Senin, 12 Agustus 2002

Hari-Hari Bersama Om Kacamata

Sebuah sore, 66 tahun silam, Teluk Neira teduh dan nyaman. Sekawanan bocah laki-laki sibuk berenang melawan ombak di kawasan yang dijuluki tempat matahari berlabuh ini. Des Alwi, 8 tahun kala itu, turut bergabung bertelanjang dada menikmati hangat air laut Neira.


Kesenangan terusik ketika petugas pelabuhan berseru mengusir anak-anak dari dermaga. Ini tanda ada kapal yang bakal berlabuh. Des dan kawan-kawan bergegas bersembunyi di bawah dermaga kayu. Sebentar kemudian sebuah kapal putih berbendera Belanda, Fommelhaut, merapat.

Dua lelaki berjas krem dan bersepatu putih turun dari kapal. "Tuan-tuan itu berwajah pucat," kata Des Alwi kepada TEMPO, beberapa pekan lalu. Wajah pucat yang membuat Des yakin bahwa keduanya datang dari Buven Digul, arena pembuangan yang brutal dan menyengsarakan.

Des, mantan diplomat senior yang kini berusia 75 tahun, memang punya daya ingat yang luar biasa kuat. Peristiwa bertanggal 1 Februari 1936 tersebut dia rinci seolah baru terjadi kemarin sore. Gelak tawa dan wajah yang memerah bangga menggenapi penuturan Des. Nyata betul bahwa kenangan yang mengalir menghangatkan seluruh tubuh lelaki yang sekarang bercucu empat ini. Kenangan berlanjut.

Om Kacamata, julukan bagi Mohammad Hatta, hanya tersenyum-senyum. Sementara tuan pucat yang satu lagi, Sutan Sjahrir, menanyakan letak rumah dr. Tjipto Mangunkusumo. "Jauh, veer, Meneer," kata Des kecil, "Tetapi, di depan dermaga ini ada rumah Iwa Kusumasumantri."

Bersama tokoh pejuang dr. Tjipto Mangunkusumo, Iwa dibuang oleh pemerintah Hindia Belanda ke Pulau Banda sejak 1928. Tak berapa lama, rombongan Des membantu kedua tuan pucat singgah ke rumah Iwa. Belasan peti Hatta-Sjahrir digotong anak-anak itu. Sejak itulah para bocah Banda memeriahkan hidup dua bembang, orang buangan, Hatta-Sjahrir.

Upik dan buyung riuh berkeliaran di rumah besar berkamar delapan yang dihuni Hatta-Sjahrir. Belakangan, Hatta-Sjahrir minta izin keluarga Raja Baadilla, tokoh Banda keturunan bangsawan Arab, untuk menjadikan cucu dan kemenakan Baadilla sebagai anak angkat.

Keluarga Baadilla sepakat. Des, Does, Lily, Mimi, dan Ali resmi menjadi anak angkat Hatta dan Sjahrir. Selanjutnya, sebagai anak angkat, Des bersaudara berguru pada Hatta-Sjahrir. Membaca, berhitung, sejarah, juga sopan santun adalah pelajaran utama.

Semangat perjuangan pun sengaja ditularkan. Anak-anak bebas menguping diskusi politik yang serius di kalangan bembang di Banda. Aktivitas bermain pun tak luput disisipi nilai perjuangan. Om Kacamata, misalnya, suatu kali mengecat perahu dengan warna merah putih. Tak ada setitik pun warna biru di perahu.

Pejabat setempat, yang orang Belanda, tentu mempertanyakan kegiatan yang berbau patriotik ini. Bung Hatta dengan tenang menjawab, "Anda kan tahu sendiri, laut sudah berwarna biru." Si pejabat pun manggut-manggut dan ngeloyor pergi.

Kali yang lain, anak-anak berpiknik ke Pulau Pisang atau Pulau Banda Besar. Di sana, di pantai yang sepi, seperti ditulis Rudolf Mrazek dalam buku Sjahrir, Politik dan Pengasingan di Indonesia, Des mengenang Sjahrir mengajarkan lagu Indonesia Raya.

"Lagu yang kami nyanyikan dengan penuh semangat, sebab kami merasa bebas dan oleh karena tidak ada orang yang dapat mendengar kami."

Memang, hubungan bocah Baadilla dan Hatta-Sjahrir tak selalu harmonis. Sesekali muncul insiden yang memusingkan. Misalnya, kaca jendela rumah Om Kacamata kena bola yang ditendang Des sampai pecah berantakan. Atau, Des menyenggol dan memecahkan vas bunga yang ada di kamar baca Hatta.

Beberapa buku, harta berharga bagi Hatta, basah belepotan air jambangan. Alih-alih menjadi renggang, beragam insiden tadi justru merekatkan hubungan mereka. Kualitas kedekatan tampak nyata ketika pada sebuah pagi, 31 Januari 1942, Hindia belanda memerintahkan Hatta-Sjahrir pulang ke Jakarta. Pesawat kecil jenis Catalina, milik MLD (dinas penerbangan militer), telah siaga menjemput keduanya di dekat Dermaga Neira.

Hatta-Sjahrir mengajukan satu syarat: membawa serta semua anak angkat. Akhirnya, Belanda hanya mengizinkan lima anak turut serta, yakni Des, Does, Lily, Mimi, dan Ali. Namun, pada detik-detik menjelang keberangkatan, Catalina tak sanggup mengusung seluruh rombongan yang kelebihan berat 120 kilogram.

Lalu, disepakati Des tinggal di Banda sekaligus menjaga 16 peti buku Hatta yang tak terangkut. Satu bocah lagi, Does Alwi, juga batal ikut karena orang tuanya keberatan. Tiga bulan kemudian, Des menyusul ke Jakarta dan tinggal di rumah Hatta.

Begitulah, hubungan kedua tokoh pejuang tadi dengan bocah Baadilla amat bernilai. Bahkan, bisa dibilang manusia-manusia kecil inilah yang menolong Hatta-Sjahrir bertahan selama delapan tahun masa pengasingan Banda. Kedua Bung tidak menuai kesepian yang menyakitkan, seperti yang dilaporkan menimpa Tjipto dan Iwa.

Om Kacamata dan Om Rir membunuh rasa bosan yang menggigit dengan bermain gundu, sepak bola, mendaki gunung, memetik kembang anggrek, atau menikmati bulan putih di langit malam Banda.

Suatu hari kelak, dalam pidato pemakaman Sjahrir, Hatta mengingat bagaimana anak-anak Baadilla membantu Sjahrir menyesuaikan diri dengan tempat baru, sesudah perubahan yang tidak mudah dari Buven Digul. Mereka tidak membiarkannya merasa kesepian. Dalam istilah Hatta: mereka obat untuk hati yang luka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.