 Mei 1959, kepada Tempo.

Hardoyo bukan satu-satunya tamu malam itu. Sebelumnya, ada beberapa orang lainnya. Ilham tak ingat siapa. Tapi, seperti pernah dikatakan Hardoyo kepadanya-Hardoyo sudah meninggal pada Desember lalu-tetamu yang datang malam itu adalah orang-orang Partai, para pemimpin buruh juga petani.

Rumah Aidit memang tak pernah sepi dari tamu. Menurut cerita adik Aidit, Murad, di bagian kiri rumah ada semacam paviliun yang sengaja digunakan sebagai Posko Pemuda Rakyat. Beruntung karena posisi rumah abangnya di Jalan Pegangsaan Barat 4, Cikini, Jakarta Pusat-sekarang Kantor Partai Golkar DKI Jakarta-berada di pojok.

Para tamu pun tak ragu datang ke rumah Aidit. Sebab, ada satu tanda pasti bila sang Comandante ada di rumah dan bersedia menerima tamu: lampu serambi depan menyala. "Dia sendiri yang selalu menyalakan dan mematikan lampu itu," cerita Murad.

***

Jam terus berdetak. Tapi Ilham belum pulas juga. Dia tetap terjaga sembari membolak-balikkan badan di ranjang. Iri nian dia melihat abangnya, Iwan, dan adik kembarnya, Irfan, mendengkur nikmat.

Dia malah dikagetkan oleh deru mesin jip memasuki pelataran rumah. Terdengar derap sepatu bergegas mendekat. Dia juga mendengar derik pintu depan dibuka, menyusul beberapa saat kemudian. Dia menangkap suara ibunya bernada tinggi ketika berbicara dengan si tamu. Karena penasaran, dia mengendap-endap ke ruang depan.

Ilham tak ingat seluruh pembicaraan. Namun dia melihat ibunya membentak dua orang berseragam militer warna biru di depan rumah. "Ini sudah malam!"

"Maaf, tapi ini darurat. Kami harus segera," jawab si tamu tak diundang.

"Sebentar. Akan saya panggilkan," ibunya menjawab kesal, berbalik dan memanggil ayahnya di ruang kerja. Ilham yang kepergok berada di ruang tengah ikut kena damprat. "Kamu, anak kecil, tidur kamu. Sudah malam begini masih kelayapan."

Ilham tak bergerak dan tetap berada di ruang tengah. Ia mendengar kedua orang tuanya berdebat. Lalu dia melihat ayahnya menemui tamu itu. "Segeralah bersiap, Bung, waktu kita terbatas," kata si prajurit.

Aidit kembali ke kamar tidur, membuka lemari baju, memasukkan beberapa pakaian dan buku ke dalam tas. Ia sempat terlihat ragu. Ilham melihat ayahnya meletakkan tas dan kembali ke ruang depan, berbicara selintas dengan penjemputnya. Lalu Aidit kembali ke kamar dan ribut dengan Soetanti. "Ibu ngotot minta ayahnya tak usah berangkat ke Istana, malam-malam," kisah Ilham. Namun ayahnya tetap pergi.

Sebelum meninggalkan rumah, Aidit mencium kening istrinya. Dia juga mengangkat tubuh Ilham dan mengusap rambutnya. Kepada Murad, dia berpesan agar mengunci pagar. "Matikan lampu depan," perintah Aidit kepada Murad.

***

Ke mana sesungguhnya Aidit pergi malam itu, dan apa saja yang dilakukan, masih belum ada satu versi jawaban yang pasti hingga kini.

Dalam kesaksian Mayor Udara Sudjono di Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub), dialah yang menjemput Aidit di rumahnya-bukan Cakrabirawa. Lalu Sudjono membawanya ke rumah Sjam Kamaruzzaman, Kepala Biro Khusus PKI di Jalan Salemba Tengah, Jakarta Pusat. Di tempat itu, sudah menunggu sejumlah anggota Biro Khusus-biro ini dibentuk Aidit tanpa setahu pengurus pusat (CC) PKI.

Menurut Victor Miroslav Fic, penulis buku Kudeta 1 Oktober 1965: Sebuah Studi tentang Konspirasi, di rumah Sjam, Aidit melakukan cek terakhir Gerakan 30 September. Dia juga dipertemukan dengan Mayor Jenderal Pranoto Reksosamodro, perwira tinggi yang dekat dengan Presiden Soekarno. Kepada Pranoto, Aidit menawarkan posisi sebagai Menteri/Panglima Angkatan Darat menggantikan Jenderal Ahmad Yani. Selain itu, Aidit menyampaikan konsep Dekrit Dewan Revolusi yang harus diteken malam itu dan disiarkan pagi 1 Oktober 1965.

Setelah itu, rencananya, Aidit bertemu Soekarno di rumah Komodor Susanto di Halim Perdanakusuma. Skenarionya, Aidit akan memaksa Soekarno membersihan Dewan Jenderal, lalu memintanya mengundurkan diri sebagai presiden. Pertemuan dengan Soekarno gagal. Sebagai gantinya, Aidit mengutus Brigadir Jenderal Soeparjo menemui Soekarno, yang juga berada di Halim, namun di tempat terpisah.

Versi lain tertulis dalam surat Aidit ke Soekarno, tertanggal 6 Oktober 1965. Menurut surat itu, malam 30 September 1965, ia dijemput Cakrabirawa untuk rapat darurat kabinet di Istana Negara. Tapi dia malah dibawa ke Jatinegara dan Pangkalan Udara Halim Perdanakusumah. Di Halim, Aidit ditempatkan di rumah kecil, dan diberi tahu akan ada penangkapan terhadap anggota Dewan Jenderal.

Esok harinya, Aidit mendapat kabar bahwa Soekarno memberi restu terhadap penyingkiran Dewan Jenderal. Lalu Aidit diminta ke Yogyakarta dengan pesawat untuk mengatur kemungkinan evakuasi Soekarno. Kota itu dianggap tempat yang tepat untuk markas pemerintahan sementara.

Tidak jelas mana yang lebih benar. Hingga kini pun tidak ada kejelasan apa saja yang terjadi pada Aidit setelah dia meminta Murad mematikan lampu depan sebelum meninggalkan rumah di Pegangsaan. Pihak keluarga hanya tahu beberapa tahun kemudian, bahwa Aidit pernah dibawa ke Halim. Yang lainnya, gelap.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.