Senin, 16 Agustus 2010

Murid Tjokroaminoto di Peneleh

RUMAH bercat putih di Jalan Peneleh, Surabaya, itu baru dikapur ulang. Di bagian depan, pintu kayu jati dan dua jendela kecil yang mengapitnya pun baru dicat warna hijau. Selebihnya, tak ada yang baru dari rumah yang dulu dimiliki Haji Oemar Said Tjokroaminoto ini. “Lantainya saja masih dari semen,” kata Mariyun, ketua rukun tetangga setempat.

Rumah pendiri Sarekat Islam yang punya banyak kamar itu pernah menjadi tempat indekos tokoh-tokoh pergerakan kemerdekaan Indonesia dari berbagai aliran, di antaranya Soekarno dan Semaoen, pendiri Partai Komunis Indonesia. Soekarno pernah tinggal di salah satu kamar berlangit-langit rendah di loteng.

Tjokroaminoto memang membuka pintu rumahnya untuk orang-orang muda yang tertarik pada pemikiran politiknya. Salah satunya Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo, yang pindah ke Surabaya pada 1923, selulus dari Europeesche Lagere School-sekolah dasar Eropa khusus untuk kalangan Eropa dan yang berdarah Indo-Eropa, dengan pengecualian bagi pribumi berstatus sosial tinggi.

Anak-anak pribumi yang mengenyam pendidikan elite ini diharapkan bisa menjadi tenaga pembantu jika disekolahkan ke lembaga pendidikan dokter, sekolah ahli hukum, atau sekolah pamong praja. Ayah Sekarmadji, Kartosoewirjo, menginginkan anaknya yang saat itu berusia 18 tahun ini menjadi dokter.

Dari Europeesche Lagere School di Bojonegoro, ia dikirim ke Nederlandsch Indische Artsen School atau Sekolah Dokter Hindia Belanda di Surabaya. Namun lulusan sekolah tingkat dasar sepertinya baru bisa mengikuti pelajaran kedokteran setelah lulus kelas persiapan selama tiga tahun.

Saat mengikuti kelas persiapan itulah Kartosoewirjo mulai aktif di politik. Mula-mula ia bergabung ke Jong Java. Organisasi ini pecah karena anggotanya yang lebih radikal memilih mendirikan gerakan yang tak terlalu mengagungkan tradisi Jawa dan pemikiran Barat. Mereka mendirikan Jong Islamieten Bond, yang lebih menyuarakan aspirasi Islam. Kartosoewirjo pun memilih hijrah ke organisasi baru ini.

Menurut peneliti sejarah Islam di Indonesia, Bahtiar Effendy, sikap radikal Kartosoewirjo itu memang sudah “bawaan”. “Kartosoewirjo itu kan orang Cepu,” ujarnya. “Kalau kita bicara Cepu saat itu kan abangan, bahkan kekiri-kirian.” Kartosoewirjo yang dikenal gila membaca ini terpengaruh buku-buku aliran kiri dan antikolonialisme, yang kebanyakan dia peroleh dari pamannya, Mas Marco Kartodikromo.

Marco adalah satu dari enam saudara kandung ayah Kartosoewirjo. Ia memilih profesi wartawan dan menulis di berbagai media ketika itu, bahkan beberapa kali mendirikan penerbitan sendiri. Marco sendiri sempat aktif di Sarekat Islam, tapi belakangan bergabung dengan Partai Komunis Indonesia.

Bagi pemerintah kolonial, Marco tak ubahnya duri dalam daging. Ia rajin mengkritik secara terbuka, bahkan tak ragu menyindir pejabat pemerintah, di antaranya penasihat Gubernur Jenderal Hindia Belanda Urusan Bumiputra, D.A. Rinkes.

Buku-buku Marco-lah yang membuat pemerintah Hindia Belanda mencoret nama Kartosoewirjo dari Sekolah Dokter. Ia didepak pada 1927 lantaran kedapatan memiliki bacaan komunis dan antikolonial.

Akibat “menganggur”, Kartosoewirjo malah mendapat banyak waktu luang mendengarkan pidato-pidato Haji Oemar Said Tjokroaminoto. “Saya tertarik pada pidato-pidatonya,” kata Kartosoewirjo kepada Panglima Tentara Islam Indonesia Ateng Jaelani.

Kartosoewirjo tak pernah masuk pesantren. Ia mempelajari agama secara serabutan dari kiai-kiai yang ditemuinya. Saat Sarekat Islam menggelar rapat akbar di Surabaya, Kartosoewirjo ikut serta. Bubar rapat, anggota Sarekat pergi salat, juga Kartosoewirjo. Seusai sembahyang, Kartosoewirjo mendekati Tjokroaminoto untuk menyatakan ingin menjadi murid. Ia diterima.

Kartosoewirjo kemudian mondok di rumah Tjokroaminoto. Sebagai pengganti ongkos pemondokan, Karto “diminta bekerja di surat kabar Fadjar Asia,” kata putra bungsu Kartosoewirjo, Sardjono. Kartosoewirjo juga sempat menjadi sekretaris pribadi Tjokroaminoto. “Dia berguru soal Islam dan politik kepada Tjokroaminoto,” kata Bahtiar Effendy.

Tjokroaminoto menggembleng muridnya itu di koran yang banyak menulis tema antikolonial. Awalnya, Kartosoewirjo cuma korektor. Lalu pelan-pelan dia naik pangkat menjadi redaktur, bahkan sampai ke tingkat pemimpin redaksi.

Saat mengasuh koran tersebut, Kartosoewirjo tidak cuma menulis soal kekejaman pemerintah kolonial. Ia juga membahas soal Islam dengan bahasa yang keras. Dalam artikel yang ditulisnya pada 1929, dia menyerukan agar orang Islam bersedia berkorban demi membela agama Islam.

Tak sekadar menulis, Kartosoewirjo bergabung dengan Partai Sarekat Islam, organisasi yang dibentuk Tjokroaminoto. Di partai itu, Kartosoewirjo selalu berada dalam faksi nonkooperatif.

Sampai titik ini, hidup Kartosoewirjo mirip Mas Marco, pamannya. Bedanya: Marco komunis, Kartosoewirjo mengikuti langkah Tjokroaminoto yang memilih Islam sebagai dasar perjuangan.

Pada 1929, “kursus” ilmu politik dan Islam di rumah Tjokroaminoto rampung. Kartosoewirjo ditunjuk menjadi wakil Partai Sarekat Islam Indonesia di Jawa Barat. Ia hijrah dari Surabaya ke Malangbong, Garut. Kota di Jawa Barat itu menjadi basis Kartosoewirjo dalam memimpin Darul Islam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.