Senin, 12 Agustus 2002

Beburu Potret

DI manakah foto-foto Bung Hatta tersimpan? Bagaimana kondisinya sekarang? Begitulah sederet pertanyaan yang terlintas di benak Jaap Erkelens ketika pertama kali menyatakan bersedia ikut terlibat dalam pembuatan buku Mohammad Hatta Hati Nurani Bangsa. Buku ini, selain berisi sekilas tentang sejarah salah satu proklamator Indonesia itu, juga akan dihiasi foto-foto Hatta.

Jaap adalah direktur perwakilan Indonesia untuk Koniklijk Instituut voor Taal Land en Volkenkunde (KITLV), sebuah lembaga kajian bahasa dan antropologi milik Kerajaan Belanda. Dia sadar betul, mengumpulkan foto dokumentasi seorang tokoh bukanlah perkara mudah, apalagi di negara yang sistem arsipnya tak terlalu bagus seperti Indonesia.

Lebih dari itu, tak banyak orang atau lembaga yang menyimpan koleksi foto Hatta. Selain keluarganya sendiri tentunya, cuma agen foto Indonesia Press Photo Service (Ipphos), Yayasan Idayu, dan segelintir orang yang masih memiliki rekaman gambar semasa Hatta hidup. Itu pun dengan kualitas koleksi yang beraneka ragam. Ada foto yang masih terawat baik, tapi lebih banyak yang sudah mengelupas di sana-sini. Di Ipphos, misalnya, nasib koleksi foto Hatta boleh dikata merana.

Ketika wartawan TEMPO datang ke sana, dua karyawannya, Ilna dan Jaja, hanya menyodorkan 15 lembar koleksi foto hitam-putih, tanpa album ataupun amplop. Foto-foto karya para fotografer Ipphos itu sudah kumal dimakan jamur. "Ini koleksi tahun 1945 sampai 1980, ketika Bung Hatta meninggal," kata Ilna. Kondisi segepok film negatif yang disodorkan Jaja sama saja. Selain tak mencantumkan judul subyek, karena sudah lepas, bundelan yang cuma diikat karet gelang itu juga sudah lusuh dan berdebu. Jamur-jamur putih kekuningan memenuhi seluruh permukaan amplop cokelat dan film negatif yang ada di dalamnya. Gambar di film sudah nyaris tak terlihat lagi. "Kalau dipaksakan sih masih bisa dicetak," kata Jaja sambil tertawa.

Menurut Jaja dan Ilna, koleksi foto Hatta milik Ipphos tersebar di berbagai tempat. Statusnya dipinjam atau tidak jelas. "Setiap pegawai di sini bisa mengeluarkannya dan tak pernah lapor," kata Ilna. Sebagian koleksi, misalnya, masih dipinjam Kedutaan Polandia untuk dipamerkan di Bentara Budaya. Sebagian lagi juga masih "dibon" oleh panitia pameran foto Peringatan 100 Tahun Bung Karno di Gedung Pola tahun lalu.

Nasib koleksi foto Hatta di Yayasan Idayu sedikit lebih baik. Total ada sepuluh album foto Hatta yang direproduksi dan dikoleksi Idayu. Setiap album berisi sekitar 40 foto. Semua foto itu dicetak rangkap dua: satu asli, satu cadangan. "Kami masih punya foto-foto lepas yang jumlahnya ribuan eksemplar," kata Sakino, 59 tahun, Kepala Bagian Dokumentasi Foto dan Umum di Idayu, yang juga pernah bekerja di Ipphos selama 15 tahun. Namun, jangan tanya soal perawatan dan perlakuan terhadap koleksi foto Hatta pada Sakino.

Pria yang sudah 25 tahun berkutat dengan dokumentasi di Idayu itu butuh waktu beberapa menit sebelum akhirnya menjawab, "Apa yang bisa kami lakukan selain hanya menumpuknya di lemari?" Sakino mengaku, Yayasan tak punya cukup uang untuk merawat koleksi dengan lebih layak. Seluruh koleksi buku, dokumen, dan foto-foto yang jumlahnya ribuan itu memang masih tertata rapi. Tapi kesan lusuh, berdebu, dan nyaris tak terawat jelas terlihat. Begitu pula yang terjadi dengan koleksi foto Bung Hatta. Amril, pegawai Idayu, menyodorkan sebundel album bersampul hijau yang sudah kumal. Tali warna kuning pengikatnya terlihat longgar karena terlalu lama tidak diganti.

Ada lebih dari 50 koleksi foto hitam-putih dalam album itu. Beberapa di antaranya masih terlihat rapi dan terang. Tapi sebagian besar tampak mulai pudar warnanya atau kekuning-kuningan dimakan usia. Sebagian lain bahkan tak terhindar dari jamur yang menggerogotinya. Setiap foto ditempel ke selembar kertas album yang tebal, dan halaman yang satu dengan halaman berikutnya dipisahkan oleh kertas minyak putih yang sudah mulai menguning. Sementara foto positifnya banyak yang rusak, begitu pula koleksi negatifnya. Satu-satunya cara perawatan yang dilakukan hanyalah memasukkan negatif foto ke dalam amplop dan menaruhnya di dalam kotak katalog atau lemari.

Puluhan album koleksi foto Hatta itu diletakkan di rak dalam lemari besi setinggi dua meter dan selebar satu meter lebih. Dua rak di atasnya berisi deretan koleksi album foto Presiden RI pertama, Sukarno. Foto-foto Bung Karno, selain lebih banyak, tampak lebih terawat dan dimasukkan dalam album yang lebih baik kondisinya. Walhasil, Jaap pun harus kerja keras. Untunglah, kata lelaki berdarah Belanda yang lahir di Pulau Sumbawa pada 1939 ini, Meutia dan Halida, dua di antara tiga putri Hatta, sangat ringan tangan membantu proses pengumpulan kembali foto-foto ayahnya. Mereka bahkan mau repot-repot menghubungi kerabat, kenalan, dan sumber lain untuk melengkapi koleksi. "Merekalah yang menghubungi anggota keluarga besar Hatta seperti keponakan, cucu, dan lain-lain," kata Jaap.

Dalam waktu singkat, sekitar 10 hari, kepingan dokumentasi yang berserakan itu pun terkumpul lumayan banyak. Jaap juga memperoleh sumbangan foto dari keluarga Hadi Thayeb, Ipphos, Yayasan Idayu, juga koleksi KITLV Belanda sendiri. Kondisi sebagian besar foto itu masih bagus. Ada, memang, sebagian foto yang sudah berubah warna, lapuk dimakan usia dan terkena sinar matahari. Tapi, dengan bantuan teknologi, cacat ini bisa diperbaiki. Jaap bercerita, ia banyak mendapat foto-foto unik yang belum pernah dipublikasikan siapa pun.

Ada satu foto yang menarik. Jaap pertama kali melihatnya di salah satu ruang di bekas gedung Departemen Penerangan. Ketika dia menceritakan tentang foto itu kepada keluarga Hatta, Meutia pun lantas bergerak. Selidik punya selidik, rupanya foto itu milik keluarga Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal TNI Ryamizard Ryacudu. Foto itu diambil ketika Hatta berkunjung ke Aceh dan bertemu dengan Ryacudu (ayah Ryamizard), seorang tentara yang sedang berdinas di sana.

Di dalam foto tampak Hatta sedang bermain tarik tambang bersama beberapa orang. Sayang, siapa saja orang-orang yang ada di dalam foto dan di mana lokasinya tak dikenali. Padahal foto itu penting untuk menjelaskan bahwa Hatta ternyata tergolong homo ludens, makhluk yang gemar bermain.

Dia tidak seserius yang orang kira. Jaap bercerita, ia juga pernah mendapat koleksi foto dalam bentuk album dari sebuah pasar loak di Yogyakarta, tujuh tahun silam. Foto-foto itu menggambarkan situasi sebuah musyawarah nasional pada 1957. Foto ini menarik karena, menurut Jaap, dibuat ketika hubungan antara Sukarno dan Hatta sedang tegang-tegangnya. Nah, musyawarah itu digelar untuk mencairkan ketegangan di antara kedua proklamator itu. "Album yang menjadi koleksi KITLV itu saya beli sekitar Rp 75 ribu," kata Jaap.

Memilih foto-foto yang layak untuk dimuat dalam buku, kata Jaap, bukan pekerjaan mudah. Banyak foto yang tak mencantumkan keterangan menyangkut, misalnya, lokasi pemotretan, siapa saja yang berpose di sekeliling Hatta, atau tanggal pengambilan. Kebanyakan foto-foto itu hanya gambar mati tanpa secuil keterangan apa pun di baliknya. Lebih dari semuanya, Jaap merasa tak puas dengan hasil kerjanya. Jika saja diberi kesempatan mengerjakannya sejak awal dulu, Jaap memastikan punya cukup waktu untuk berkeliling ke sumber-sumber lain, juga lebih banyak foto yang diperoleh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.