Senin, 01 Oktober 2007

Kisah Cinta: Meminang Lewat Sepucuk Surat

Suatu siang di awal 1946. Kantor majalah dua bulanan Bintang Merah di Jalan Purnosari, Solo, yang biasanya lengang lengau, kedatangan tamu tak diundang. Dua gadis berdiri di depan pintu. Mereka kemudian dijamu dua redaktur, Hasan Raid dan Dipa Nusantara Aidit.

Dua gadis itu mengaku mahasiswi tingkat tiga Perguruan Tinggi Kedokteran di Klaten, Yogyakarta. Yang agak gemuk dan berpipi bulat memperkenalkan diri sebagai Soetanti. "Seingat saya, mereka datang untuk silaturahmi saja," kata Hasan, kini 85 tahun, kepada Tempo dua pekan lalu.

Soetanti-yang disapa "Bolletje" (sebuah kata Belanda yang berarti bundar) oleh teman-temannya-datang lagi beberapa hari kemudian, dengan kawan lain yang lebih banyak. Kali ini atas nama Sarekat Mahasiswa Indonesia. Mereka mengundang Aidit sebagai Ketua Departemen Agitasi dan Propaganda Partai Komunis Indonesia Solo untuk memberikan "kuliah" soal politik dan keorganisasian.

Karena urusan organisasi itulah Soetanti kerap bolak-balik Klaten-Solo. Kunjungan berikutnya tak lagi ke kantor Bintang Merah, tapi ke kantor PKI di Jalan Boemi 29. Dari pertemuan-pertemuan itulah, kata Hasan, hubungan Aidit-Soetanti kian akrab. Padahal keduanya punya watak bertolak belakang.

Sebagai seorang ningrat Mangkunegaran (kakeknya seorang Bupati Tuban), Tanti punya banyak teman dari pelbagai golongan. Predikat mahasiswi kedokteran membuatnya kian dihormati dalam organisasi dan dalam kehidupan sehari-hari. Itu disokong sifat dasarnya yang periang, gampang akrab, dan suka bicara ceplas-ceplos.

Beda dengan Aidit. Anak seorang mantri kehutanan dari Belitung itu seorang pemuda serius, tak pandai berkelakar, dan suka musik klasik. Yang dipikirkannya hanyalah bagaimana memajukan partai. Mengobrol dengannya, seperti dikenang Hasan, tak akan lepas dari soal-soal politik, revolusi, dan patriotisme.

Tapi justru inilah yang membuat Soetanti kesengsem. Dalam ceramahnya, Aidit fasih mengutip filsafat Marxisme, mengurai revolusi Prancis dan Rusia, juga soal-soal politik mutakhir. Setiap kali Aidit berpidato, si bolle senantiasa menyimak di bangku paling depan.

Meski akrab, Aidit-Tanti tak pernah terlihat berduaan. Hasan Raid, yang kemudian diangkat anak oleh Siti Aminah-ibu Tanti-karena sama-sama dari Minang, tak pernah melihat Aidit ngapel ke asrama atau ke rumah Tanti laiknya orang pacaran. Pertemuan keduanya pun selalu dalam acara organisasi. "Kalau menginap di kantor PKI, Tanti datang beramai-ramai," katanya.

Suatu ketika, seusai pidato, Aidit menghampiri Tanti, lalu menyerahkan sepucuk surat yang ditujukan kepada Bapak Moedigdo, ayah Tanti, seorang kepala polisi Semarang yang aktif di Partai Sosialis Indonesia. Surat itu ternyata surat lamaran. Aidit menyampaikan niat meminang Soetanti. Moedigdo langsung setuju.

Maka, awal 1948, Aidit, 25 tahun, dan Soetanti, 24 tahun, menikah secara Islam tanpa pesta, di rumah KH Raden Dasuki, sesepuh PKI Solo, yang bertindak sebagai penghulu. Moedigdo, Aminah, dan empat adik Soetanti datang. Hanya Murad dan Sobron-dua adik Aidit-yang mewakili keluarga Belitung.

Setelah menikah, aktivitas Aidit di partai dan pergerakan tak surut. Ia bahkan sering meninggalkan Soetanti, yang buka praktek dokter, untuk turne ke kampung-kampung memperkenalkan dan menggalakkan program-program PKI. Ketika pada September 1948 "Peristiwa Madiun" meletus, Aidit ditangkap, lalu "buron" ke Jakarta. Tanti kian sedih karena ayahnya, yang mendukung Amir Syarifuddin, tewas ditembak.

Di Jakarta pun, Aidit jarang ada di rumah. Soetanti hanya ditemani adik-adik Aidit ketika melahirkan Ibarruri Putri Alam, putri sulung mereka, pada 23 November 1949. Suami-istri ini jarang terlihat jalan bareng, kecuali dalam acara-acara resmi partai atau kenegaraan.

Aidit lalu menjadi Ketua Politbiro-eksekutif dalam partai-PKI pada 1951. Ia kian sibuk dengan bepergian ke luar negeri, mengunjungi dan menghadiri rapat-rapat internasional komunis di Vietnam, Tiongkok, dan Rusia. "Tak ada mesra-mesraan seperti pasangan muda lain." Itu kesaksian Fransisca Fanggidaej, wartawan Harian Rakjat dan radio Gelora Pemuda Indonesia yang kemudian menjadi anggota parlemen dari PKI pada 1957-1959.

Fransisca, kini 82 tahun dan tinggal di Utrecht, Belanda, adalah satu-satunya perempuan yang akrab dengan Aidit. Selain di kantor partai, keduanya sering bertemu di parlemen.

Ciri paling menonjol dari keluarga Aidit, kata Fransisca, selain sederhana, juga egaliter. Sementara anak-anak memanggil dengan sebutan borjuis "Papa", Tanti memanggil suaminya cukup dengan "Dit". "Padahal semua orang menyapa Aidit dengan panggilan hormat 'Bung'," katanya. Ketika Fransisca menanyakan ihwal panggilan itu, Tanti menjawab, "Suka-suka saya, dong. Wong dia suami saya. Kalau tidak mau, dia pasti menyampaikan keberatan."

Selama perkawanan itu, tak sekali pun Aidit curhat soal pribadi kepadanya. Apalagi tentang hasrat kepada perempuan lain. Padahal Aidit dikagumi banyak perempuan di partai dan di gedung DPR. "Selain ganteng, berwawasan luas, ia pandai menyenangkan dan menghargai orang," kata Fransisca.

Hanya sekali, pada 1950-an, Aidit dengan guyon menyatakan kagum pada kecantikan seorang perempuan anggota konstituante. Ismiyati, gadis itu, kata Fransisca, menjadi kembang parlemen dan disukai banyak laki-laki. Mendengar guyonan Aidit itu, Utuy Tatang Sontani-sastrawan kiri kondang di zaman itu-menyatakan kekaguman yang sama. Bisik-bisik, keduanya bersaing menggapai hati Ismiyati.

Tapi agaknya "persaingan" itu tak serius. Ketika Ismiyati menikah dengan pemuda lain, Utuy dan Aidit cuma ketawa-ketawa. "Keduanya sebatas mengagumi kecantikan. Tapi tidak tahu kalau Utuy, karena dia suka mengejar perempuan," kata Fransisca, tergelak.

Selain cerita ini, tak pernah terdengar Aidit berhubungan dengan perempuan lain, baik sebelum maupun setelah bertemu dengan Soetanti. Apalagi Aidit orang yang sangat antipoligami. Ia pernah memarahi Njoto, Wakil Ketua II Comite Central PKI, yang akan menikah lagi dengan seorang penerjemah asal Rusia.

Semasa kepemimpinan Aidit, sikap antipoligami dan antiperselingkuhan ini hampir menjadi "garis partai". Oey Hay Djoen, bekas anggota parlemen dan Dewan Pakar Ekonomi PKI, bercerita, pada masa jayanya banyak anggota PKI yang diskors karena ketahuan memacari istri orang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.