"Is Hatta Marxist?"
TAHUN 1938. Setumpuk majalah Sin Tit Po yang dipesan Mohammad Hatta tiba di Banda. Hatta terkesiap. Sebuah karangan dengan judul provokatif, Is Hatta Marxist, dimuat bersambung di edisi April dan Mei. Penulisnya: Mevrow Vodegel Sumarah. Alamatnya: Besancon, Prancis.
Artikel itu menyerang tulisan Hatta: Enige Grondtrekken van de Economische Wereldbouw ("Segi-Segi Utama Ekonomi Dunia"), yang dimuat di Sin Tit Po edisi 6, 7, 8, dan 9. Hatta yakin Mevrow Sumarah adalah nama samaran. Ia curiga sang pengarang berdomisili di Jawa. Ia lalu membalas dengan risalah berjudul Marxisme of Epigonenwijsheid? ("Marxisme atau Kearifan Sang Epigon?").
Itulah Hatta sang pemikir. Dalam pembuangan pun ia berpolemik. Bisa kita bayangkan artikel itu menumpang kapal yang tak setiap hari datang ke Banda. Dan ketika artikel setebal 23 halaman itu (tentu saja di zaman itu masih diketik dengan mesin tik) sampai ke Batavia di akhir 1938, Hatta tak tahu Sin Tit Po telah gulung tikar.
Baru pada 1940 ia mengirimnya kembali ke majalah mingguan Nationale Commentaren pimpinan dr. Ratulangi. Majalah itu kemudian memuat artikelnya di lima nomor berturut-turut. Kelak di kemudian hari, terbongkarlah bahwa ternyata sang Mevrow adalah Tan Ling Djie, seorang komunis Indonesia.
Bayangkan, sekarang saja jalur penerbangan dan kapal laut ke Banda cukup jarang dalam sepekan. Bagaimana di masa itu?
***
"Perhatian! ABK dek siap muka belakang, kapal sandar kiri! Para penumpang jangan sampai ada barang yang ketinggalan," begitu bunyi pengumuman ketika KM Bukit Siguntang yang ditumpangi TEMPO merapat. Dermaga labuh kapal yang merupakan sisa dermaga peninggalan kolonial terlihat tidak mampu menampung keseluruhan panjang kapal.
Terlihat jelas sisa-sisa dermaga baru yang ambruk ketika Gunung Berapi yang disebut penduduk Dewi Lewerani meletus pada 1988. Sebagian lainnya tenggelam dalam kedalaman Laut Banda yang kesohor itu. Sekitar 10 meter dari pelabuhan, kita dapat melihat baliho besar bergambar Bung Hatta dan Sutan Sjahrir dengan tulisan "Peringatan Satu Abad Bung Hatta".
Baliho itu terpasang di depan Sekolah Tinggi Ilmu Perikanan (STIP), satu-satunya perguruan tinggi yang dimiliki Banda. Kota yang dibangun Portugis pada 1500-an ini begitu tenang. Dapat dipahami mengapa kota ini dulu disebut "Klein Europeesch Stad" (Kota Eropa Kecil). Sisa-sisa kerapian, necis, dan teduhnya terasa.
Saat Hatta dan Sjahrir di sana, mayoritas warga adalah peranakan Eropa dan keturunan Arab yang umumnya berbicara dalam bahasa Indonesia logat Banda dengan dicampur banyak kata Belanda. Mereka menyebut roti sebagai brot, misalnya.
Kondisi Banda memang berbeda dengan Digul, yang serba susah: memiliki perumahan beratap seng dan penuh ancaman wabah penyakit malaria. Di Banda, Hatta dan Sjahrir menyewa rumah besar seorang perkenier atau pengawas perkebunan di kawasan tempat tinggal keturuan Belanda. Inilah sebuah kawasan asri dengan pohon-pohon johar yang besar dan tua di sepanjang jalan.
Di Banda inilah (11 Februari 1936-25 Maret 1938), keinginan-keinginan Hatta yang bersifat politik disegarkan kembali oleh suasana alam yang mempesona.
***
KENDATI diasingkan, kedua tokoh politik ini tidak diperlakukan sebagai tawanan, tapi selaku tamu. Mereka bisa bebas berhubungan dengan penduduk, bahkan dengan sahabat-sahabat di luar daerah. Surat-menyurat tak disensor. Mereka diperbolehkan berlangganan majalah dan koran dari Belanda dan Batavia. Suasana tenang itu membuat Hatta kembali dapat menuangkan pemikirannya secara teratur.
Kegiatan rutinnya di Banda sebagai berikut. Bangun pagi pukul lima, ia mandi, dan terus melakukan salat. Pukul 6-7 pagi, Hatta membaca-baca majalah sambil minum kopi tubruk, sarapan sepotong roti (mereka berlangganan roti kepada warga Arab setempat) dan sebutir telur mata sapi.
Sebelum sarapan, biasanya dia membangunkan Sjahrir, yang suka bangun siang. "Kalau saya tidur di rumah itu, saya dibuatkan sarapan oleh Om Hatta roti tawar berlapis mentega dan selai. Suatu hari Om Hatta bikin havermut, saya mau muntah, karena saya tak pernah makan havermut," demikian Des Alwi mengenang karena di masa kanak-kanaknya ia adalah anak angkat Sjahrir dan Hatta (lihat Hari-Hari Bersama Om Kacamata).
Dari pukul 7 hingga 8 pagi, Hatta mulai berbincang dengan Sjahrir tentang berbagai hal. Pada pukul 8 hingga 12 siang, Hatta belajar; menyusuri huruf demi hurus di antara bukunya yang tebal-tebal yang berjumlah 16 peti itu. Terkadang ia mengetik untuk mengisi surat kabar Pemandangan dan Batavia.
Yang luar biasa, ia juga memberikan bimbingan kursus tertulis ekonomi bagi para simpatisannya yang dilakukan dengan surat-menyurat. Sehari-hari ia banyak mengetik materi kursus ini. Pukul 12 hingga 1 siang ia menunaikan salat zuhur. Pukul dua hingga setengah lima adalah waktunya beristirahat. Setelah bangun, ia berjalan-jalan menyusuri kebun pala atau pantai sampai pukul 5.30 petang.
Menurut Des, baju yang dikenakan Hatta selalu rapi. Dia memiliki lemari setinggi empat tingkat yang isinya tumpukan baju sore, pagi subuh, siang, dan baju untuk tidur yang tertata rapi.
Rumah pengasingan itu kini terletak di mulut Jalan Rehatta, Desa Dwi Warna, ibu kota Kecamatan Banda, Maluku Tengah. Kini, meski meja, kursi, dan tempat tidur milik Bung Hatta masih ada, perabotan itu tampak tidak terurus. Semuanya diselimuti debu. Kacamata dan songkok milik Hatta masih berada di salah satu sudut lemari, sementara mesin ketik dan gramofon masih bisa berfungsi.
Meja, kursi panjang, dan peralatan papan tulis yang digunakan untuk kegiatan belajar anak didiknya juga masih ada. Kita dapat melihat beberapa kertas yang ditempelkan dengan sengaja yang memuat pesan-pesan si Bung.
Salah satu tulisan itu: "Suatu bantuan pembangunan harus bebas dari syarat politik apapun juga, bebas dari campur tangan asing dalam soal-soal dalam negeri bangsa yang menerima bantuan." Bahkan di papan tulis terdapat bekas tulisan tangannya. Rumah Hatta kini dijaga seorang tua bernama Decky Bahasoan.
Sjahrir, yang semula tinggal bersama di situ, akhirnya memilih tidak serumah karena keributan anak-anak angkatnya mengganggu jam belajar Hatta. Suatu kali Des pernah menumpahkan vas bunga di meja, hingga membasahi buku-buku Hatta.
"Waktu itu terjadi Sjahrir marah kepada mereka dan aku pun ikut marah. Kukatakan kepada anak-anak itu bahwa mereka harus hati-hati dan menginsafi bahwa buku-buku itu alat pengetahuan dan harus dijaga betul. Rupanya Sjahrir merasa ikut bersalah...," demikian tulis Hatta dalam memoarnya.
BAIK Hatta maupun Sjahrir tak banyak bergaul dengan keturunan Belanda setempat. Hatta dan Sjahrir setiap Sabtu malam rutin datang ke rumah dr. Tjipto Mangunkusumo dan Mr. Iwa Kusuma Sumantri, para politisi yang lebih dulu diasingkan di sana.
Di rumah Iwa Sumantri, mereka berkenalan dengan Bahalwan, seorang peranakan Arab yang mengajari Iwa Sumantri tafsir Quran dan bahasa Arab. Bahalwan pandai bercerita tentang aneka kepahlawanan Nabi.
"Sungguhpun ia belum pergi ke negara Arab ia pandai menceritakan keadaan negeri itu, se-olah-olah ia bertahun-tahun tinggal di sana," Hatta menulis dengan nada kagum.
Sjahrir agaknya tak begitu srek dengan pergaulan yang disebutnya borjuis kecil itu. Sesekali ia suka ngeluyur sendiri menemui warga Arab, ikut hadir di pesta perkawinan beradat Arab, menikmati pesta daging kambing yang diiringi pukulan rebana atau iringan musik mirip jazz.
Suatu sore Hatta bertengkar dengan Sjahrir soal keengganannya "bersilaturahmi" kepada para sesepuh ini. "Setelah bertengkar sedikit dengan Hafil (sebutan Sjahrir untuk Hatta dalam catatan hariannya: Renungan dan Perjuangan-Red.) aku tidak lagi mengunjungi lagi pertemuan-pertemuan malam minggu di rumah keluarga Soebana (sebutan Sjahrir untuk Iwa Sumantri). Hafil kelihatannya masih senang datang, tapi bagiku pertemuan-pertemuan itu seolah merupakan siksaan. Acaranya selalu sama. Ada tuan B yang gemar bercerita. Segera sesudah kami datang, mulailah ia menceritakan dongeng seribu satu malam...sambil makan kue-kue dan minum teh sampai jauh malam..waktu hilang percuma...malam tadi kubiarkan Hafil pergi sendiri...tentu mereka gusar padaku...tapi yah apa boleh buat," tutur Sjahrir melalui catatan hariannya pada 30 Mei 1936.
Bagi Sjahrir, Hatta adalah seorang puritan dalam beragama. Yang menarik, dalam surat-suratnya, Sjahrir menyebut ada perubahan sikap yang prisipiil dalam diri Hatta selama masa pembuangan di Banda. Selama ini Hatta dikenal sebagai tokoh nonkoperasi, tidak mau bekerja sama dengan Belanda. Tapi, dalam penilaian Sjahrir, Hatta sesungguhnya memiliki sifat seorang kooperator. Dalam hatinya ia masih punya kepercayaan kepada pemerintah kolonial dalam banyak hal. Ia percaya terhadap humanitas dari suatu pemerintah yang dari asalnya modern dan demokratis. Sikap ini yang berubah.
Pada suatu sore di Banda, pada 7 Maret, Sjahrir menulis, "Dulu keberatanku yang utama terhadap Hafil ialah bahwa ia begitu naif. Meski acap kali dikatakan orang bahwa ia wakil yang paling militan dari kaum non-kooperator, dalam hatinya ia sebenarnya tidak pernah lain dari seorang `kooperator', artinya se-orang oposisi loyal secara moral. Dasar pikiran-pikiran politik sesungguhnya adalah kepercayaan pada kemungkinan kehidupan politik yang demokratis dalam suasana kolonial."
Sjahrir melanjutkan menulis, "Sekarang ia tidak akan bisa lagi begitu militan seperti sebelum diasingkan, tapi pengasingannya ini juga telah membuat sifat `kooperatornya' dulu itu sekarang jauh lebih kurang daripada dulu, dalam arti bahwa sekarang ia lebih pahit perasaannya daripada ketika ia masih menjadi non-kooperator yang sengit. Hafil sungguh-sunggguh jadi terbuka matanya; ia lebih banyak belajar dari kejadian-ke-jadian ini daripada hidup berpolitik di Eropa selama beberapa tahun...."
Saat Jerman akan menyerang daratan Eropa, Jepang merancang penyerbuan Asia Pasifik. Hatta dan Sjahrir mengetahuinya dari radio. Pertama kali yang memiliki radio di Banda adalah seorang warga keturunan Cina bernama Ho Kok Chai.
Sikap Sjahrir terhadap Jepang sudah jelas. Ia menganggap adanya unsur fasisme. Seusai masa Banda, Sjahrir konsisten dengan hal itu, memimpin gerakan bawah tanah di seluruh Jawa untuk menentang Jepang, sementara sikap Hatta -dibanding dengan Sjahrir-lebih "lunak" terhadap Jepang. Di Banda, Sjahrir sudah merasakan kecenderungan Hatta itu.
"Hafil pun mula-mula hingga belum beberapa ini masih mempunyai perasaan-perasaan simpati terhadap Jepang; orang-orang nasionalis di Jawa pun demikian pula, meskipun mereka sekarang tidak berani lagi terang-terangan mengatakannya," tulis Sjahrir, 19 Agustus 1937.
***
APABILA kita berdiri di muka Benteng Belgica, sebuah benteng yang dibangun pada 1611 itu, kita akan melihat rumah-rumah penduduk dan semua pulau kecil yang mengelilingi Kota Banda Neira. Di sana, kita bisa membayangkan sosok Hatta dan Sjahrir berjalan mendaki bukit dan menatap jauh ke laut lepas, menerawang ke masa depan bangsanya.
Banda menyimpan taman laut yang elok, lorong-lorong rahasia berlumut antarbenteng, pintu-pintu rumah tempo dulu, selokan-selokan yang diberi nama Admiral Spunt, Zeelandia, Delft, dan Rotterdam, inskripsi-inskripsi huruf besi.... Hatta tampak dingin, tak sentimental. Tak sepatah kata pun dalam memoarnya yang menyatakan keterpukauannya kepada gelora alam.
Sebaliknya, Sjahrir misalnya menulis, "... Pantai-pantai di sini lebih bagus daripada pantai-pantai di Belanda karena di sini tumbuh pohon-pohon rindang di tepi laut. Kadang-kadang aku pergi ke dermaga lama untuk melihat matahari terbenam. Di depanku terbentang teluk yang indah, laksana kaca licinnya...."
Tapi sesungguhnya Hatta adalah orang yang suka bernostalgia dan romantis. Ia pernah kecewa ketika pada 1973, tujuh tahun setelah kematian Sjahrir, ia bersama keluarga mengunjungi Banda. Banyak bangunan lama yang rusak. Oknum setempat memereteli jendela dan pintu rumah-rumah kuno.
Andai Hatta masih hidup, entah bagaimana perasaan Hatta melihat Banda kini. Seperti yang dikatakan tokoh masyarakat Banda, Haji Thalib, 70 tahun, kini pemerintah (baik daerah maupun pusat) kurang begitu peduli akan nasib rumah pengasingan Hatta.
Setelah kerusuhan menimpa Maluku, tampaknya pemerintah tak lagi mengucurkan biaya untuk juru jaga. Padahal merekalah yang merawat semua peninggalan Bung Hatta serta melayani para tamu asing ataupun warga Indonesia sendiri.
Kerusuhan juga membuat Banda -pulau yang tenang, toleran, dan warganya saling berasimilasi- kembali bersinggungan dengan sesuatu yang dibenci Hatta: kekerasan dan darah.
Suatu hari, secara kebetulan TEMPO bertemu dengan Pungky van den Broeke, keturunan ke-12 fam Van den Broeke di Banda. Seluruh keluarganya tewas dibantai tetangganya.
Sore itu, Selasa, 20 April 1999, sekitar pukul 5, massa yang memanfaatkan isu agama menyerang, membakar rumahnya, membantai istri, ibu, tante, dan kedua anak Pungky, serta berusaha merebut perkebunan palanya.
"Saya selamat, menggali pasir di pantai, menutupi seluruh tubuh saya dengan pasir, kecuali hidung saya, dan dengan daun. Para pembunuh itu lari di atas tubuh saya," katanya kepada TEMPO.
ENAM PULUH EMPAT tahun silam, di Banda, dalam rangka kursus, Hatta menulis risalah tentang teori Marx. Kritiknya terhadap Marx: Marx tak memperhitungkan munculnya banyak faktor irasionalitas dalam masyarakat. Buruh yang dibelanya, dalam kasus Jerman, malah mendukung fasisme dan menindas kelas mereka sendiri. Irasionalitas memang ada di mana-mana.
Andai Hatta masih hidup, tentunya ia akan menangis melihat darah -akibat tindakan irasional-di pasir Banda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.