KABAR itu menyengat Hatta dan membuatnya marah besar: Sukarno memutuskan menikahi Hartini. Ia tak dapat menerima sikap sahabatnya menduakan Fatmawati dan membuatnya "digantung tidak bertali". Hatta, kata penulis Mohammad Hatta: Biografi Politik, Deliar Noer, memang amat menghormati Fatmawati, tak hanya sebagai istri Sukarno tapi juga sebagai ibu negara.
Begitu marahnya Hatta kepada Hartini sehingga untuk waktu yang lama Hatta menolak menemui istri kedua Sukarno itu. Jika pada suatu acara Hartini hadir, Hatta buru-buru menghindar. Kalau Hartini ada di ruang VIP, Hatta beralih ke bilik lain. Bertahun-tahun mereka tak bercakap-cakap, hingga kematian Bung Karno kembali mencairkan hubungan keduanya. Begitulah Hatta. Berbeda dengan sahabatnya, yang bak Casanova, Hatta seperti kata Deliar adalah seorang puritein.
Di kalangan teman-temannya, Hatta dikenal tak pernah menunjukkan ketertarikan pada perempuan. Suatu ketika para sahabatnya di Belanda yang penasaran menjebaknya: mereka mengatur kencan dengan seorang gadis Polandia yang "menggetarkan lelaki mana pun". Tentu saja, si gadis telah dipesan agar menggoda Hatta dengan segala cara. Apa yang terjadi? Malam itu di kafe yang romantis mereka cuma makan malam, lalu berpisah. Ketika ditanya kenapa rayuannya gagal total, si gadis berkata putus asa, "Sama sekali tak mempan. Dia ini pendeta, bukan laki-laki."
Tak cuma soal wanita, dalam banyak hal perbedaan dua tokoh yang dikenal sebagai Dwitunggal ini memang sejauh bumi dan langit. Keduanya sering tak sejalur dalam pandangan politik ataupun cara perjuangan. Menurut sejarawan Ong Hok Ham, ini karena mereka dibentuk oleh pengalaman yang berbeda. Tak seperti Hatta, Sukarno tak pernah tinggal lama di luar negeri. Sukarno tumbuh, beraksi sendiri, tak pernah dikelilingi orang-orang setara. Sedangkan Hatta, seperti juga Sjahrir, lama mendalami struktur kepartaian di Belanda dan dikelilingi kawan seperjuangan yang sama inteleknya. Perbedaan itu, menurut Mavis Rose dalam bukunya Indonesia Merdeka: Biografi Politik Mohammad Hatta, telah tampak pada periode 1920-an.
Sukarno dan kelompok studi umum kerap berseberangan pendapat dengan kelompok eks Perhimpunan Indonesia Belanda, tempat Hatta terhimpun di dalamnya, terutama soal konsep pembentukan partai dan keanggotaannya. Sukarno lebih suka cara-cara penggalangan kekuatan massa, sedangkan Hatta-Sjahrir percaya pendidikan dan kaderisasilah yang harus diutamakan. Bagaimana mereka memandang persatuan, menurut John Ingleson (Jalan ke Pengasingan), juga kontras. Hatta tak dapat menerima pendirian Sukarno bahwa semua pokok pertengkaran partai harus disingkirkan. Hatta yakin partai-partai nasionalis justru akan menjadi kuat dengan saling bersaing dalam ide dan program. Yang diperlukan menurut Hatta bukanlah persatuan organisasi sebagaimana dikehendaki Sukarno, melainkan persatuan seluruh kaum nasionalis dalam tekad memaksakan kemerdekaan dari Belanda.
Melalui tulisannya, Persatuan Ditjari, Per-sate-an Jang Ada, di harian Daulat Ra'jat pada 1932, Hatta mengkritik persatuan model Sukarno, "Apa yang dikatakan persatuan sebenarnya tak lain dari per-sate-an. Daging kerbau, daging sapi, dan daging kambing disate jadi satu. Persatuan segala golongan ini sama artinya dengan mengorbankan asas masing-masing." Kian lama, pertentangan keduanya kian sulit terjembatani. Dan perpecahan Dwitunggal pun menjadi kenyataan ketika Sukarno menolak mengesahkan Maklumat X. Ini dekrit yang diteken Hatta pada November 1945 untuk meletakkan sistem multipartai dan demokrasi parlementer. Ide ini tak pernah disukai Sukarno, yang berpandangan jumlah partai perlu dibatasi agar mudah dikendalikan. Pada 1950-an, ketika perkelahian antarpartai mulai menjengkelkan publik, Sukarno mulai menyerang Hatta secara terbuka, "Terima kasih, Tuhan, bukan Sukarno yang menandatangani dekrit itu." Puncaknya terjadi pada 1956, ketika Sukarno mencanangkan Demokrasi Terpimpin dan berseru, "Marilah sekarang kita kubur semua partai." Hatta, yang kecewa, menyerang balik.
Dalam tulisannya, Demokrasi Kita, ia mengecam bahwa konsepsi Sukarno tak lain sebagai kediktatoran. Perpecahan pun tak dapat dielakkan. Dwitunggal telah menjadi "Dwitanggal", kata wartawan Mochtar Lubis. Pada 20 Juli 1956, Hatta melayangkan sepucuk surat ke Dewan Perwakilan Rakyat. Isinya, "... Setelah DPR yang dipilih rakyat mulai bekerja dan Konstituante menurut pilihan rakyat sudah tersusun, sudah tiba waktunya bagi saya untuk mengundurkan diri sebagai wakil presiden." Tak lagi di orbit pemerintahan tak menyurutkan kritik Hatta terhadap Sukarno.
Melihat banyak yang kian tak beres dalam pengelolaan negara, Hatta menggugatnya di forum-forum publik dan lewat tulisannya di koran-koran. Beberapa di antaranya bahkan sedemikian kerasnya seperti yang berikut ini: "Dalam jangka waktu lama, Indonesia hidup dalam bayangan feodalisme. Tetapi neofeodalisme Sukarno lebih jahat dan lebih ganas." Sukarno rupanya tak tahan dikecam. Pada 1960 sejumlah surat kabar dibredel. Pikiran Rakjat, koran yang konsisten memublikasikan artikel Hatta, dipaksa tak lagi memuatnya. Majalah Islam Pandji Masyarakat, yang pertama kali memuat Demokrasi Kita, juga dilarang terbit. Redaksinya bahkan dibui. Khawatir kritiknya di muka umum menyusahkan orang lain, Hatta mencari jalan lain: ia menyampaikan pandangannya melalui surat pribadi.
Dengan kalimat lugas, seperti dicatat Mochtar Lubis, Hatta melontarkan kritiknya langsung menuju pokok sasaran. Ini dilakukan pada kurun 1957-1965, sebuah masa ketika Sukarno telah memusatkan semua kekuasaan ke tangannya sendiri sebagai presiden seumur hidup: Pemimpin Besar Revolusi Indonesia, Petani Agung, Nelayan Agung, dan banyak lainnya.
Salah satunya, dalam surat tanggal 12 September 1957, dengan tegas Hatta mengingatkan Sukarno akan niatnya menggunakan tangan besi mengatasi pergolakan di daerah: "Bung Karno, ... seterusnya terpikir oleh saya, apakah Saudara ingin mengadakan suatu diktatur militer ... Dan yakinkah Saudara bahwa diktatur semacam itu dapat meliputi seluruh Indonesia yang terbagi-bagi atas sekian banyak pulau? Berhubung dengan itu saya sebagai seorang saudara memperingatkan bahwa Saudara dengan cita-cita semacam itu berada dalam jalan yang berbahaya yang akhirnya merugikan kepada Saudara sendiri." Sukarno jelas menyimpan segan terhadap Hatta.
Dalam tanggapannya terhadap surat Hatta, ia hampir tak pernah membantah. Paling banter, Bung Karno mengucapkan terima kasih atau sesekali menanyakan kapan mereka bisa bertemu untuk membahasnya. Di luar segala perbedaan tajam itu, Rose mencatat Hatta dan Sukarno sebagai sahabat tak terpisahkan. Suatu hari di tahun 1970, putra sulung Sukarno, Guntur, kebingungan mencari wali nikah karena sang ayah tak dapat menghadiri perkawinannya. Tanpa ragu Bung Karno menyebut nama Hatta. Kaget mendengarnya, Guntur bertanya, "Bapak yakin Pak Hatta mau?" Hatta, kata Sukarno, bisa mencaci-maki dirinya tentang pelbagai kebijakan politik, tapi dalam kehidupan pribadi mereka terikat persaudaraan selama perjuangan kemerdekaan. Mereka seperti saudara kandung. Sukarno benar. Begitu diminta, Hatta langsung menyatakan kesediaannya.
Pertemanan keduanya bahkan langgeng sampai ajal menjemput Sukarno. Bulan Juni 1970, Bung Karno yang sakit parah diopname di rumah sakit tentara. Merasa sahabatnya tak tertolong lagi, Hatta minta izin membesuk. Dan itulah pertemuan terakhir mereka. Jumat, 19 Juni 1970, tiba-tiba mata di wajah Sukarno yang bengkak dan pucat terbuka.
"Hatta, kamu di sini," katanya terkejut. Meutia, anak Hatta, ingat bahwa ayahnya lalu menyalami orang yang selalu dikritiknya itu dengan hangat, "Ah, apa kabarmu, No?" Hatta duduk diam, menggenggam tangan sahabatnya. Air mata berlelehan di pipi Sukarno. Tangannya mencari-cari kacamata agar bisa melihat Hatta lebih jelas.
Meutia mengenang, "Meskipun tak ada pembicaraan lebih lanjut, seolah-olah keduanya saling berbicara melalui hati masing-masing, seakan-akan keduanya mengingat jatuh-bangun mereka dalam perjuangan bersama di masa lampau. Mungkin saling meminta maaf." Ketika tiba saatnya berpisah, Hatta sulit melepaskan tangan Bung Karno. Dua hari kemudian, Sukarno meninggal dunia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.