SELEMBAR kertas itu sudah tampak lusuh. Tertempel pada sebuah bingkai kayu, dia digantung pada dinding sebuah kamar. Ada goresan tulisan tangan di situ, bunyinya antara lain: "Pemimpin berarti suri tauladan dalam segala perbuatannya.."
Nyaris tak ada yang istimewa kecuali jika pembaca melihat lebih teliti di bagian akhir deretan kalimat yang menunjukkan tanda tangan si penulis: Mohammad Hatta. Coretan tangan Hatta bertanggal 2 Juli 1949, dua hari sebelum dia meninggalkan rumah bersejarah itu.
Rumah itu terletak di Gunung Menumbing, dekat Mentok, Pulau Bangka. Di atas ketinggian sekitar 433 meter dari permukaan air laut, pemandangan di situ sangat indah. Hawanya sejuk. Hutan di sekeliling kaki gunung tampak hijau perawan. Bahkan sampai sekarang kawasan itu menjadi salah satu tempat ideal untuk tetirah dan berlibur.
Hatta tidak berlibur. Pada Desember 1948, Belanda menyerbu Yogyakarta, ibu kota Republik Indonesia kala itu. Pasukan Kompeni, yang tidak mengakui kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, menangkap Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Hatta.
Bersama sejumlah menteri, Hatta kemudian dibuang ke Bangka, sementara Sukarno dikirim ke Parapat, Sumatera Utara. Belakangan, Sukarno pun dikirim ke Bangka, bergabung bersama Hatta, dikurung dalam rumah yang sempat dikelilingi pagar kawat berduri.
Enam bulan lamanya mereka berdiam di Bangka. Jejak-jejaknya mudah ditemukan. Secara fisik, kehadiran mereka kasatmata dengan berdirinya monumen duet Proklamator di tengah Kota Mentok, sekitar 12 kilometer dari rumah di pucuk gunung itu.
Namun, sayang, rumah itu sendiri justru telah kehilangan nilai sejarahnya. Ketika dihuni Hatta dan kawan-kawan, rumah peristirahatan itu milik perusahaan timah, Bangka Tin Winning Bedrijf (BTW). Kini, bukannya dikelola sebagai peninggalan bersejarah milik negara, kompleks bangunan itu telah beralih rupa menjadi hotel dan restoran bernama Jati Menumbing.
Karameta Group, perusahaan swasta lokal, mengantongi hak pengelolaan dari pemerintah daerah sejak dua tahun lalu. Pertimbangan komersial dan renovasi bangunan oleh pengelola inilah yang kemudian mengubur imaji warga setempat atau pengunjung Gunung Menumbing terhadap sosok Hatta.
Padahal di lantai bawah gedung itu terdapat ruang pertemuan seluas 5 x 6 meter. Di kamar inilah Hatta menghabiskan sepuluh hari pertamanya di Bangka sebagai tahanan. Tak jauh dari ruangan itu tergeletak bodi mobil Ford hitam bernomor polisi BN 10. Itulah tunggangan resmi Hatta selama menjalani pengasingannya di Bangka -setelah Belanda akhirnya meruntuhkan pagar berduri karena protes Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Jangan bermimpi mencicipi keunggulan mesin mobil itu sekarang. Sedan itu tinggal kerangka saja. Di samping lembar kertas berbingkai itu memang masih dipajang foto-foto Hatta dan Sukarno. Mereka dijepret ketika tengah bercengkerama, membaca buku, atau asyik menikmati pemandangan pantai berpasir putih bersih yang terletak jauh di bawah kaki gunung. Pengunjung museum sederhana ini juga bisa menemukan ruang tamu.
Di dalamnya terdapat beberapa meja kayu. Beberapa lembar uang kuno senilai Rp 1 sen, Rp 2,5 hingga Rp 100 menjadi pajangan penghias kamar. Yah, di dalam kamar ini pula tertempel berbagai foto Hatta dan Sukarno yang terpampang dalam tiga bingkai besar dari kayu berukuran sekitar 1,5 meter persegi. Berbagai kenangan terhadap Hatta itu umumnya terdapat di lantai bawah. Lantai atas gedung kini telah disulap menjadi 30 kamar hotel. Tarif per malamnya mencapai Rp 150 ribu-Rp 250 ribu. Pemandangan lepas ke arah pantai, yang dulu biasa memanjakan mata Hatta dan rekan-rekannya, kini terasa kian langka karena terhalang oleh dinding restoran yang berdiri tegak di depannya.
Tak hanya pemandangan langsung ke laut lepas yang langka. Upaya mencari para saksi mata untuk menceritakan kehadiran Hatta di Bangka juga bak mencari jarum dalam tumpukan jerami. Salah satu di antara mereka yang masih hidup, M. Isa Djamaluddin, 84 tahun, misalnya, ternyata sudah pikun sehingga susah untuk berkomunikasi dengan orang lain.
Warga di Kampung Tandjung, Mentok, mengenal Isa sebagai asisten mendiang fotografer Raden Pandji. Ketika Bung Hatta tinggal di Bangka, Raden Pandji dan mendiang juru potret, Zulkarnaen, kerap mengabadikan ke-giatan Hatta selama di Bangka.
Banyak kisah hanya bisa ditelusuri lewat tangan kedua. Misalnya dari Affan Alwi, keponakan Zulkarnaen yang kini telah berusia 68 tahun. Ketika berusia 15 tahun, dia mendengar cerita bagaimana pamannya "berburu" Hatta.
Pada 22 Desember 1948, menurut Affan, Zulkarnaen melihat Hatta dalam sebuah mobil Ford bernomor polisi BN 10 melaju dari arah Kota Pangkalpinang menuju Kota Mentok. "Tanda tanya bergayut di benaknya dan nalurinya sebagai fotografer bekerja," kata Affan. Sebab, Zulkarnaen melihat Wakil Presiden dan sejumlah tokoh nasional lain berada dalam pengawalan pasukan khusus Belanda, Corps Speciale Troepen. Padahal Indonesia telah menyatakan merdeka tiga tahun sebelumnya. Rasa penasaran Zulkarnaen baru terjawab pada malam harinya.
Bersama seorang wedana setempat, K.Z. Abidin, juru potret ini melaju ke puncak Gunung Menumbing dan bersua dengan Hatta untuk kemudian ikut berfoto bersama. "Paman sempat teriak merdeka dan Bung Hatta segera memeluknya," kenang Affan. Teriakan Zulkarnaen, barangkali, mewakili perasaan sejumlah warga Bangka yang pada malam itu juga berdatangan ke puncak gunung, ingin bertemu Hatta.
Deliar Noer, penulis Mohammad Hatta: Biografi Politik, mencatat bagaimana rakyat setempat memberikan penghormatan besar kepada Hatta dan para tokoh yang ditahan di Bangka. "Sampai-sampai, dalam berbelanja di pasar, para penjual tidak mau menerima pembayarannya." Penilaian Deliar tidak salah alamat.
Tak mengherankan apabila, dalam kacamata Hatta, warga Bangka, sebagaimana tertulis di Memoir-nya, "sudah menjadi rakyat Republik Indonesia." Walau jarang turun gunung, Hatta senantiasa bermurah hati menularkan pengetahuannya kepada warga setempat. Misalnya, dalam menekankan pentingnya pendirian koperasi bagi kesejahteraan warga.
Ajakan ini tak bosan-bosannya Hatta sampaikan dalam berbagai kesempatan. Putra mendiang Wedana Bangka, K. Rusdi Abidin, mencatat kegigihan "Bapak Koperasi" ini mengajarkan semangat koperasi melalui ceramahnya di sekolah atau dalam peringatan-peringatan hari nasional di Mentok.
Selain mengunjungi penduduk, aktivitas favorit Hatta di Gunung Menumbing tidak berbeda dengan di tempat-tempat lain: membaca buku. Tak jarang Hatta juga mengisi waktu luangnya di pengasingan dengan bermain catur atau bridge. Kegiatan ini umumnya berakhir menjelang pukul 21.00 karena Hatta akan menyudahi permainan dan meminta rekan-rekannya masuk ke ruang tidur.
Kedisiplinan Hatta terhadap waktu dan aktivitas yang serba teratur membuat Zulkarnaen dan Raden Pandji tak habis pikir. Suatu ketika seorang wartawan asing datang untuk mewawancarainya. Hatta membukakan pintu dan hanya mempersilakan si tamu menunggu. Alasannya sederhana saja: si pemburu berita tiba pada pukul 12.30 alias setengah jam lebih awal dari waktu yang mereka sepakati.
Serba teratur, sederhana, dan tak segan memberikan teladan. Begitulah sosok Hatta yang terekam dari cerita warga Bangka yang pernah bertemu dengannya. Walau menerima mobil dinas Ford, bekal sepuluh gulden per hari, dan bahan bakar gratis, Hatta tak serta-merta mengisi hari-harinya dengan pergi ke berbagai tempat wisata atau pelesiran.
Aktivitas turun gunung Hatta lebih meningkat ketika Bung Karno dan K.H. Agus Salim turut dipindahkan dari Parapat ke Bangka pada 5 Februari 1949. Dua karib Hatta dalam perjuangan ini ditempatkan di Wisma Ranggam, yang terletak di kaki gunung. Sayang, hingga kini rumah yang pernah ditempati presiden pertama Indonesia itu tak terawat. Bangunan yang berdiri di atas lahan seluas 1.000 meter persegi tersebut nyaris ambruk.
Semua daun pintu dan jendela dari 16 ruangan di situ telah lenyap. Sebaliknya, hanya bau kurang sedap dan sarang tikus yang tersisa di segala sudut bangunan. Dibanding bangunan itu, kompleks tempat Hatta dulu diasingkan memang lebih beruntung.
Kendati begitu, akses menuju tempat tersebut masih terbatas. Jalan tanah baru berubah menjadi aspal setahun silam. Belum ada kendaraan umum yang melayani jalur dari Kota Mentok hingga ke puncak.
Jika ingin menengok "Hatta", orang mesti menyewa ojek atau mobil carteran. Toh, batasan ini tak menghalangi warga Bangka untuk menyusuri jejak-jejak Hatta. Bagi Affan, Alamsyah, ataupun Abidin, warisan semangat dan teladan Hatta yang terpatri di kampung halaman mereka sejak separuh abad lebih bakal terus bersinar dari puncak Gunung Menumbing. Bak gugusan bintang yang tidak kenal lelah menerangi malam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.