Senin, 16 Agustus 2010

Ratu Adil Bermodal Keris

KABAR itu disiarkan melalui radio tabung ketika fajar baru terbit, 4 Juni 1962. Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo, "Imam Negara Islam Indonesia", diringkus tentara di persembunyiannya yang becek dan basah, di sebuah hutan yang tidak lebat di Jawa Barat.


Kastolani, komandan kompi Tentara Islam Indonesia di Brebes, Jawa Tengah, tak mampu menahan amarah. Ia berniat mengajak sembilan anak buahnya menyerbu markas Tentara Nasional Indonesia. Berusia 29 tahun ketika itu, Kastolani bertambah geram akan sikap para komandannya.

"Komandan Batalion" dan "Komandan Resor Militer" Tentara Islam Indonesia di Brebes justru menganjurkan prajuritnya menyerah. "Saya tegaskan: komandan yang menyerah akan saya tembak," tuturnya kepada Tempo di rumahnya di Salem, Brebes, akhir Juli lalu.

Tapi, melihat para komandan dan anggota Tentara Islam tak berniat melanjutkan perlawanan setelah Kartosoewirjo tertangkap, ia melunak. "Saya perintahkan anak buah saya, silakan turun kalau mau menyerah," ia mengenang, dengan nada pahit. "Tapi, saya ingatkan, jangan tinggalkan salat."

Kastolani bergabung dengan Tentara Islam Indonesia di Brebes pada 1953. Ia terpikat janji negara berbasis syariah. Diproklamasikan Kartosoewirjo pada 7 Agustus 1949 di Desa Cisampah, Cisayong, Tasikmalaya, Jawa Barat, Negara Islam Indonesia memikat ribuan orang pada mulanya.

Tidak ada angka pasti, tapi diperkirakan 50 ribu orang menjadi anggota ketika Kartosoewirjo ditangkap. Kepada pengikutnya, Karto selalu mengobarkan semangat jihad dan memerangi "pemerintahan kafir" Soekarno.

Dianggap memberontak, pengikut Negara Islam Indonesia diburu Tentara Nasional Indonesia. Sejak itu, mereka masuk hutan. Kastolani menjelajahi hutan di kawasan Bantar Kawung, Salem, Majenang, Songgong, Cibinbin, dan Jati Rokek. Desa-desa itu merupakan wilayah pegunungan di Brebes yang hutannya masih tersisa hingga kini.

Kartosoewirjo menggagas Negara Islam setelah Jepang menyerah kepada Sekutu, Agustus 1945. Ia melontarkan keinginan itu ketika menjadi Sekretaris Partai Masyumi Jawa Barat pada Oktober 1945. Meski ditolak partai, gagasan ini didukung banyak ulama di Jawa Barat.

Melalui para ulama, Karto mempengaruhi anggota Sabilillah dan Hizbullah-sayap ketentaraan Masyumi-di Jawa Barat pimpinan Oni. Dua laskar itu merupakan cikal bakal Tentara Islam Indonesia yang dibentuk pada Februari 1948. Merasa mendapat dukungan kuat dari pengikutnya dan Tentara Islam Indonesia, Kartosoewirjo membekukan kegiatan Partai Masyumi Jawa Barat. Ia mendirikan Negara Islam Indonesia.

Solahudin, peneliti Darul Islam dari Universitas Indonesia, mengatakan keberhasilan memperoleh dukungan tak lepas dari strategi Karto menggunakan ajaran tasawuf. "Modelnya tasawuf bercampur unsur kebatinan," katanya.

Ia mencontohkan, pada suatu kesempatan, Karto melakukan tapa geni di Gunung Kidul, Yogyakarta. Dengan bertapa, Karto mengasingkan diri dari keramaian, membersihkan diri dari pengaruh duniawi. Dalam bahasa Arab, aktivitas ini disebut riyadhoh. Kepada pengikutnya, menurut Solahudin, Karto meyakinkan bahwa bertapa juga dilakukan Rasulullah ketika memperoleh wahyu pertama kali di Gua Hira.

Setelah bertapa, Karto mengaku mendapat "wahyu cakraningrat"-sinar terang yang disebutkan berbentuk kalimat syahadat dalam bahasa Arab. Sinar itu disebutkan melingkari wajah Karto. Ateng Jaelani Setiawan, mantan Panglima Tentara Islam Indonesia, yang ditangkap pada Maret 1962, mengatakan bahwa dengan "wahyu cakraningrat" Karto mengklaim dirinya sebagai "khalifatullah". Kartosoewirjo mengangkat dirinya sebagai imam seluruh umat Islam di dunia.

Dalam buku Pedoman Dharma Bhakti Negara Islam Indonesia jilid ketiga, Kartosoewirjo disebut dengan banyak julukan: Ratu Adil, Imam Mahdi, Sultan Heru Tjokro, dan Satrija Sakti. Julukan itu disesuaikan dengan ramalan Joyoboyo, pujangga Jawa, tentang orang yang akan memimpin umat manusia. Konon Kartosoewirjo akan bisa menjadi Ratu Adil jika bisa menyatukan dua senjata pusaka, yakni Ki Dongkol dan Ki Rompang. Ketika ia ditangkap pada 3 Juni 1962, keris Ki Dongkol ada di tangannya.

Dalam buku manifesto politiknya, Heru Tjokro Bersabda: Indonesia Kini dan Kelak, Kartosoewirjo menulis, "Heru Tjokro" merupakan "makhluk Allah yang suci, menguasai dan memutar roda dunia menuju mardlotillah sejati, yaitu Negara Islam Indonesia." Heru Tjokro juga diartikan sebagai: "penyapu masyarakat jahiliah". Pemerintah Soekarno dianggap kafir karena tidak menjalankan syariat Islam, dianggap jahiliah, dan harus diperangi.

Karto menganggap situasi Indonesia ketika itu sama dengan masa penyebaran Islam oleh Nabi Muhammad di Mekah. Sementara Muhammad menghadapi perlawanan kaum Quraisy, Kartosoewirjo mengatakan menghadapi Tentara Nasional Indonesia. Menurut Solahudin, alih-alih mengikuti cara tasawuf yang tidak agresif, Kartosoewirjo meminta anak buahnya memerangi pemerintah.

Karto juga membaurkan ritual keagamaan dengan kebatinan. Pada malam-malam tertentu, dia mengumpulkan 41 ulama di daerah "D-Satu"-daerah yang sepenuhnya dikuasai Negara Islam Indonesia. Mereka berdoa, berzikir, dan bersalat tahajud bersama. Semua dilakukan, menurut Solahudin, demi "menggapai wangsit dari langit".

Al-Chaidar, peneliti gerakan Islam Indonesia dari Universitas Malikussaleh, Nanggroe Aceh Darussalam, ragu Kartosoewirjo menggunakan pengaruh tasawuf, apalagi yang berbau mistik. "Informasi itu bias, hanya cerita dari mulut ke mulut," katanya.

Untuk menguatkan ketaatan, konsep baiat-pernyataan setia kepada imam-diberlakukan bagi pengikut. Sebelum berbaiat dengan Kartosoewirjo, seseorang belum dianggap menjadi muslim. Dengan baiat, pengikut Negara Islam Indonesia dituntut tunduk dan patuh kepada pemimpin. Dengan kesetiaan ini, sebagian besar pengikut menjadi puritan. Tak aneh, Tentara Nasional Indonesia butuh 13 tahun untuk melumpuhkan kekuatan Tentara Islam Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.