Seorang pemuda belia berpose di sebuah rumah bersama enam orang perempuan berkebaya. Sang wanita tua dalam posisi duduk, dan para perempuan muda berdiri. Sang pemuda-proklamator Mohammad Hatta-dengan pantalon dan jas warna terang, terlihat sehat meski wajahnya kelihatan capek.
Sepintas, tak ada yang istimewa pada foto itu. Tak banyak keterangan kecuali secuil catatan tangan, "Kebun Djeruk '37, Djakarta. Sebelum ke Digul tahun 1935." Tetapi inilah sebuah lembaran sejarah yang berkisah begitu banyak tentang pendiri negeri ini. Jaap Erkelens, pemimpin KITLV (Koninklijk Instituut voor Taal, Land en Volkenkunde) perwakilan Jakarta -lembaga bahasa dan kebudayaan Belanda yang akan menerbitkan buku tentang foto Hatta akhir Agustus ini- menyebutkan betapa pentingnya foto ini.
Ia melakukan riset serius untuk menemukan konteks sejarah foto itu. Ketika itu, September 1934, adalah bulan ketujuh Hatta ditahan di Penjara Glodok, Jakarta. Ia dianggap telah melakukan makar terhadap pemerintah kolonial. Setelah meletus pemberontakan di Banten, Jawa Barat, pemerintah kolonial menganggap tokoh semacam Hatta harus dibuang ke luar Jawa. Melalui kepala penjara bernama Baudisch, Hatta disodori formulir. Lazimnya selepas mengisi formulir itu, sang pesakitan segera dikirim ke luar Jawa. Hatta menolak mengisi daftar tersebut. Ia tahu nasib jelek itu sudah sampai. Tanpa pengadilan, dalam usia 32 tahun, ia harus menghadapi kehidupan yang baru sebagai orang buangan. Ia segera diasingkan ke Buven Digul.
Baudisch, seorang psikolog asal Austria, tampaknya memahami derita Hatta. Ia memberi kesempatan kepada Hatta untuk pulang selama tiga hari. "Silakan temui ibu dan saudaramu. Juga bereskan buku-buku yang ingin kau bawa," katanya. Hatta pulang. Pada salah satu hari ia pun berpose bersama keluarga. Sang ibu, Siti Saleha, tampak murung dan tua. Lima saudara perempuan Hatta menunjukkan kesedihan yang sama. Foto-foto Hatta selalu membutuhkan penjelasan historis semacam itu. Tak hanya satu, tapi sebagian besar-seperti yang dikoleksi keluarga, agen foto IPPHOS, atau yang dimuat dalam Mohammad Hatta Hati Nurani Bangsa, buku yang segera diterbitkan KILTV.
Hatta selalu tampil dengan pose yang sama: lelaki dengan senyum yang ikhlas, wajah yang teduh, rambut yang disisir rapi, tubuh yang berdiri lurus dengan pakaian bersih dan disetrika rapi. Hatta adalah orang yang dingin, praktis tanpa ledakan. "Ayah tidak pernah emosional, meski tetap menampakkan perasaannya," kata Halida Hatta, putri bungsu Almarhum. Di foto paling bersejarah pun, Hatta tetap kalem. Pada Februari 1927 ia mewakili Indonesia menghadiri konferensi menentang imperialisme dan penjajahan yang diadakan di Brussel, Belgia.
Dalam usia 25 tahun ia memimpin sidang. Peserta yang dipimpinnya antara lain Jawaharlal Nehru dari India dan Chen Kuen, aktivis pergerakan Cina. Di foto itu Hatta muda menoleh tetap dengan senyum dan ketenangan yang sama. Bahkan hubungannya yang bergolak dengan Sukarno tak pernah membuat Hatta tampil ekspresif. Pernah suatu ketika, pada September 1957, sejumlah orang berusaha mempertemukan kembali dwitunggal itu melalui sebuah musyawarah nasional di Jakarta. Hatta bergeming: ia memilih jalan sunyi keluar dari pemerintahan ketimbang mendampingi Sukarno yang mulai menampakkan sikap kediktatoran. Dalam pertemuan itu keduanya berjabat tangan. Sukarno mengangkat tongkat komandonya dengan tangan kiri. Hatta menyambut jabatan itu dengan senyum yang biasa, sementara tangan lainnya mengapit buku.
Hatta memang bukan Sukarno. "Hatta praktis tak pernah berbicara tentang dirinya secara pribadi. Ia terlalu rasional untuk mengungkapkan perasaannya secara terbuka," kata sejarawan Taufik Abdullah dalam pengantar buku Mohamad Hatta Hati Nurani Bangsa. Perasaan itu juga tak mudah ditangkap kamera juru foto-baik profesional maupun sekadar fotografer keluarga. Sukarno membiarkan wilayah pribadinya dirangsek para juru foto. Ia bercukur, makan bersama keluarga, berdansa, bahkan membiarkan kamar tidurnya difoto untuk publikasi luas. Ia sadar bahwa setiap inci hidupnya harus memberikan citra yang memukau. Begitu besarnya kesadaran Sukarno akan pentingnya citra dalam fotografi, ia bahkan mampu "menyutradarai" adegan agar sebuah peristiwa bisa menampilkan citra yang dahsyat.
Ketika bertemu Jenderal Sudirman pada Juli 1947, si Bung pernah mengulang adegan pelukan dengan Sudirman hanya karena sebelumnya tak ada fotografer yang siap merekam peristiwa itu (baca Bung Karno dan Fotografi, oleh Yudhi Soerjoatmodjo, dalam Edisi Khusus TEMPO "Sukarno Berbisik Kembali", 4-10 Juni 2001) Hatta memang bukan Sukarno. Ia barangkali tak peduli dengan citra. Bisa jadi ia tak bersemangat difoto-meski ia bukan tak peduli dokumentasi. Masa hidupnya sebagai pemimpin gerakan mahasiswa di Belanda didokumentasikannya dengan berfoto bersama dengan aktivis Perhimpoenan Indonesia-organisasi pelajar Indonesia di Nederland. Tak lebih.
Pertemuan Hatta dengan Semaun atau Tan Malaka di Eropa, dua tokoh sosialis penting dalam sejarah Indonesia, nyaris tak terdokumentasi dalam bentuk foto. Hatta bukan Sukarno, karenanya terlalu berlebihan mengharapkan Hatta menampilkan gesture yang memikat secara fotografis. "Foto Hatta justru bagus dalam hal isi dan bukan dari segi estetika," kata Yudhi Soerjoatmodjo, kurator galeri foto I See. Meski jarang, menurut Yudhi, foto Hatta yang "bergemuruh" bukan tak ada. "Foto Hatta sedang dikerumuni massa di Stasiun Jatinegara sangat bagus," katanya. Yang lain hampir seragam: foto-foto Hatta selalu membutuhkan teks penjelas. Tapi di sinilah justru kekuatannya. Seperti Hatta yang "dalam" dan menyimpan magma, foto-foto Hatta menjadi istimewa saat kita menelusuri sejarah di balik sebuah potret. Seperti sosok Hatta, foto-foto itu bukan sesuatu yang bisa dilihat sepintas lalu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.