Senin, 01 Oktober 2007

Aidit dan Revolusi 1945: Anak Muda di Beranda Republik

Pukul 11.30 malam. Sekelompok anak muda bergegas ke luar rumah di Pegangsaan Timur 56, Jakarta. Mula-mula Chaerul Saleh dan Wikana. Lalu D.N. Aidit, Djohar Noer, Pardjono, Aboebakar, Soedewo, Armansjah, Soebadio Sastrosatomo, Soeroto, dan Joesoef Koento. Hari itu Rabu, 15 Agustus 1945.


Mereka adalah aktivis pemuda antifasis dari Asrama Menteng 31. Para pemuda itu baru saja mendesak Soekarno agar memproklamasikan kemerdekaan Republik Indonesia. Tapi Bung Karno menolak. Mohammad Hatta yang datang belakangan pun tak setuju dengan ide mereka.

Sebagaimana dicatat Hatta dan Sidik Kertapati-salah seorang tokoh 1945, juga oleh Soekarno dalam buku Penyambung Lidah Rakyat-terjadi pertengkaran hebat antara pihak pemuda dan Bung Karno pada malam itu. Inilah malam yang dikenang hingga kini karena berjasa mempercepat proklamasi Indonesia.

"Sekarang, Bung! Malam ini juga kita kobarkan revolusi," ujar Chaerul Saleh. "Kalau Bung tidak mau mengumumkan proklamasi, besok akan terjadi pertumpahan darah," sambung Wikana berapi-api.

Bung Karno marah. "Ini batang leherku," katanya setengah berteriak sambil mendekati Wikana. "Seret saya ke pojok itu dan potong malam ini juga! Kamu tidak usah menunggu esok hari!"

"Mereka pulang marah-marah," cerita Murad Aidit. Murad melihat kakaknya mengikuti rapat rahasia di bawah pohon jarak. Tepatnya di belakang kebun bekas Institut Bakteriologi Ejkman di Pegangsaan, empat jam sebelumnya. Aidit datang bersepeda membonceng Wikana.

Sudah lama para pemuda mendesak golongan tua agar memproklamasikan kemerdekaan. Soalnya, dari radio BBC, London, mereka mendengar kabar bom atom di Hiroshima dan Nagasaki, Jepang. Mereka khawatir, Jepang akan mengembalikan Indonesia kepada Belanda. Golongan tua tak sependapat. Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia memilih menunggu instruksi dari Jepang.

Setelah Bung Karno menolak, Kamis dini hari itu, para pemuda yang dipimpin oleh Soekarni nekat menjalankan rencana B, yakni menculik dan membawa Soekarno-Hatta ke Rengasdengklok, Karawang.

Ada beragam versi peran Aidit, ketika itu 22 tahun, di seputar proklamasi. Cerita keikutsertaan Aidit ke rumah Soekarno dituturkan Sidik Kertapati dalam buku Sekitar Proklamasi 17 Agustus 1945. Dalam tulisannya Sidik menyebut Aidit juga ikut rombongan pemuda menculik Soekarno-Hatta. Kitab Sejarah Perjuangan Pemuda Indonesia terbitan Balai Pustaka-oleh Panitia Penjusun Biro Pemuda Departemen P&K-mencatat hal yang sama.

Hanya banyak juga rekaman sejarah yang tak menyebut keterlibatan Aidit dalam "perang" antara kaum muda dan kaum tua menjelang proklamasi. Kepada Z. Yasni tertuang dalam buku Bung Hatta Menjawab Hatta menegaskan Aidit tak ada di rumah Bung Karno malam itu. Dia cuma mengingat Wikana dan Soekarni. Sedangkan dalam buku Menteng 31 Membangun Jembatan Dua Angkatan, A.M. Hanafi mengatakan bahwa Aidit terlibat karena mengantarkan Wikana.

Murad tak ingat pasti apakah Aidit ikut membawa Soekarno ke Rengasdengklok. Syodanco Singgih, anggota PETA, yang bersama Soekarni membawa Soekarno-Hatta, pun tak menyebut kehadiran Aidit dalam rombongan "penculik" (Tempo, Agustus 1975).

Aidit memang aktif dalam kelompok pemuda antifasis yang bergerilya di Jakarta pada masa pendudukan Jepang hingga kembalinya Belanda. Soekarno dan Hatta bahkan mengenalnya dengan baik sejak periode awal Angkatan Baru Indonesia di Asrama Menteng 31.

Menteng 31 dulunya hotel bernama Schomper I. Setelah Belanda pergi pada 1942 tempat itu menjadi salah satu basis perlawanan anak muda. Di tempat yang kini berubah nama menjadi Gedung Joang 45 itu, Aidit dan teman-teman mendapat gemblengan dari bapak bangsa seperti Bung Karno, Bung Hatta, Amir Syarifudin, Ahmad Soebardjo, dan Ki Hajar Dewantara.

Budayawan dan penerjemah Oey Hay Djoen mengatakan, Hatta amat menyukai Aidit yang cerdas dan berani. "Belakangan, ketika Aidit mulai terlibat dengan kelompok kiri, Hatta marah," ujarnya. Maklum, Aidit dekat dengan Wikana, yang memimpin perjuangan PKI bawah tanah di Jawa Barat. Buku-buku bertema Marxisme dan sosialisme menjadi bacaan utamanya.

Aidit dan Wikana kian rapat setelah Laksamana Maeda, pimpinan Angkatan Laut Jepang di Indonesia, mendirikan sekolah Dokuritsu Juku (Asrama Kemerdekaan). Saat itu sekitar setahun sebelum proklamasi. Wikana menjadi kepala sekolah tersebut. Aidit, M.H. Loekman, Sidik Kertapati, Chalid Rasjidi, dan puluhan pemuda lain menjadi siswa. Nishijima, salah seorang pengasuh sekolah ini, mengatakan, "Meski tak menyelesaikan kuliah, pelajar sekolah ini ikut berperan dalam mendirikan Republik" (Tempo, Agustus, 1987).

Sekolah ini memanfaatkan fasilitas Kaigun (Angkatan Laut Jepang) di belakang Komando Angkatan Laut Gunung Sahari, Jalan Defenci van de Bosch-kini Bungur Raya. Di sekolah inilah diam-diam Aidit, Chalid Rasjidi, dan Salam membentuk organisasi semi-militer yang beraksi menyerang tentara-tentara Jepang dengan nama Banteng Merah.

Setelah proklamasi kemerdekaan, pada awal September, aktivis Menteng 31 membentuk Angkatan Pemuda Indonesia (API). Wikana mereka pilih sebagai ketua. Sekretarisnya H.M. Hanafi. "Bang Amat (D.N. Aidit) menjadi Ketua API Jakarta Raya," ujar Murad, yang terdaftar sebagai anggota API dengan nomor 13.

API segera menjadi momok bagi Jepang, lalu Sekutu yang datang kemudian. Di bidang keorganisasian mereka membentuk Barisan Rakyat yang mengorganisasi pada petani.

Sidik juga mencatat sebuah pengalaman menarik tentang Aidit sewaktu di lapangan Ikada-sekarang Monas-pada 19 September 1945. Ketika itu API bersama barisan buruh dan tani memprakarsai sebuah rapat raksasa untuk menunjukkan dukungan rakyat kepada para pimpinan negara. Tapi, hingga waktu yang direncanakan, Bung Karno tak juga muncul. Massa yang datang sejak pagi mulai marah. Tiba-tiba, di bawah todongan moncong senapan tentara Jepang yang mengelilingi Ikada, Aidit bersama Suryo Sumanto naik podium. Mereka mengajak massa menyanyikan lagu perjuangan, antara lain Darah Rakyat, Padamu Negeri, dan Maju Tak Gentar. Massa pun tenang kembali hingga Bung Karno tiba.

Rapat di lapangan Ikada membuat tentara Jepang naik darah. Mereka merazia Asrama Menteng 31. Para pemimpin API, termasuk Aidit, M.H. Loekman, Sidik Kertapati, dan A.M. Hanafi, mereka bawa ke penjara Jatinegara.

Aidit dan teman-teman berhasil menyogok penjaga penjara dan kabur. Dan sejak itu aktivitas Menteng 31 berhenti. Aidit kembali ke jalan, memimpin API Jakarta melakukan serangan-serangan "kecil" kepada tentara Netherlands Indies Civil Administration (NICA) yang datang membonceng sekutu pada 28 September 1945.

Para aktivis API bermarkas di tepi Jalan Kramat Raya. Sebuah gerbong trem sengaja mereka taruh di depan pos untuk bersembunyi saat membidik patroli sekutu. Hampir setiap jip sekutu yang melaju dari Markas Batalion X di Lapangan Banteng menuju Jatinegara mereka tembaki. Kalau dikejar, mereka berpencar melarikan diri ke perkampungan Kramat Pulo. Itu terjadi berulang-ulang hingga tentara Sekutu meledakkan markas API.

Puncak dari aktivitas "bawah tanah" Aidit pada periode sekitar kemerdekaan adalah pada 5 November 1945. Ketika itu Aidit bersama Alizar Thaib memimpin sekelompok pemuda menyerbu pos pertahanan Koninklijke Nederlands Indische Lege atau Tentara Kerajaan Hindia Belanda. Namun mereka sial, kepergok tentara Inggris yang berpatroli dengan lima truk. Sekitar 30 aktivis tertangkap, termasuk Aidit. Tentara Inggris menyerahkan mereka ke Belanda, yang lalu membuang mereka ke Pulau Onrust, di gugusan Kepulauan Seribu, utara Jakarta.

Aidit bebas tujuh bulan kemudian, setelah kesepakatan Hoge Voluwe di Belanda pada 24 April 1946. Ketika itu ibu kota negara sudah pindah ke Yogyakarta. Cuma sehari di Jakarta, dia lalu menyusul teman-temannya ke Yogya, menumpang kereta dari Karawang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.