Senin, 12 Agustus 2002

Beberapa Jam di Tanah Buangan

Di dalam bilik Cessna, gadis remaja itu duduk tak tenang. Ia sedikit gentar, tapi rasa ingin tahunya membuncah. Sebentar kemudian pesawat kecil itu meliuk, lalu terbang rendah di atas sungai cokelat yang membelah hutan raya.


Kali Digul! Tiba-tiba anak bungsu Mohammad Hatta, perempuan kecil di pesawat mungil itu, merasakan jantungnya berdetak makin cepat. Halida Nuriah Hatta tak pernah melupakan peristiwa itu. Ia masih 14 tahun waktu itu.

Beberapa saat setelah menghadiri Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) di Irian Jaya, 1969, ayahnya mengajak menengok Digul alias Tanah Merah, tempat Bung Hatta dibuang Belanda 34 tahun sebelumnya. Hari itu bersama kakaknya, Meutia, ibu dan ayahnya, Halida mengunjungi "Gulag Indonesia" itu dalam sebuah lawatan singkat, hanya beberapa jam.

Begitu kaki Halida menjejak tanah, udara terasa lembut dan manis-masih seperti 40 tahun yang lalu. Matahari bulan Agustus berkilau di atas sungai keruh. Alam Digul hampir tak berubah, seperti tak pernah tersentuh tangan. "Betapa tertinggalnya daerah ini, masih seperti ketika Ayah ditahan dulu," kata Halida, menirukan ucapan Bung Hatta.

Kunjungan pendek itu, tak bisa tidak, mematrikan kenangan yang dalam bagi Halida. Mereka mendatangi rumah bekas tempat tinggal Hatta semasa pembuangan. Bangunan itu tak terpelihara. Hampir roboh. Halida terharu membayangkan ayahnya dulu mesti bertahan hidup di tengah alam yang ganas. "Tak mengherankan Ayah kena malaria," kenangnya.

Selain Digul, Halida juga pernah mengunjungi Banda Neira, tempat "pembuangan" Hatta yang lain. Waktu itu, April 1973, Bung Hatta sekeluarga mendapat undangan dari Des Alwi. Turut dalam rombongan Nyonya Poppy Sjahrir, istri almarhum Sutan Sjahrir. Des, yang putra asli Banda, adalah anak angkat Sjahrir dan keponakan angkat Hatta.

Dari Jakarta, mereka naik pesawat ke Ambon, dilanjutkan dengan menumpang kapal perang menuju Banda. Mereka melayari lautan Maluku selama 15 jam. Para tetua, termasuk kakek Des Alwi, menyambut dengan haru begitu mereka tiba di tanah rempah itu. Warga pulau, yang tampak begitu mencintai Hatta, menyiapkan pelbagai pertunjukan seni untuk merayakan "kembalinya" si anak hilang.


Selama 10 hari di pulau itu, Halida melihat ayahnya begitu bahagia. Mereka piknik ke tepi pantai. Makan siang bersama tanpa sendok-garpu, menyuap hanya dengan tangan. Duduk beralas pasir dan memandang matahari tenggelam. Pose Hatta dalam suasana santai itu terekam fotografer Sinar Harapan, Harry Kawilarang.

Di mata Halida, paras dalam foto itu tampak begitu teduh. "Senyumnya tak ada orang yang punya, senyum genuine yang terpancar dari dalam," katanya.

Tapi senyum yang genuine itu sesungguhnya menyimpan kekecewaan.

Menurut Des Alwi, Bung Hatta masygul melihat Banda yang cepat berubah. Julukan "Eropa mini" untuk pulau pala itu sudah sirna. Bangunan-bangunan besar yang dulu dimiliki para pengusaha perkebunan Belanda kini lapuk dimakan usia. Perkebunan pala yang dulu tumbuh rapi sekarang tak terawat.

Janji Pemerintah Daerah Maluku (waktu itu di bawah Gubernur Sumitro) untuk memugar bangunan yang pernah dihuni para perintis kemerdekaan ternyata cuma pemanis bibir. Kenyataannya, di bangunan yang utuh pun daun pintu dan jendela habis dipereteli penduduk yang dibekingi oknum penguasa setempat. Mereka seolah tak menyadari arti sejarah.

Melihat itu, Hatta, yang dikenal teguh memegang janji, hanya bisa mengurut dada. Untunglah ada pengobat duka. Menjelang kembali ke Jakarta, nama Hatta dan Sjahrir diabadikan pada dua pulau kecil dekat Banda Neira. Jadilah dua pulau kembar itu bernama Pulau Hatta dan Pulau Sjahrir.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.