GEDUNG Indonesia Menggugat, Bandung, 7 Desember 2007. Artis Dewi Yull tampak terharu menerima kenang-kenangan Panitia Seabad Pers Kebangsaan. Cendera mata tersebut berupa poster buyutnya, R.M. Tirto Adhi Soerjo, yang menegaskan peran tokoh itu di kancah pergerakan nasional Indonesia.
Tirto Adhi Soerjo alias Djokomono merupakan orang pribumi pertama yang mendirikan perusahaan pers. Surat kabarnya, Medan Prijaji, dianggap sebagai surat kabar pertama Indonesia yang pendanaan, pengelolaan, percetakan, penerbitan, dan wartawannya orang Indonesia asli. "Pada masa itu, surat kabar biasanya dimiliki dan dikelola oleh orang Tionghoa, Belanda, atau Indo Belanda," kata wartawan senior Rosihan Anwar.
Koran ini terbit pertama kali pada Januari 1907 dalam bahasa Melayu. Tapi perusahaan penerbitnya, NV Javaansche Boekhandel en Drukkerij en Handel in Schrijfbehoeften, didirikan pada 1904. Perusahaan itu berkantor di Jalan Naripan, Bandung, dengan modal awal 75 ribu gulden. Saat itu, Tirto baru berusia 24 tahun.
Sejak terbitan pertamanya, ia mengusung delapan asas: memberikan informasi, menjadi penyuluh keadilan, memberikan bantuan hukum, tempat orang tersia-sia mengadukan halnya, tempat mencari pekerjaan, menggerakkan bangsanya untuk berorganisasi dan mengorganisasi diri, membangun dan memajukan bangsanya, serta memperkuat bangsanya dengan usaha perdagangan.
Di bawah logo Medan Prijaji, tercantum motonya: "Ja'ni swara bagi sekalijan radja2, bangsawan asali dan fikiran dan saoedagar2 anaknegri. Lid2 Gemeente dan Gewestelijke Raden dan saoedagar bangsa jang terperentah lainnja jang dipersamakan dengan anak negri di seloeroeh Hindia Olanda."
Dalam waktu singkat, Medan Prijaji beroleh simpati. Mulai 5 Oktober 1910, koran ini terbit tiap hari kecuali Jumat, Ahad, dan hari raya. Pelanggannya mencapai 2.000 orang. Motonya pun berubah menjadi "Orgaan boeat bangsa jang terperentah di H.O. Tempat akan memboeka swaranya Anak-Hindia"-sebuah semboyan yang cukup berani untuk masa itu.
Lewat media tersebut, Tirto melancarkan kritik pedas atas ketidakadilan pemerintah kolonial Hindia Belanda. Terutama tindakan para kontrolir Belanda terhadap rakyat. Akibatnya, ia dibuang ke Pulau Bacan, Maluku Utara, dan Lampung.
Tirto, menurut Soebagijo Ilham Notodidjojo, adalah tokoh pergerakan yang paham fungsi pers saat itu. Menurut dia, ada tiga alat perjuangan yang dipergunakan ketika itu: pendidikan, olahraga, dan pers.
Di zaman itu, untuk mendirikan perusahaan pers, jelas diperlukan keberanian. "Berani ngutang dan berani menghadapi delik pers," kata Soebagijo. Soalnya, saat itu pemerintah Belanda sudah menerapkan pasal-pasal hatzaai artikelen atau pernyataan menebar kebencian.
Tak cuma berjuang melalui tulisan, Tirto dengan Medan Prijaji juga mengadvokasi rakyat yang tersangkut masalah hukum. Maka layak bila sekarang ada sekelompok orang yang hendak mengajukan Tirto Adhi Soerjo dan Medan Prijaji sebagai tonggak pers nasional.
(95) Koran Medan Prijaji (1907-1912)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.