Oleh: Goenawan Mohamad
Bukankah sebab itu sejarah berlanjut? Bukankah sejarah adalah kerja orang ramai yang namanya terlupakan? Kau ingat Surabaya, November 1945. Suasana tegang. Tentara Inggris, mewakili Sekutu yang menang Perang Pasifik, mendarat di Tanjung Perak, dan pertempuran terjadi dengan ribuan pemuda di kota yang tak mau menyerah itu. Komandan pasukan Inggris, yang tak ingin terlibat dalam konflik berdarah yang berkepanjangan, terpaksa memintamu datang dari Jakarta, bersama Bung Karno, untuk menengahi. Hari itu kau berada di atas jip Jenderal Hawthorn yang mengantarmu. Di sebuah tikungan, kau lihat seorang anak berumur sekitar 12 tahun tertidur, menyandang bedil. "That is revolution," kata Jenderal Hawthorn.
Kau dan opsir Inggris itu tak kenal siapa bocah itu-anak yang mungkin esok tewas terkena mortir. Tapi kau tahu apa artinya sebuah sejarah yang dibangun bahkan dengan sepucuk bedil di tangan seorang anak yang kecapekan. Siapa pun bersedia mati, bila ia harus dikembalikan ke masa silam yang bernama penderitaan. Dunia harus diubah. Hidup tak bisa lagi diinjak-injak. Dengan sepasang kakinya yang kurus, di sawah-ladangnya yang kering dan di kaki lima Surabaya yang lusuh, anak itu telah baca betapa jahatnya penjajahan.
Kau sendiri sudah baca hal yang sama ketika umurmu belum 10 tahun. Pada tahun 1908, di jembatan batu dekat rumahmu di Aur Tajungkang, Bukit Tinggi, sejumlah serdadu marsose ditempatkan. Beberapa minggu lamanya mereka di sana, dengan bayonet terhunus, menggeledah orang-orang yang lewat. Pemerintah kolonial sedang marah: 16 kilometer dari kotamu, di Kampung Kamang, rakyat berontak. Mereka menolak membayar pajak langsung. Ketika konflik meletus, 12 orang marsose tewas, dan 100 penduduk ditembak mati. Razia dilakukan. Orang-orang ditangkap. Termasuk Rais, sahabat kakekmu, yang kau lihat sendiri melambai dari jendela kereta api dengan tangan yang dirantai.
Kau yakin Rais tak bersalah. Dalam umurmu yang masih kanak itu kau dengar bagaimana Tuan Westenenk, Asisten Residen Agam, menggunakan pemberontakan Kamang sebagai dalih untuk memenjarakan Rais. Sebelumnya, Rais-lah yang mengirim surat kritik ke koran Utusan Malayu di Padang tentang kelakuan pembesar kolonial itu. Tentu saja ia tak dibiarkan bebas. "Belanda tidak dapat dipercaya," kau dengar Idris, pamanmu, berkata.
Ketidakadilan memang bisa dibaca tanpa huruf. Petani yang terkebelakang sekalipun, juga anak yang belum lagi 15 tahun, dengan rasa sakit dan gusar, bisa mengerti artinya. Itu sebabnya pada tahun 1933, setelah Bung Karno ditangkap, juga berpuluh-puluh pemimpin lain, kau tak ingin melangkah surut. Bagimu pergerakan rakyat akan terus, sebab "pergerakan rakyat timbul bukan karena pemimpin bersuara, tetapi pemimpin bersuara karena ada pergerakan". Amarah rakyat seiring dengan hasrat yang membisu. Ada kata-kata Multatuli yang kau gemari, onhoorbaar groeit de padi, "tak terdengar tumbuhlah padi".
Maka kau tatap dengan tenang "caci dan nista" yang menuduhmu dan Sukarno sebagai "penghasut". Sebab kau punya jawab, bahwa "hari siang bukan karena ayam berkokok, akan tetapi ayam berkokok karena hari mulai siang".
Betapa banyaknya orang Indonesia yang menghendaki hari siang, dengan atau tanpa kokok ayam. Dan betapa yakinnya generasimu bahwa malam tak akan lama. "Di timur matahari, mulai bercahya," kata lagu yang ditulis W.R. Supratman di masa itu, sebelum ia menggubah Indonesia Raya. Itu sebabnya kau bersiteguh, juga ketika pemerintah kolonial membuangmu ke Digul. Di udik Papua itu, kau siap untuk sedikitnya hidup 10 tahun, tapi kau tampik tambahan bantuan apa pun dari komandan kamp. Kau bilang kepada Kapten Van Langen, dengan sedikit angkuh, "Tuan..., tidak ada yang tetap di dunia ini." Angkuh? Bukan, kau cuma yakin. Pernah kau tulis bahwa tiap keadaan "menimbulkan syarat yang mesti mengubah keadaan itu sendiri".
Kau pembaca Marx yang baik, Bung. Kau percaya kepada dialektik dan perubahan, maka kau optimistis. Kau juga percaya bahwa keadaan obyektiflah yang menentukan sikap manusia. Sebab itu kau tahu sejarah tak hanya bergantung pada segelintir manusia. Di koran Daulat Ra'jat kau meminta agar pemimpin tak "didewa-dewakan", sebab bagimu yang perlu adalah "pahlawan-pahlawan yang tak punya nama". Waktu itu kau kecewa kepada Bung Karno, yang dalam tahanan tiba-tiba menyatakan mundur dari segala kegiatan pergerakan politik. Waktu itu nadamu sengit, tapi pikiranmu, seperti biasa, tajam: kini massa, orang ramai, yang jadi dasar perjuangan, bukan seorang Diponegoro atau Mazzini. Ini abad ke-20, katamu. Kau, yang percaya kepada demokrasi, adalah saksi abad ke-20. Dalam Memoir-mu kau catat dengan teliti orang "kecil" yang bagimu tak kecil, yang mengilhamimu dan mendidikmu. Engku Marah Sutan, misalnya, pegawai agen perjalanan kapal di Teluk Bayur. Tiap pulang kerja ia naik kereta api kembali ke Padang, dan pukul 3.30 ia sudah duduk di kantor Sarikat Usaha di sebuah kampung di dekat halte. Ia akan bekerja terkadang sampai lewat pukul 20:00. Dari Sarikat Usaha itu Engku Marah Sutan, tanpa digaji, tanpa diperintah, mengupayakan pendidikan anak-anak, baik dalam hal agama maupun ilmu pengetahuan. Ia sendiri tak berpendidikan tinggi. Tapi ia belajar berbahasa Belanda dan berlangganan koran Utusan Hindia yang dipimpin H.O.S. Tjokroaminoto di Surabaya dan Neraca yang dipimpin Abdul Muis dan H. Agus Salim di Jakarta. Dari dialah engkau, yang baru 16 tahun, mengenal tokoh-tokoh pergerakan awal abad itu, dan apa tujuan mereka.
Apa gerangan yang dicarinya, dalam kerja yang tak kenal lelah itu? Jawabnya bersahaja: Marah Sutan ingin, seperti katamu, agar "di kemudian hari, tanah air kita dapat maju". Tanah air. Maju. Begitu berarti kedua patah kata itu bagi Engku yang alim itu, juga bagi generasimu. Mungkinkah itu sebabnya, dalam pikiranmu, "tanah air" bukanlah sepotong geografi dan sederet masa lalu, tapi sesuatu yang berkembang dengan kerja? Pada tahun 1928, ketika umurmu 26 tahun dan masih seorang mahasiswa di Rotterdam, kau ditangkap pemerintah Belanda karena kegiatan politikmu, dan kau dibawa ke depan mahkamah di Den Haag. Tak ada rasa gentarmu. Dengan yakin kau bacakan pleidoimu, dan ruangan itu seperti tergetar ketika kau ucapkan penutupnya: "Hanya satu tanah air yang dapat disebut Tanah Airku. Ia berkembang dengan usaha, dan usaha itu ialah usahaku."
Bung, tanah air yang mendapatkan maknanya seperti itu tentu berbeda dengan tanah air yang hanya berpangkal pada asal-usul. Kau dan generasimu melihat masa depan lebih jelas ketimbang masa lalu. Sadar atau tak sadar, generasimu mengalami perubahan yang tak terelakkan, ketika "segala yang solid meleleh jadi hawa, segala yang suci jadi profan, dan manusia akhirnya dipaksa untuk menghadapi, dengan kepala dingin, kondisi nyata hidup mereka dan hubungan mereka dengan sesama". Kata-kata Marx yang dramatis itu melukiskan transformasi manusia ke dalam modernitas-dan dalam transformasi itulah generasimu menemukan nasionalisme awal abad ke-20.
Itulah yang terjadi pada tanggal 8 Februari 1925 di Rotterdam. Dalam rapat Indonesische Vereeniging kau dan teman-temanmu menentukan untuk memberi nama tanah air ini "Indonesia", dan bukan "Hindia Belanda". Dengan itu kalian pun memasuki kebangsaan sebagai proyek masa depan. Dengan itu apa yang dulu solid-pagar identitas "Sumatera" atau "Jawa" atau "Manado" atau "Islam" atau "Kristen"-telah meleleh.
Dari 8 Februari 1925 kemudian lahir 28 Oktober 1928. Sumpah Pemuda dibacakan: hasrat menjadi satu bangsa, punya satu tanah air, menggunakan satu bahasa. Kau tentu berpengaruh di sana, Bung. Bukankah dalam Daulat Ra'yat 31 Januari 1928, kau kecam orang yang "menamakan diri nasionalis Indonesia, akan tetapi pergaulannya dan semangatnya masih amat terikat kepada daerah dan tempat ia dilahirkan"?
Tapi kau tahu soalnya tak mudah. Kau sendiri akui bahwa latar belakang masyarakat agraris melahirkan "provinsialisme", dan (hanya) dalam masyarakat industri organisasi persatuan bisa dibangun. Tapi sejauh mana, sebetulnya, masyarakat agraris ingin kau tinggalkan? Sejauh mana modernitas menarikmu?
Kau dan generasimu belum menjawab ini dengan memuaskan. Dilema yang kalian hadapi begitu keras, dan bimbang begitu umum. Itulah sebabnya seraya kau mengecam "provinsialisme" dari masyarakat petani, kau juga berbicara dengan bersemangat tentang masyarakat "desa yang asli", yang bercorak kolektif, sebagai dasar sosialisme, bahkan sebagai akar demokrasi. Sadarkah kau akan kontradiksi itu? Masih adakah di abad ke-20 "desa yang asli", dan, kalaupun ada, benarkah corak kolektifnya tak menyembunyikan sesuatu yang buruk, misalnya adat yang menindas perempuan?
Untunglah, nasionalisme yang kau pilih bukan sesuatu yang retrogresif, yang bergerak ke belakang, seraya berpura-pura maju. Menjelang Perang Dunia II, kaum militer Jepang mengibarkan nasionalisme yang seperti itu-nasionalisme yang mencari akar "keaslian" tak henti-hentinya. Naziisme Hitler tak jauh berbeda. Sebab itulah mereka agresif, karena "keaslian", seperti halnya "kemurnian", tak menghendaki percampuran. Betapa mustahil, di abad ke-20.
Syukurlah nasionalismemu adalah nasionalisme Engku Loyok. Orang ini buruh maskapai perkapalan KPM yang sering kau temui di Kampung Lima, Tanah Abang, sewaktu umurmu 20 tahun. Ia yang memperkenalkan padamu partainya yang dibubarkan pemerintah, National Indische Partij. Ketiga pemimpinnya yang mengagumkan, Douwes Dekker, Tjipto Mangunkusumo, dan Suwardi Suryaningrat, bukan hanya jelas-jelas ingin melepaskan "Hindia" dari Belanda. Mereka juga ingin membangun tempat bersama bagi Bumiputra, Cina, Arab, dan Indo Belanda-orang-orang yang sejak akhir abad ke-19 dibagi dalam komunitas rasial yang terpisah.
Dengan kata lain, sebuah nasionalisme yang tak menutup pintu dengan keras: nasionalisme yang bisa memandang jauh, ke belakang dan ke dalam. Seperti engkau. Dua puluh tahun sebelum "Demokrasi Terpimpin" dan "Orde Baru", kaulah yang pada bulan Juni 1945 itu memperingatkan akan kemungkinan lahirnya "negara kekuasaan" dengan retorika "keamanan nasional". Sebab itu kau usulkan agar hak-hak asasi ditegakkan. Tiga puluh tahun sebelum tentara Indonesia dikirim untuk "mengambil" Timor Timur, kau juga suara yang paling pagi memperingatkan akan bahaya "imperialisme" dari diri sendiri.
Kenapa, Bung? Kau bukan ahli nujum. Tapi mungkin karena nasionalismemu, seperti nasionalisme Si Buruh Loyok, adalah suara solidaritas. Bukan kesendirian -bukan100 tahun kesendirian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.