PONDOK kayu beratap seng itu telah roboh, tiada bekasnya lagi. Dari reruntuhan batu fondasi kini tumbuh kampung kecil, agak minggir ke utara kota.
Tak berbeda dengan kampung-kampung lain di Tanah Merah, kumpulan rumah di Sokanggo itu berkelompok bagai sarang lebah, dipisahkan belukar tak terurus atau lorong-lorong ke arah kali. Sedikit di luar kampung, angin seperti mendesis, matahari berkilau pada sungai besar yang airnya kini kecokelatan. Udara terasa lembut dan segar.
Mestinya semanis itu pula enam atau tujuh puluh tahun lalu ketika tempat ini menjadi salah satu pusat perhatian dunia. Agak di kejauhan, asap membubung dari atap rimba-gelap yang dibakar...
Di tempat itulah, dulu, setiap sore selepas asar, Mohammad Hatta menanam sayur atau belajar bertukang, ditemani es jeruk lemon kesukaannya. Di kampung itu pula, mungkin di sebuah pojok yang kini dijejali kandang ayam, tokoh pergerakan Indonesia ini menghabiskan waktunya dengan melahap buku-buku filsafat, menggali kembali pelajarannya sebagai mahasiswa di Belanda, sekaligus mengusir kebosanan yang mematikan.
Inilah Digul atau Tanah Merah, nama yang pada zamannya menyebarkan horor yang menggentarkan. Dataran terpencil di udik Papua itu dibangun penguasa Hindia Belanda, Gubernur Jenderal De Graeff, pada awal 1927, sebagai tempat buangan tahanan politik, yang dikurung rimba dan paya-paya kaya nyamuk.
"Dunia" terdekat yang bisa dijangkau dari Digul kala itu hanyalah Tual -kota pelabuhan kecil di Maluku-yang membutuhkan 50 jam pelayaran dengan kapal motor.
Kalau mau melarikan diri, pilihan terbaik yang lain adalah Kepulauan Thursday, Australia. Tapi untuk itu orang harus menghilir 455 kilometer sepanjang Sungai Digul yang penuh buaya, lalu melintasi Selat Torres yang terkenal buas. Kalaupun berhasil, besar kemungkinan mereka akan ditangkap polisi Australia untuk dikembalikan ke Digul.
Guru sejarah Universitas Kyoto, peneliti pergerakan komunisme di Indonesia, Takashi Shiraishi, punya data, dari 17 percobaan pelarian, hanya satu yang lolos, kelompok yang dipimpin tokoh pergerakan dari Solo bernama Sanjoyo. Bagai Papillon yang kabur dari penjara Guyana, anak buah Dr. Tjipto Mangunkusumo di National Indische Partij itu kabarnya berhasil menjadi tukang cukur di Negeri Kanguru.
Begitu seramnya Digul, publik Belanda menyebut tempat interniran di tanah jajahan itu sebagai kuburan. Sekali didigulkan, orang seperti menandatangani kontrak kematian.
"Persediaan pangan amat terbatas karena lokasinya sukar dicapai," begitu wartawan Van Blankenstein menulis setelah mengunjungi sumber horor tak berkesudahan itu.
"Kami menemukan satu pondok kecil beratap seng tanpa dinding, dijejali 14 orang," ujarnya, "Di mana-mana genangan air. Tak dapat disangkal, tempat ini merupakan neraka."
Ternyata bukan cuma Van Blankenstein, tapi juga bahkan Hatta, seorang muslim taat yang berpendirian "di atas segala lapangan tanah air, aku hidup, aku gembira" itu, menyebut Digul sebagai "neraka dunia".
Tokoh yang tak pernah mengeluh ini memang tak merinci bagaimana kerasnya neraka itu. Ia hanya selalu berpesan agar teman-teman sepembuangan tetap waras, baik pikiran maupun perasaan, agar bisa bertahan.
Sesungguhnya, secara fisik Digul tak tampak sebagai kamp kerja paksa yang digerakkan oleh lecutan pecut atau letusan pistol. Tak ada penjaga yang mencangklong senapan mesin. Tidak ada anjing pelacak, tidak ada juga lampu sorot. Bahkan pagar tembok pun tak ada. Jika ada kawat berduri, tempatnya bukan di kamp, melainkan di tangsi militer tempat para penjaga tinggal. Pagar itu bukan untuk mencegah tawanan melarikan diri, tapi kata Shiraishi, "Untuk melindungi tentara dari 'godaan' tawanan."
Jauh dari bayangan ruangan penjara yang terkungkung dan terjaga, Digul justru mirip "resor" terpencil untuk menyepi. Selain ada rumah sakit, masjid, gereja, dan sekolah, tanah buangan ini diramaikan toko Cina yang menyediakan kebutuhan hidup, gedung bioskop, klub-klub musik, bahkan "bar".
Tempat minum itu terletak di pusat kota, dalam bangunan raksasa yang diberi nama Pesangrahan. Di wisma inilah kepala kamp dan para pejabat Belanda menjamu tamu-tamunya minum-minum atau menggelar pesta dansa. Hatta dan tokoh pergerakan Sjahrir yang keranjingan dansa itu kerap diundang ke tempat ini, hampir saban akhir pekan.
Dalam hal perlakuan para sipir, Digul juga tidak mirip Kepulauan Gulag di Rusia. Di Tanah Merah tak ada borgol. Justru sebaliknya, begitu memasuki tempat buangan, para tawanan mendapat "kebebasan" bergerak dan mengambil keputusan, mirip orang merdeka. Mereka bahkan boleh membawa keluarga.
Maskun dan Murwoto, yang ikut dibuang bersama Hatta, misalnya, berangkat ke pengasingan bersama istri dan anak. Boleh jadi, kalau ada orang seperti Bob Hasan (yang kini menjadi pengusaha di Penjara Nusakambangan) waktu itu, mungkin Digul akan menjadi pusat industri pengolahan nanas dan jeruk peras, yang memang cocok di dataran kaya hujan ini.
Di Digul, para tawanan juga bebas memilih, apakah mau sekadar hidup dari ransum beras dan ikan asin yang dibagikan atau mencari tambahan dengan bekerja pada proyek pemerintah: menggali parit, membantu pekerjaan di rumah sakit, kantor telegraf, atau kantor sentral listrik, atau menjadi pegawai dermaga. Dengan keras Hatta tentu saja menolak pilihan kerja sama ini. Tapi ia minta para tawanan tak menjauhi Murwoto, yang menerima tawaran tersebut.
Hatta juga membela Sjahrir ketika kawan karibnya ini terpaksa menerima bantuan biaya pos 7,5 gulden sebulan, "Untuk korespondensi dengan istrinya di Belanda." Beberapa tawanan menerima tawaran itu, bukan cuma karena bisa menambah penghasilan, tapi juga sekadar menghidupkan harapan agar bisa pulang.
Dan betul, pada 1930-1931, beberapa tahanan yang mau bekerja sama dibebaskan. Agaknya, di situlah letak neraka Digul: kebosanan, ketidaktahuan, dan tiadanya kepastian. Makanan dan kebutuhan hidup katanya dijamin, tapi mirip dengan gambaran Alexander Solzhenitsyn dalam The Gulag Archipelago, tak seorang pun tahu apa yang dibolehkan, apa yang dibutuhkan, apakah bisa kembali pulang, dan kalaupun bisa, kapankah itu.
Di Digul, pertanyaan serupa tak berjawab. Masa depan sama sekali gelap. Tak pernah tercatat dengan pasti berapa banyak korban kubangan kebosanan ini. Tapi, kata Shiraishi, "Banyak yang hancur mentalnya karena putus asa." Yang bisa dilakukan hanyalah menjaga kesadaran agar tidak gila, agar tak terbunuh rasa bosan.
Dalam Lima Belas Tahun Digul, tokoh komunis Chalid Salim menceritakan bagaimana ia mencoba mempertahankan kewarasan dengan mencari-cari kesibukan. Adik kandung tokoh pergerakan Agus Salim itu saban hari berkutat dengan hobinya memburu nyamuk. Kesenangan ini menyita pikiran dan kerinduannya pada gagasan yang semula selalu menggedor hatinya: pulang kampung.
Akhirnya, Chalid termasuk satu dari sedikit orang yang selamat dievakuasi dari Digul ketika kamp ini ditutup sebelum serbuan Jepang, 1942. Hatta sendiri mencoba menghancurkan kebosanan dengan membaca saban sore, mengajarkan ilmu ekonomi dan filsafat dua kali sepekan, serta menulis kolom untuk surat kabar Pemandangan sebulan sekali.
Sjahrir, raja pesta yang periang itu, mengakalinya dengan gentayangan keliling kamp, menyambangi rumah tawanan yang lain.
Hatta memang menyiapkan dirinya hidup 10 tahun di tanah buangan. Tapi untunglah, setelah 10 bulan terbenam di Digul, keduanya dipindahkan ke tempat yang lebih layak yang memang disiapkan untuk tokoh-tokoh intelektual.
Suatu pagi di bulan Desember 1935, di atas kapal putih Fomalhout, Bung Hatta dan Sjahrir melambaikan tangan kepada ratusan pengantarnya di Dermaga Digul. Lambaian itu membawa keduanya menuju Banda Neira dan meninggalkan penjara tanpa batas, Tanah Merah.
Tujuh tahun kemudian, pada awal Perang Dunia Kedua, demi ambisi menjaga citra sebagai negara demokratis dan karena tekanan beban finansial, pemerintah Belanda menutup Digul dan mengungsikan tawanannya ke Australia.
Kini penjara tanpa masa depan itu menjadi ibu kota Kecamatan Mondobo, Merauke. Beberapa bangunan penting di zaman Digul masih berdiri meskipun banyak berubah bentuk dan fungsinya. Pesangrahan tempat dansa kini telah menjadi markas Yonif Linud Masariku Pattimura. Toko Cina berubah fungsi menjadi Gudang Kecamatan Mondobo. Gereja dan alun-alun masih sama seperti dulu. Sedangkan rumah sakit yang berada di tepian kali kini tak terpakai lagi.
"Tak lama lagi mungkin bakal hanyut," kata seorang pegawai kecamatan. Zaman berganti, dunia banyak berubah, begitu juga di Tanah Merah. Matahari memang masih berkilau di atas Sungai Digul, tapi pekikan kakaktua dari gelap rimba sudah jarang terdengar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.