JIKA masih hidup, dan diminta melukiskan situasi sekarang, Mohammad Hatta hanya akan perlu mencetak ulang tulisannya 40 tahun lalu:
"Di mana-mana orang merasa tidak puas. Pembangunan tak berjalan sebagaimana semestinya. Kemakmuran rakyat masih jauh dari cita-cita, sedangkan nilai uang makin merosot."
"Perkembangan demokrasi pun telantar karena percekcokan politik senantiasa. Pelaksanaan otonomi daerah terlalu lamban sehingga memicu pergolakan daerah. Tentara merasa tak puas dengan jalannya pemerintahan di tangan partai-partai."
Hampir tidak ada yang perlu diubah-kalimat demi kalimat, kata demi kata. Krisis politik, ekonomi, dan konstitusi. Krisis serupa yang ditulis Hatta itu kini menghantui Indonesia lagi, setengah abad setelah Megawati Sukarnoputri menyimpan boneka mainannya, Amien Rais tak lagi bermain gundu, dan Jenderal Endriartono Sutarto menukar ketapel karetnya dengan senapan M-16.
Tidak ada yang baru di kolong langit, kata orang. Sejarah adalah repetisi pengalaman-pengalaman. Tapi, jika Indonesia terperosok ke lubang hitam yang sama secara telak, mungkin karena bangsa ini tidak benar-benar belajar dari sejarah yang benar.
"Belajarlah dari sejarah". Sukarno mengatakan hal itu. Soeharto bicara yang sama. Masalahnya adalah sejarah yang mana. Sejarah, apa boleh buat, telah lama menjadi ladang perebutan ideologi dan kepentingan. Dan Hatta adalah seorang pecundang, yang kalah, dalam perebutan itu. Pada 1960-an, tulisan Hatta berjudul Demokrasi Kita itu dinyatakan sebagai bacaan terlarang. Buya Hamka, pemimpin majalah Pandji Masjarakat yang memuat tulisannya, dipenjarakan.
Sementara itu, pemerintah Orde Baru menyusutkan citranya sekadar sebagai "Bapak Koperasi"-citra sempit yang mengerdilkan keluasan pikirannya. Dan kini, di tengah perayaan 100 tahun kelahirannya, sebagian besar pikiran Hatta masih tercampak dalam buku-buku penghuni sudut sempit perpustakaan berdebu.
Tapi, makin dilupakan, pikiran Hatta makin jernih dan nyaring kedengarannya. Lihatlah bagaimana Demokrasi Kita tetap relevan setelah sekian lama. Di situ Hatta menawarkan keseimbangan menghadapi situasi resah di awal kemerdekaan.
Seperti sekarang, Indonesia setengah abad lalu menawarkan optimisme yang diwarnai euforia politik dan kebebasan. Namun, Proklamasi 1945, mirip dengan reformasi 1998, ternyata juga menjadi pembuka "kotak Pandora" seperti dikisahkan dalam mitos Yunani Kuno. Kolonialisme Belanda, idem-ditto otoritarianisme Soeharto, menyimpan terlalu lama dalam kotak segala macam penyakit sosial-ekonomi. Dan ketika dibuka, bertebaranlah aneka ragam problem yang selama ini terpendam. Dalam risalah itu dia mengkritik para politisi yang tersesat.
Hatta tidak antipartai. Bagi dia, partai adalah wujud kedaulatan rakyat. Tapi, dia mengecam para politisi yang menjadikan "partai sebagai tujuan dan negara sebagai alatnya". Demokrasi dapat berjalan baik, menurut Hatta, jika ada rasa tanggung jawab dan toleransi di kalangan pemimpin politik. Sebaliknya, kata dia, "Perkembangan politik yang berakhir dengan kekacauan, demokrasi yang berakhir dengan anarki, membuka jalan untuk lawannya: diktator."
Hatta benar adanya. Pada 1959, antara lain atas desakan militer, Sukarno mengeluarkan dekrit presiden yang membubarkan parlemen. Sukarno juga mengembalikan UUD 1945-yang kala itu tak hanya sedianya diamandemen tapi bahkan diganti-ke tempatnya semula. Tahun itu menandai dimulainya era kediktatoran yang kemudian dilestarikan Jenderal Soeharto hingga 40 tahun kemudian. Tapi Hatta mengecam semangat ultrademokratis sama kerasnya dengan dia mengkritik kediktatoran. "Diktator yang bergantung pada kewibawaan orang-seorang tidak lama umurnya" dan "akan roboh dengan sendirinya seperti rumah dari kartu".
Beberapa tahun sebelum jatuhnya Bung Karno, Hatta telah meramalkan: "sistem yang dilahirkan Sukarno itu tidak lebih panjang umurnya dari Sukarno sendiri". Dan andai saja Soeharto, yang menggantikan Sukarno setelah 1965, juga menyimak Hatta dengan lebih baik.
Hatta bukan ahli nujum. Ramalannya yang tajam bersumber dari kajian luasnya terhadap sejarah dunia. Demokrasi Kita hanya satu dari tulisan Hatta yang mengingatkan pembacanya tentang keniscayaan "hukum besi daripada sejarah dunia". Sementara Demokrasi Kita merupakan reaksi atas munculnya kediktatoran Sukarno, pandangan lebih komprehensif tentang kenegaraan muncul dalam tulisan lain tiga tahun sebelumnya. Sama ringkasnya namun tidak kalah efektif memadatkan pengalaman seorang patriot yang mengabdikan hampir seluruh hidupnya untuk Indonesia. Risalah berjudul Lampau dan Datang itu disampaikan dalam pidato penerimaan gelar doktor kehormatan dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, hanya tiga hari sebelum dia mundur dari jabatan wakil presiden yang kemudian menandai akhir cerita Dwi-Tunggal.
Ketika mengantarkan edisi Inggris pidato itu, sejarawan asal Amerika George Kahin menyebutnya sebagai "salah satu pernyataan yang paling jelas tentang aspek-aspek terpenting dari pemikiran politik dan sosial-ekonomi Hatta". Sejarawan Taufik Abdullah menyebutnya sebagai "otobiografi intelektual", yang meringkaskan perjalanan pikiran dan pengalaman Hatta sebagai seorang patriot dan negarawan.
Membaca Lampau dan Datang adalah seperti berlayar dengan mesin waktu. Kita seolah diajak dalam tamasya sejarah, untuk menyaksikan terbentuknya Indonesia. Kita juga diminta mengintip kehidupan Hatta sendiri, pengalaman dan pengamatannya terhadap dinamika politik bangsa, serta impian-impian masa depannya tentang negeri ini.
Melalui tinjauan reflektif, Hatta berkisah tentang rangsangan intelektual dan politik yang dia hadapi ketika menyaksikan bangsanya diimpit sistem eksploitasi kolonial dan pemikiran tradisional, serta membandingkannya dengan pergolakan dunia yang riuh setelah Perang Dunia I. Dia menguraikan bentuk negara yang diidam-idamkan-sebuah negeri yang tidak tergelincir "pada penekanan hak individu di satu pihak, atau penumpuan kekuasaan pada seseorang di pihak lain".
Pidato itu, menurut Taufik Abdullah, "makin meneguhkan kedudukan Hatta sebagai pemimpin yang paling terkemuka dalam usaha mencari bentuk demokrasi yang paling sesuai bagi negara nasional modern yang multietnis dan multisejarah". Lampau dan Datang, di samping Demokrasi Kita, juga menjadi jendela yang baik bagi ratusan artikel dan puluhan buku yang pernah ditulis Hatta sepanjang hayatnya.
Dia memang satu-satunya dari bapak bangsa kita yang paling banyak menulis. Jika ada jasanya yang terbesar, tak lain adalah karena itu: dia menjadi reporter yang mencatat, melaporkan, dan memberi komentar tertulis atas suksesi peristiwa-peristiwa sebelum dan sesudah kemerdekaan Indonesia.
Hatta menulis pertama kali ketika berusia 18 tahun, belum lagi dia masuk universitas. Dimuat dalam majalah Jong Sumatera, tulisan itu mengisahkan secara "otobiografis" tokoh khayali, seorang janda cantik dan kaya yang terbujuk kawin lagi. "Namaku Hindania!" tulis Hatta. "Aku dilahirkan di matahari, hidup waktu fajar lagi menyingsing, disambut oleh angin sepoi yang bertiup dari angkasa serta dinyanyikan oleh suara margasatwa yang amat merdu bunyinya."
Kisah sederhana itu akan terjatuh menjadi roman picisan seandainya Hatta bercerita tentang cinta belaka. Hindania adalah personifikasi "Indonesia". Setelah ditinggal mati suaminya, Brahmana dari Hindustan, dia bertemu seorang musafir dari Barat, Wolandia, yang kemudian mengawininya. Tapi Wolandia terlalu miskin sehingga "lebih mencintai hartaku daripada diriku" dan "menyia-nyiakan anak-anaku". Dalam kepedihan, Hindania bersyukur terjadi perubahan besar di Barat. Yakni ketika Maharaja Mars yang bengis naik takhta di "negeri maghrib", yang kebengisannya menyadarkan Wolandia untuk lebih bermuka manis.
Pada 1920, ketika Hatta menulis itu, pemerintah Belanda sedang gencar menerapkan kebijakan "politik etis", bersikap lebih manis kepada rakyat pribumi, setelah mereka mengalami sendiri pahitnya dijajah Jerman selama Perang Dunia I-perang dahsyat yang dipersonifikasikan Hatta sebagai Maharaja Mars.
Tulisan pendek itu melukiskan luasnya bacaan Hatta dan minatnya pada sastra. Dia mengutip sajak Heinrich Heine dalam bahasa Jerman. Dia juga menyebut Leo Tolstoi, Karl Marx, Bakunin, serta Dostojevsky. Hatta hanya salah satu dari sedikit pemuda kala itu yang memiliki kesadaran terhadap kebangsaan Indonesia-sebuah konsep yang masih samar-samar. Dan sejak itu, seperti ingin mengompensasi tubuhnya yang kecil, wajahnya yang dingin berkacamata tebal, serta gaya bicaranya yang membosankan, dia mencari kekuatan pada menulis.
Pena adalah senjata dia untuk memerdekakan bangsanya. Bakat menulisnya, dan timbunan bacaannya, kian meluap ketika Hatta kuliah di Negeri Belanda. Buku dan perpustakaan tetap menjadi pusat hidupnya. Tapi Hatta bukan cendekiawan di menara gading. Di jantung kekuasaan kolonial itu, dia ikut mengubah watak Indische Vereeniging, perhimpunan mahasiswa Hindia, yang semula lebih bersifat sosial, menjadi gerakan politik perlawanan.
Hatta dan teman-teman bahkan menjadi kelompok pertama pemuda yang memperkenalkan kata "Indonesia" dalam pengertian geopolitik, yakni ketika mereka mengubah nama perhimpunan itu dari Indische menjadi Indonesisch Vereeniging. Perhimpunan Indonesia menerbitkan majalah Hindia Poetra, yang belakangan juga diberi nama lebih provokatif: Indonesia Merdeka.
Hatta menulis dua artikel dalam edisi perdana majalah itu, dalam bahasa Belanda yang dipujikan. Kelak, dalam Momoir-nya yang terbit pada 1980, Hatta mengenang betapa "para profesor Leiden meragukan majalah itu ditulis seluruhnya oleh pemuda-pemuda Indonesia".
Di samping menguasai bahasa Melayu dan Belanda, Hatta sendiri fasih berbahasa Inggris, Jerman, dan Prancis, yang membuat tulisan dan pidatonya tentang gagasan kemerdekaan Indonesia memiliki gaung lebih luas secara internasional. Banyak tulisan Hatta menjadi bukti terpenting yang menggugurkan mitos di kalangan tentara bahwa militerlah yang paling berjasa memerdekakan Indonesia melalui perjuangan senjata.
Mengikuti perjuangan tanpa kekerasan ala Mahatma Gandhi, ketajaman pena Hatta dan kekuatan analisisnya justru lebih digdaya daripada tembakan salvo mana pun. Akibat tulisan-tulisannya yang tajam mengkritik pemerintah kolonial, Hatta ditahan pada 1927.
Dia tidak surut. Dari ruang penjara yang sempit, dia menulis pidato pembelaan yang nantinya akan dia bacakan selama tiga setengah jam di depan pengadilan. Judul pidato itu, Indonesia Vrij (Indonesia Merdeka), menjadi salah satu manifesto politik yang monumental. Di situlah, persis di ulu hati kekuasaan kolonial, dia menusukkan tikamannya.
Pulang ke Indonesia dengan membawa gelar sarjana, Hatta makin larut dalam kegiatan politik. Bersama Sutan Sjahrir dia mendirikan Pendidikan Nasional Indonesia-sebuah partai politik yang lebih menekankan aspek pendidikan politik dan pemberdayaan rakyat terjajah. Dia juga aktif menulis dalam majalah yang diterbitkan partainya: Daulat Ra'jat. Dan kembali, akibat tulisan-tulisannya di situ dia dibuang ke Boven Digul, Irian, sebuah wilayah pembuangan yang sering disebut sebagai Siberianya Hindia Belanda.
Tapi, dasar Hatta, dia membawa serta 16 peti buku ke tanah pengasingan. Buku-buku itu membuatnya memiliki amunisi cukup untuk meluncurkan tulisan-tembakan salvonya-ke koran-koran di Batavia maupun Den Haag. Dia memang tak bisa dibungkam. Hatta adalah orator besar seperti halnya Sukarno. Tapi bukan lewat pidato dengan suara bariton yang penuh wibawa, melainkan lewat tulisan-tulisannya yang tajam dan menggetarkan.
Setelah kemerdekaan, Hatta lebih bertindak sebagai seorang "administratur", yang mencoba menerapkan pengalaman akademisnya yang luas ke alam nyata. Dia terlibat dalam penyusunan konstitusi dan menyumbangkan beberapa pasal penting, seperti "hak berkumpul dan berserikat" dan "penguasaan negara atas sumber daya alam", yang dua-duanya mencerminkan kepeduliannya pada kedaulatan rakyat serta kehidupan ekonomi mereka.
Memenuhi sumpahnya hanya kawin setelah Indonesia merdeka, dia melamar Rachmi Rahim pada November 1945. Hatta menghadiahi calon istrinya emas kawin yang tidak akan dipikirkan orang lain: buku Alam Pikiran Yunani yang ditulisnya sendiri.
Pada awal kemerdekaan itu Hatta juga terlibat dalam pergulatan politik yang diwarnai perpecahan di kalangan pendiri negara. Terpaksa menjadi perdana menteri setelah beberapa kali kabinet jatuh-bangun, Hatta harus menghadapi soal rumit: pemberontakan Madiun, agresi Belanda, diplomasi untuk mempertahankan kedaulatan Indonesia, dan pembentukan tentara nasional.
Namun, di sela-sela kesibukannya, dia masih menulis artikel ataupun buku. Topik perhatiannya sangat luas, dari politik, koperasi dan perbankan, hingga tentang Islam dan demokrasi. Dia setidaknya dua kali menulis di Foreign Affairs, sebuah jurnal prestisius internasional tentang kebijakan luar negeri. Di situlah Hatta menyodorkan konsep politik luar negeri yang "bebas dan aktif", yang diadopsi pemerintah Indonesia hingga kini.
Ketika wafat pada 1980, Hatta meninggalkan "30 ribu judul buku" dalam perpustakaan pribadi, sebagai warisannya yang termahal. Integritas dan kesederhanaan hidup menjadikannya mutiara yang langka di antara deretan pemimpin Indonesia masa kini maupun lampau. Tapi dia lebih langka lagi sebagai negarawan yang menulis.
Dengan begitu luas sumbangannya, dan begitu bernas pikirannya, adakah cara lebih baik untuk memperingati 100 tahun kelahiran Hatta kecuali dengan membaca kembali buku-bukunya? Dengan mengikuti tamasya sejarahnya?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.