Senin, 05 Oktober 2009

Revolusi Tiga Serangkai

KARL Marx, Stalin, Lenin. Nama nama itu akrab sejak Njoto belia. Buku buku karya tokoh revolusioner itu menjadi santapan sehari hari. Padahal ia masih duduk di bangku Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), semacam sekolah menengah pertama di Solo, Jawa Tengah. Buku koleksinya ada yang setebal telapak tangan.

"Buku buku berat berbahasa asing itu dipilih atas kemauannya sendiri, tidak ada yang mengarahkan," kata Sri Windarti, adik kandung Njoto, awal September lalu. Buku buku tokoh kiri itu dibaca Njoto sehabis belajar.

Budaya membaca kuat tertanam di keluarga itu. Ayahnya, Raden Sosro Hartono, membiasakan anak anaknya gemar membaca dari kecil. Mereka bebas membaca apa saja, asalkan urusan belajar dan sekolah tidak terbengkalai. Njoto bahkan punya kebiasaan membaca di mana mana, meski tengah kumpul bersama keluarga. Selalu saja ada buku atau koran yang ia pegang.

Ketertarikan Njoto akan buku ideologi pergerakan bisa jadi mekar jauh sebelum itu. Sebelum Njoto meneruskan sekolah ke Solo, toko milik Raden Sosro Hartono di Bondowoso, Jawa Timur, kerap kedatangan tamu eks Digulis aktivis gerakan politik yang dibuang Belanda ke Boven Digul, Papua. Raden Sosro sering mengadakan rapat dengan mereka di situ. "Om om bekas tahanan Digul itu suka menengok saya dan Njoto, lalu mengajak ngobrol," kata Windarti, kini 80 tahun.

Namun, baik kepada Windarti maupun teman temannya, Njoto tertutup dalam urusan politik. Menurut dia, Njoto belajar politik secara sembunyi sembunyi. Pada masa itu Jepang melarang masyarakat bicara tentang politik. Alhasil, Njoto tidak pernah terlihat seperti aktivis. "Dia tidak pernah mendiskusikan gerakan politik," kata Sabar Anantaguna, teman sekelasnya di Solo, yang di sekolah duduk persis di belakang Njoto.

Sabar masih ingat, Njoto tiba tiba menghilang pada saat naik kelas dua. Kepada Windarti, ia pamit pulang ke rumah orang tua di Jember, Jawa Timur. Tapi tidak pernah kembali ke Solo. Usut punya usut, dia malah pergi ke Surabaya, tatkala api revolusi perjuangan tengah membara. "Mungkin ketika itu ia merasa kemampuan berpolitiknya sudah cukup," ujar Windarti. Njoto terlibat dalam perebutan senjata Jepang di Surabaya, Bangil, dan Jember.

Hingga kemudian menyembul sepucuk berita: Njoto menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) di Yogyakarta, wakil PKI Banyuwangi. Usianya 16 tahun, tapi ia mencatut umur lebih tua dua tahun. "Saya dengar sendiri, saat itu ia masih di bawah umur," kata almarhum Joesoef Isak, sahabat Njoto, ketika diskusi di kantor Tempo, Agustus lalu.

Ia tinggal di Hotel Merdeka, kawasan Malioboro, bersama sejumlah menteri. Kantor Komite Nasional letaknya tak jauh dari situ. Kabinet Sjahrir baru saja dipindahkan dari Jakarta ke Yogya. Dari Solo, Windarti sempat menemuinya di Yogya. Njoto kerap mengajaknya makan siang.

Di kota ini satu tahun kemudian Njoto bertemu Aidit dan M.H. Lukman.

Saat itu, pemimpin PKI Sardjono, eks Digulis, baru memindahkan kantor pusat PKI di Jalan Boemi 29, Solo, ke Jalan Bintaran, Yogyakarta. Aidit, berkat bimbingan Alimin, yang baru pulang dari Uni Soviet, menjadi anggota Comite Central dalam Kongres PKI Januari 1947. Aidit dan Lukman-keduanya sudah bertemu sejak 1943 di Menteng 31, sarang pemuda aktivis kemerdekaan-kemudian tinggal di Yogya. Mereka menghidupkan majalah dwibulanan Bintang Merah.

Sejak itu Aidit, Njoto, Lukman menjadi akrab. Saat KNIP bersidang di Malang pada Maret 1947, Aidit terpilih menjadi Ketua Fraksi PKI, Njoto memimpin Badan Pekerja KNIP.

Foto Njoto berpidato di Malang terpampang di sebuah koran. Sabar terperanjat. "Saya baru sadar bahwa ia seorang pemimpin," kata Sabar, yang belakangan bergiat di Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Pria 82 tahun itu lantas teringat cerita Sudarnanto, kawan sekolah di Solo, yang pernah menyaksikan bahwa di kamar Njoto terpampang foto tokoh komunis. Darah aktivis pemuda berkacamata tebal itu, kata Sabar, menetes dari ayahnya. "Karakter Njoto kebetulan sama seperti Ayah," Windarti menambahkan.

Njoto bersama Aidit dan Lukman kemudian masuk Komisi Penterjemah PKI pada awal 1948, yang tugasnya menerjemahkan Manifes Partai Komunis, karya Karl Marx dan Frederich Engels.

Pada Agustus 1948, tiga serangkai ini sama sama jadi anggota Comite Central PKI. Aidit mengurus bidang agraria, Lukman di Sekretariat Agitasi dan Propaganda, sedangkan Njoto menjalin relasi dengan badan badan perwakilan.

Hingga pecahlah geger Madiun, 19 September 1948.

Partai limbung, tercerai berai. Aidit, Njoto, Lukman bagaikan The Three Musketeers. Mereka muncul menjadi tulang punggung partai. Ketiganya menghidupkan partai dan bisa membuat partai lebih besar. Mereka kemudian dikenal sebagai trisula PKI.

Aidit sempat tertangkap, tapi dibebaskan karena tak ada yang mengenalnya. Ibarruri Putri Alam, putri sulung Aidit, melukiskan bahwa ayahnya bisa lolos ke Jakarta dengan menyamar menjadi pedagang Cina. Njoto dan Lukman kemudian menyusul ke Jakarta. Papan nama PKI dari kayu jati mereka boyong dari Yogya ke Jakarta.

Di Jakarta trio Aidit, Lukman, Njoto menyantap asam garam pergerakan. Mereka menggodok orientasi partai. Terbunuhnya banyak kader dalam peristiwa Madiun membuat mereka mandiri. "Mereka jadi independen karena tak punya lagi tempat bertanya," kata almarhum Murad Aidit, dalam bukunya, Aidit Sang Legenda.

Tiga serangkai diam diam memperluas jaringan PKI di Jakarta dengan membentuk Onder Seksi Comite di tingkat kecamatan. Adapun organisasi dijalankan lewat sistem komisariat di komite sentral. Situasinya sulit karena hampir setiap kabinet alergi komunisme.

Sampai sampai trio Aidit Lukman Njoto harus bersembunyi dengan menyamar. Aidit dan Lukman bahkan pernah disiarkan pergi ke Cina pada 1949. Padahal itu bualan belaka untuk mengecoh pengejaran. Ada yang bilang sesungguhnya mereka ke Medan. Ada yang bilang ke Jakarta. "Mereka sering menginap di rumah seorang kawan di Kemayoran," tulis sejarawan Prancis, Jacques Leclerc, dalam Aidit dan Partai pada Tahun 1950.

Dalam situasi serba repot itu, Aidit dan Lukman justru nekat menerbitkan Bintang Merah pada 15 Agustus 1950. Dua pekan sekali mereka meluncurkan stensilan Suara Rakyat, embrio Harian Rakjat yang menjadi koran terbesar dengan oplah 55 ribu per hari. Njoto bergabung pada Januari 1951.

Dua tahun kemudian tiga sahabat kelompok Bintang Merah ini memimpin partai. Aidit menjadi Sekretaris Jenderal, Lukman Wakil Sekjen I, dan Njoto Wakil Sekjen II (jabatan ini diganti menjadi ketua dan wakil ketua pada 1959).

Usia mereka saat itu jauh lebih muda dari pimpinan partai lain di Indonesia, bahkan setengah usia daripada pemimpin partai komunis negara lain. Bambang Sindhu dalam Harian Minggu terbitan Mei 1954 menulis, keadaanlah yang menghendaki tenaga tenaga muda yang militan tampil ke permukaan. "Orang orang tua, pemimpin tua, biarlah di samping saja," tulis Bambang. "Bila perlu, malah ditinggal di belakang...."

Sebagai ketua, Aidit bertanggung jawab terhadap politik secara umum. Lukman memimpin Front Persatuan. Urusan agitasi dan propaganda diemban Njoto. Tak cuma organisasi, untuk meluaskan jaringan mereka juga mendirikan sekolah, dari tingkat dasar sampai universitas.

Usaha itu berbuah. Dalam Pemilihan Umum 1955, Partai Komunis menduduki urutan keempat.

Persahabatan ketiganya berlanjut hingga Njoto menempati rumah di Jalan Malang, Menteng, Jakarta. Aidit dan Lukman sering datang dan mengadakan rapat di rumah itu. "Kadang ngobrol di ruang tamu, kadang masuk ke kamar kerja liat liat koleksi buku," kata Windarti. Tempe goreng dan nasi rawon adalah hidangan yang biasa disajikan Soetarni, istri Njoto.

Tiga serangkai itu juga pergi bersama sama bila ada pameran lukisan. Lukman selalu lebih dulu menjemput Njoto. "Saya hanya ikut, tidak mengerti mereka ngomong apa," ujar Windarti.

Aidit dan Njoto, kata Windarti, tipikal sosok yang serius, terutama dalam urusan pekerjaan. Sedangkan Lukman lebih supel dan suka guyon. Lukman, kata Iramani-adik bungsu Njoto-bahkan suka menawarinya pisang goreng.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.