Senin, 01 Oktober 2007

Karir di PKI: Berakhir Seperti Muso

KEDATANGAN Muso dari Rusia membangkitkan gairah revolusi Dipa Nusantara Aidit. Ia begitu terkesan pada gagasan Muso, "Jalan Baru bagi Republik". Menurut arsitek pemberontakan PKI di Jawa dan Sumatera pada 1926 itu, yang kemudian dilibas Belanda, seluruh kekuatan sosialis komunis harus disatukan. Untuk merebut kekuasaan, PKI tak boleh bergerak sendiri.

Pada pertengahan 1948 itu, Aidit muda ditugasi mengkoordinasi seksi perburuhan partai. Padahal umurnya baru 25 tahun, banyak yang lebih senior dan berpengalaman. Posisi strategis ini merupakan kepercayaan besar bagi lelaki tamatan sekolah dasar itu.

Muso mencela Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus. Menurut dia, revolusi itu justru merupakan kegagalan besar kaum revolusioner. Kepemimpinan nasional jatuh ke tangan individu yang ditudingnya borjuis: Soekarno-Hatta. Bukan ke genggaman kaum proletar, buruh dan tani. Sikap ini diyakini Aidit. Baginya, kehadiran Muso menjanjikan aksi, bukan sekadar angan revolusi.

Hanya sebulan setelah Aidit menerima jabatan koordinator seksi perburuhan partai, tepatnya pada dini hari 18 September 1948, tiga letusan pistol menyalak di kesunyian Kota Madiun, Jawa Timur. Massa yang menyebut dirinya kaum revolusioner bergerak. Puluhan ribu buruh dan tani merangsek mengambil alih kekuasaan pemerintah di daerah-daerah.

Muso mencoba mendirikan apa yang disebutnya "Soviet Republik Indonesia". Madiun, Magetan, Cepu, Blora, dan sejumlah kota di Jawa Tengah dan Jawa Timur dikuasai massa PKI. Bendera merah bergambar palu arit ditancapkan di banyak tempat. Soekarno meminta rakyat memilih: dirinya atau Muso, yang dicapnya sebagai pengkhianat Republik. Muso balik menuduh Soekarno-Hatta sebagai kolaborator imperialis.

Ini fase penting sekaligus genting bagi karier politik Aidit. Aksi massa revolusioner di lapangan berujung getir. Mayoritas pimpinan partai tertangkap, lalu dihukum tembak. Menurut Suripno, seorang pentolan partai yang berakhir di ujung bedil, gerakan gagal karena sepi dukungan rakyat. Layu dalam dua pekan.

Pengalaman itu terasa semakin pahit bagi Aidit. Mentor yang digugu, Muso, tewas ditembak tentara. Sempat tertangkap di Yogyakarta, Aidit cukup beruntung lepas karena tak dikenali. Belakangan, setelah jadi Ketua Comite Central PKI, Aidit menyebut peristiwa itu sekadar "permainan anak-anak" (kinderspel). Ia menuduh Mohammad Hatta, perdana menteri saat itu, sebagai pihak yang memprovokasi. Amerika Serikat dicurigai di belakang pemerintah untuk melawan "bahaya merah".

Dari Yogyakarta, Aidit "hijrah" ke Jakarta, dan dikabarkan kabur ke Beijing, Cina. Namun, menurut buku karangan Murad Aidit, sang abang bersembunyi di daerah pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara. Ia memakai nama samaran Ganda.

Bergerak dalam senyap, bersama beberapa yang tersisa, Aidit mencoba membangun kembali partai yang terserak. Aidit masih setia pada ide Muso. Lewat penerbitan Bintang Merah, ia menyebarkan lagi paham revolusioner dan anti-imperialis. Ia kerap mencantumkan nama "Alamputra" di bawah tulisannya.

Tiga tahun berlalu, karier politik Aidit makin moncer. Ia "mengkudeta" kelompok PKI tua, Alimin dkk, yang dinilai melakukan banyak kesalahan. Tan Ling Djie, anggota senior politibiro, didepak karena perbedaan pandangan politik. Didukung sejumlah aktivis muda dalam Kongres V PKI, 1951, ia berhasil mencapai posisi Ketua Comite Central PKI.

Aidit terus di puncak kekuasaan itu hingga tak lama setelah Gerakan 30 September 1965. Seperti Muso, Aidit berakhir diterjang peluru.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.