Senin, 12 Agustus 2002

Mohammad Hatta: Antara Ide Agama dan Kebangsaan

Oleh : Deliar Noer 

Syahdan Hatta, di suatu saat dalam hidupnya, mengemban ide agama (khususnya Islam) dan kebangsaan. Tetapi itu dimilikinya tanpa mempersoalkan perbedaan dan persamaan antara keduanya. Lahir di Bukit Tinggi, Agustus 100 tahun silam, Mohammad Hatta (1902-1980), proklamator kemerdekaan Indonesia (bersama Sukarno) dan wakil presiden pertama negara ini, adalah muslim yang taat beragama dan cepat pula berkecimpung dalam pergerakan nasional. Ia memang keturunan ulama besar di kampungnya di Batu Hampar, belajar mengaji di masa kecil dan waktu remaja pada dua syaikh ternama, Syaikh Mohammad Djamil Djambek di Bukit Tinggi dan H. Abdullah Ahmad di Padang. Ia bersekolah Belanda dari masa kecil, dan malah melanjutkan pelajarannya ke Belanda pada Sekolah Tinggi Ekonomi di Rotterdam.

Daerahnya, Minangkabau, memang termasuk daerah yang banyak menentang Belanda (ingatlah Perang Padri di abad ke-19 dan Perang Kamang tahun 1908). Di masa remaja ia sering ke kantor Serikat Usaha, menghimpun saudagar-saudagar bumiputra di Padang yang bersaing melawan pengusaha Belanda dan Cina. Rasa kebangsaan seperti ini diperkuatnya pula dengan mengikuti kegiatan dua tokoh Minang yang bergerak dalam Sarekat Islam, yaitu Haji Agus Salim dan Abdoel Moeis.

Sejak tahun 1920, Hatta sudah berada di Negeri Belanda. Sebagai mahasiswa, ia menjadi anggota Indische Vereniging (Perkumpulan Hindia), suatu perkumpulan sosial yang lima tahun kemudiam berubah menjadi organisasi politik, Indonesische Vereniging (Perhimpunan Indonesia). Pada tahun berikutnya, 1926, Hatta memimpin perkumpulan ini sebagai ketua sampai tahun 1930. Majalah organisasi ini, yang semula bernama Hindia Putra (mulai tahun 1916), diubah menjadi Indonesia Merdeka pada tahun 1924. Di masa itu pula ia, di samping giat memperkenalkan cita-cita kemerdekaan di Negeri Belanda, juga mengemukakannya di berbagai negeri di Eropa termasuk Belgia, Prancis, dan Jerman. Ia juga aktif turut serta dalam organisasi Liga Menentang Imperialisme, Menentang Tekanan Kolonial, dan Mendukung Kemerdekaan Nasional, yang mempertemukannya dengan berbagai tokoh Asia, termasuk Jawaharlal Nehru dari India.

Sebagai akibat perjuangannya di Negeri Belanda itu, bersama Ali Sastroamidjojo, Nazir Datok Pamuntjak, dan Abdulmadjid Djojohadiningrat, ia terpaksa meringkuk dalam tahanan di Den Haag menghadapi tuduhan pihak Belanda untuk antara lain menghasut dan memberontak. Pidato pembelaannya Indonesie Vrij (Indonesia Merdeka).

Di depan pengadilan, ia juga dibela oleh advokat Mr. J.E.W. Duys (yang juga anggota parlemen Belanda dari Partai Buruh Sosial Demokrat), yang membebaskannya sama sekali dari tuduhan. Memang berbeda juga pengadilan di Negeri Belanda yang merdeka dibanding dengan Indonesia yang dijajah. Malah Hatta, setelah pulang ke Indonesia pada tahun 1934, dibuang ke Digul tanpa proses pengadilan apa pun. Hatta mempelajari Islam dan kemudian bersikap dan bertindak sebagai seorang muslim. Ia tidak keras membela Islam, tetapi semua tindak-tanduk dan tingkah lakunya, termasuk secara pribadi, dan dalam berjuang dan mengemukakan cita-cita (politik, ekonomi, sosial), ia selaraskan dengan tuntutan Islam. Ia juga tidak terpengaruh oleh pergaulan bebas, termasuk di Negeri Belanda. Ia tidak pula suka minum minuman keras.

Baginya, ajaran agama Islam itu memimpin tingkah lakunya, tetapi juga membina pandangannya tentang kehidupan masyarakat dan negara. Berbeda dengan tokoh-tokoh lain, termasuk Sukarno, Haji Agus Salim, Mohammad Natsir, ia juga tidak terlibat dalam perdebatan mengenai kedudukan Islam, khususnya dalam hubungan dengan negara. Bagi Hatta, Islam otomatis saja berkaitan dengan kehidupan masyarakat dan negara.

Baginya, seorang muslim harus mengikuti "suruhan dan larangan" agama (menyuruh yang baik, melarang yang tidak baik) dalam hidup. Ada dua hal yang sangat mempengaruhi Hatta dalam melihat dan memahami Islam. Kedua soal ini menyangkut iman (kepercayaan) dan kepedulian pada masyarakat masalah hablum minallah, hablum minannas (hubungan dengan Allah, hubungan dengan sesama manusia). Dalam hal yang pertama, praktis ia tidak berteori. Ia tidak mempertanyakan seseorang (termasuk dirinya sendiri) mengapa dan kenapa ia beriman. Ia benar-benar beriman, percaya pada Allah. Ia tidak mengkaji bukti keberadaan Tuhan. (Mohammad Hatta, Ilmu dan Agama, Yayasan Idayu, Jakarta, 1980, hlm. 9).

Baginya lagi , "Agama (Islam) ... kepercayaan yang mutlak. Yang pokok dari agama ialah Tuhan tadi, dan peraturan Tuhan." (Ilmu dan Agama, hlm. 12.) Menurut Hatta, rasa percaya kepada Allah Swt itu harus dipupuk dan ditindaklanjuti dengan amal dan perbuatan. Maka, sesuai dengan Quran surat Al-Muzammil (surat 73), pemupukan ini antara lain dilakukan dengan "mengerjakan salat pada malam hari dan membaca ayat-ayat Quran yang sudah diturunkan dengan bacaan yang bagus dan terang." Dan, "dengan sepenuh hati," ia menambahkan. (Mohammad Hatta, Nuzulul Qur'an, Angkasa, Bandung, 1966, hlm. 8). Ia kaitkan pula soal ini dengan surat Al-Muddatstsir 74:1-7, yang menyuruh kita bangkit dari tidur, membersihkan pakaian, yang bagi Hatta ini berarti "membersihkan hati, pikiran, dan perasaan, serta budi pekerti dan kelakuan". Secara umum, hal ini sebagai perintah "kepada manusia untuk berbuat baik sesamanya, karena Allah" (Nuzulul Qur'an, hlm. 8-9).

Dalam kaitan dengan kehidupan masyarakat, dan juga negara, menurut Hatta, di zaman Nabi di masa Madinah, ayat-ayat Quran yang turun kepada Rasulullah "memberi petunjuk, cara, bagaimana pemimpin Islam berjuang. (Maka) selama di Madinah, Nabi tidak saja sebagai pemimpin masyarakat, tetapi juga sebagai kepala pemerintah (Nuzulul Qur'an, hlm. 13-14). Ia tambahkan bahwa di samping Quran, hadis pun menjadi sumber hukum Islam. Hatta mengingatkan kita bahwa hidup di dunia hanya sementara. Karena itu, bumi haruslah dipelihara, ditinggalkan dalam keadaan yang lebih baik dari di masa kita hidup. Ini berarti perlu membangun masyarakat dan negara. Hatta merujuk pada Q.S. Ali Imran 4:109 dalam hubungan ini.

Bagi HATTA, berjuang untuk membela tanah air, bangsa, dan masyarakat bagi seorang muslim tidak mengandung pilihan lain, karena soal ini menyangkut soal tugas hidup sebagai manusia. Ini ia buktikan dengan sikap dan perbuatannya. Penahanannya oleh pemerintah di Negeri Belanda dan pembuangannya ke Digul dan Banda Neira tidak menyurutkan tekad dan semangatnya. Malah sepanjang hidupnya ia berbuat positif bagi tanah air, bangsa, dan masyarakat, baik sebagai manusia biasa maupun ketika memegang jabatan. Ketika ia berada di Negeri Belanda, ia menulis, berpidato, turut dalam berbagai konferensi internasional. Semua itu untuk membebaskan negerinya dari penjajahan dan untuk mencerdaskan bangsa terutama dalam berpolitik. Hatta menjaga benar agar persatuan Indonesia dapat tegak-persatuan antar-suku, ras, malah antar-agama.

Di kalangan Islam, ketaatannya beribadah tentu mempunyai catatan sendiri (di zaman Jepang, oleh pihak Nahdlatul Ulama, ia pernah ditawari untuk memimpin organisasi ini). Sedangkan di kalangan kebangsaan, pembuangannya oleh pemerintah Belanda ke Digul dan Banda menempatkannya sebagai tokoh yang sangat dihormati. Hatta memang menolak paham komunisme dan fasisme-dua paham yang tidak memberi toleransi kepada pihak lain. Tetapi ia juga menjaga agar hubungan dengan pihak komunis Indonesia di zaman Belanda tidak menyebabkan permusuhan. Tentu ia mencatat bahwa pihak Semaun memintanya supaya memimpin perjuangan nasional, tetapi juga bahwa Stalin membatalkannya.

Dengan pemberontakan PKI di Madiun tahun 1948, Hatta yakin sekali bahwa pihak komunis tidak bisa diajak bekerja sama. Karena itu, ia termasuk orang yang gigih mengingatkan Sukarno, terutama di masa Demokrasi Terpimpin, agar tidak menerapkan Nasakom (nasionalisme, agama, dan komunisme). Ia bisa memahami paham Marxisme, tetapi tidak berarti bahwa ia mengikuti paham ini. Kebangsaan yang dipahaminya juga tidak bermaksud menekan atau memandang rendah orang lain; jauh pula dari sifat ekspansi. Karena itu, dalam perdebatan dalam Badan Penyelidik Usaha-Usaha Kemerdekaan Indonesia tahun 1945, Hatta tidak setuju bila Indonesia mencakup juga Semenanjung Malaya, Kalimantan Utara, dan Timor Timor, kecuali kalau bagian-bagian ini dengan kemauan sendiri bergabung.

Ia turut serta bersama beberapa tokoh dalam Panitia 9, Juni 1945, merumuskan apa yang kemudian menjadi Pembukaan UUD 1945. Pembukaan ini memuat tujuh kata tentang syariat Islam yang wajib dijalankan oleh para pemeluknya ("Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya"). Karena pada tanggal 17 Agustus 1945 ia memperoleh kabar bahwa bagian Indonesia Timur akan melepaskan diri dari kesatuan Indonesia bila soal syariat ini ditegakkan, dan ia khawatir benar hal ini akan terjadi atau sekurang-kurangnya akan merupakan masalah, padahal proklamasi kemerdekaan pasti akan diganggu oleh kaum kolonial terutama Belanda yang ingin menjajah kembali, ia mengusulkan kata-kata ini diganti dengan "Ketuhanan Yang Maha Esa". Usul ini diterima oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia dalam sidangnya tanggal 18 Agustus 1945.

Menurut pendapatnya, perubahan ini tidak mengabaikan wajibnya syariat Islam berlaku di Indonesia, karena kata "Ketuhanan Yang Maha Esa" menggambarkan tauhid, yang hanya dijumpai dalam agama Islam. Bahwa ia tidak bermaksud menghilangkan perwujudan syariat dalam kehidupan, itu terbukti kemudian dalam dua hal.

Pertama, bahwa pada tahun 1973 ia mengingatkan Presiden Soeharto agar Rancangan Undang-Undang Perkawinan yang dimajukan ke Dewan Perwakilan Rakyat tahun 1973 disesuaikan dengan tuntutan kalangan Islam yang telah menyebabkan demonstrasi demi demonstrasi oleh kalangan muda. Presiden Soeharto akhirnya mengubahnya sehingga, permulaan tahun 1974, RUU itu sudah dapat disahkan.

Kedua, ketika pada permulaan Soeharto berkuasa, gerakan atau partai yang ia dirikan (bersama-sama kalangan muda Islam) "berjiwa Islam" dan "berjuang atas dasar 'Ketuhanan Yang Maha Esa' yang harus diamalkan benar-benar dengan perbuatan."

Ia juga memperjuangkan sosialisme, yang baginya bersumber pada dua pemikiran: Islam yang ajarannya memberantas kemiskinan dan sosialisme Barat yang juga ingin membangkitkan kalangan yang miskin untuk sejahtera. Karena itu, ia juga merujuk pada Pasal 27 Ayat 2 UUD 1945 tentang hak setiap warga negara "atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan" sebagai ketentuan yang memang diperintahkan oleh ajaran Islam serta tujuan cita-cita kita bernegara. Atas dasar kedua sumber ini pula ia menentang kapitalisme.

Dalam hubungan dengan Pancasila, partai menekankan bahwa Ketuhanan Yang Maha Esa (yang bagi Hatta sama dengan tauhid) merupakan "dasar yang memimpin dalam Pancasila, yang menjiwai dan memberi semangat kepada sila-sila lainnya". Hatta berusaha benar dalam perjuangannya menegakkan hal-hal ini. Malah, setelah ia berhenti sebagai wakil presiden dan pensiunnya memang tidak mencukupi untuk hidup dari bulan ke bulan, ia tidak mau menerima jabatan komisaris (yang bergaji besar) pada berbagai perusahaan, baik asing maupun pribumi. "Apa kata rakyat nanti!" demikian katanya.

Setelah ia berhenti sebagai wakil presiden pada tahun 1956, ia masih terus-menerus mengingatkan Sukarno dan beberapa menteri agar berpegang teguh pada cita-cita kemerdekaan. Apa yang diterimanya? Brosur kecilnya, Demokrasi Kita (1980), malah diberangus. Ia juga dilarang memberi kuliah, termasuk di Universitas Gadjah Mada dan Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat di Bandung. Kedua lembaga ini adalah tempat ia dari semula mengajar.

Ia memang hidup antara segi Islam dan segi kebangsaan, tetapi ia senantiasa berusaha mewujudkan kedua segi ini dalam satu kesatuan, dengan membaktikan dirinya kepada Allah dalam perjuangan hidupnya. Tetapi ia tidak gembar-gembor dengan dua macam cita-cita ini. Ia memang tidak berhasil, karena akhirnya di zaman Sukarno ia tidak didengar lagi dan di zaman Soeharto ia tidak dipedulikan. Praktis ia dianggap angin lalu. Tetapi, dialah sebenarnya yang patut dan perlu dicontoh oleh siapa pun di Indonesia ini, baik ia sebagai pribadi maupun pejabat. Ia memang jujur, ikhlas, dan santun. Ia memegang amanah.

Deliar Noer  Penulis biografi politik Mohammad Hatta 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.