(75) Perjuangan Kita Publikasi: Berbentuk pamflet mulai 14 November 1945. Pusat Dokumentasi Politik Guntur menerbitkan ulang pada 2001.
SUTAN Sjahrir menulis dalam salah satu pamflet: "Pemerintahan harus di-demokratiseer." Sesudah Proklamasi dikumandangkan, pamflet tersebut makin sering ditulis. Menurut Sjahrir, risalah itu adalah ikhtiar mengupas perkara pokok dalam perjuangan.
Perjuangan Kita membuat Sjahrir tampak berseberangan dengan Soekarno, yang terobsesi pada persatuan dan kesatuan. Sjahrir justru menulis, "Tiap persatuan hanya akan bersifat taktis, temporer, dan karena itu insidental. Usaha-usaha untuk menyatukan secara paksa hanya menghasilkan anak banci. Persatuan semacam itu akan terasa sakit, tersesat, dan merusak pergerakan."
Sjahrir banyak mengkritik sejumlah elite yang dianggapnya tidak pantas duduk dalam pemerintahan. "Hal itu terkait hubungan mereka dengan pihak penjajah Jepang," kata Ahmad Mansur Suryanegara, sejarawan Universitas Padjadjaran, Bandung. Pamflet Sjahrir membuat kalangan muda menjadi tergugah nasionalismenya.
(76) Melawan Melalui Lelucon Publikasi: Majalah Tempo 1975-1983. Kumpulan artikel diterbitkan Pusat Data dan Analisa Tempo tahun 2000.
KUMPULAN tulisan Abdurrahman Wahid di majalah Tempo ini terentang antara tahun 1975 dan 1983. Temanya mulai dari politik, sosial, ekonomi, budaya, Islam, sampai pesantren. Pada periode itu, Orde Baru makin menunjukkan ototnya. "Pemerintah melakukan deideologisasi Islam," kata Ahmad Suaedy, Direktur The Wahid Institute.
Soeharto mengerangkeng ruang gerak organisasi Islam, termasuk Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah. Kritik terhadap Orde Baru ibarat tabu pada masa itu. Untuk menyiasati, Abdurrahman Wahid menyelipkan humor dalam kolom-kolomnya. "Humor dalam tulisan ini mencairkan kemarahan mereka yang dikritik," kata peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Mohamad Sobary. Humor memang kekuatan Abdurrahman.
Menurut Sobary, kolom Abdurrahman disesuaikan dengan semangat majalah berita ini. Tulisan cucu pendiri Nahdlatul Ulama Hasyim Asy'ari itu melompat jauh dari tipikal pemikiran kiai desa serta para sarjana ketika itu. Walau masih dalam tataran grand design dan bukan implementasi, kata Sobary, di sinilah letak kekuatan Abdurrahman Wahid.
(77) Polemik Soetatmo versus Tjipto Publikasi: Pamflet berjudul Nota van Schrieke. Dibukukan Yayasan Obor Indonesia pada 1986.
JULI 1918, dalam Kongres Pengembangan Kebudayaan Jawa di Solo, Jawa Tengah. Dua priayi ternama berdebat sengit mengenai corak nasionalisme yang diidamkan. Soetatmo Soerjokoesoemo gencar menawarkan nasionalisme Jawa versus Tjipto Mangoenkoesoemo yang lebih sreg dengan nasionalisme Hindia.
Bagi Soetatmo, suatu bangsa harus memiliki landasan bahasa dan kebudayaan yang kuat. Jawa, kata tokoh yang mewakili Boedi Oetomo di Volksraad, memiliki semua itu. Menurut dia, nasionalisme Hindia tidak memiliki landasan dan terjebak pada produk pemerintah kolonial Belanda. Tjipto tidak mau kalah. Dia menegaskan, nasionalisme Jawa mengabaikan unsur perkembangan sejarah dunia. Jawa, katanya, telah kehilangan kedaulatan dan hanya merupakan bagian dari Hindia yang dijajah Belanda.
Perdebatan dua tokoh itu diumumkan dalam selebaran berjudul Javaansche of Indische Nationalisme. Selebaran tersebut menjadi nomor ekstra majalah Wederopbouw. Menurut Budiawan, ahli ilmu sejarah dari Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, perdebatan ini kalah pamor dibanding polemik kebudayaan Sutan Takdir Alisjahbana yang mempertentangkan Timur dan Barat. Polemik Tjipto dan Soetatmo cuma perdebatan dua aliran pikiran yang berbeda.
(78) Polemik Kebudayaan Publikasi: Majalah Pujangga Baru (1935)
ARTIKEL berjudul Menuju Masyarakat dan Kebudayaan Baru memprovokasi kaum intelektual pada 1935. Sutan Takdir Alisjahbana, si penulis artikel, mengusulkan Indonesia mengadopsi elemen Barat jika ingin menjadi bangsa maju. Yakni, intelektualisme, egoisme, individualisme, dan seni budaya Barat. Kebudayaan Indonesia baru, katanya, harus lepas dari budaya masa lalu.
Sanusi Pane, Adinegoro, Dr M. Amir, dan Sutomo mendebat pemikiran Takdir. Sanusi Pane yang pro-ketimuran menganggap Takdir kebarat-baratan dan tidak menghargai kearifan lokal. Pada 1948, Achdiat K. Mihardja mengumpulkan perdebatan itu dalam satu buku berjudul Polemik Kebudayaan.
Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, Sapardi Djoko Damono, menilai pemikiran Takdir harus ditinjau kembali jika Indonesia ingin maju. "Bukan sekadar meniru, tapi kita harus bisa mencuri gaya, teknologi, dan pemikiran Barat," ujarnya.
Menurut budayawan Nirwan Dewanto, Polemik Kebudayaan masih aktual untuk diperdebatkan hingga saat ini. "Esai-esai Takdir saat Polemik Kebudayaan akan 'menghantui' siapa saja yang memikirkan sumber penciptaan kebudayaan Indonesia," kata Nirwan.
(79) The Integrative Revolution: Primordial Sentiments and Civil Politics in the New States Publikasi: Basic Book, New York (1963)
AWAL 1950-an, Clifford Geertz melakukan riset di Indonesia untuk menjadi bahan disertasi doktor bidang antropologi. Pada 1963, terbit artikelnya berjudul The Integrative Revolution, yang menggambarkan Indonesia sedang dalam proses menjadi suatu bangsa. Upaya itu terganjal oleh sifat etnosentris dan kedaerahan. Padahal budaya daerah bisa dimanfaatkan sebagai sumber pengetahuan lokal guna memajukan bangsa.
Untuk mengelola kemajemukan, kata Geertz, perlu adanya revolusi integrasi. "Bisa saja Geertz berharap ada revolusi, tapi yang terjadi hanyalah involusi," kata Irwan Abdullah, Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada.
Tesis Geertz, yang menggambarkan lingkaran kemiskinan di pedesaan Jawa, sampai sekarang masih menjadi pekerjaan rumah bagi para pengambil kebijakan di Indonesia.
(80) Defisiensi Vitamin B1: Artikel tentang Eijkman dan Hasil Penelitiannya Publikasi: Temuannya memenangkan Nobel pada 1929
PENYAKIT beri-beri mewabah di Nusantara mulai 1880. Pemerintah Belanda mengirim tim ilmuwan ke tanah jajahan. Salah satunya Christiaan Eijkman. Dan mereka menemukan penyebab wabah, yakni defisiensi vitamin B1. Temuan ini mematahkan kesimpulan Robert Koch-penemu penyebab penyakit tuberculosis-bahwa semua penyakit disebabkan bakteri. Eijkman mendapat hadiah Nobel pada 1929 untuk temuan ini. Hasil penelitiannya, Beri-Beri en Voeding (Beri-beri dan Makanan"), dimuat di majalah kedokteran di Amsterdam, Nederlandsch Tijdschrift voor Geneeskunde, pada 1898.
Jerih payah Eijkman memicu penelitian di bidang kedokteran dan penyakit di Batavia pada masa itu. Pemerintah mendirikan Sekolah Kedokteran STOVIA yang kelak meluluskan sejumlah tokoh kebangsaan, antara lain Sutomo dan Tjipto Mangoenkoesoemo.
Menurut Sangkot Marzuki Batubara, Direktur Eijkman Institute for Molecular Biology, Bandung, temuan Eijkman dan STOVIA meningkatkan rasa percaya diri bangsa. Nusantara kemudian menjadi pusat penelitian penyakit tropis sampai sekarang.
(81) Student Indonesia di Eropa Publikasi: Harian Bintang Timoer 1926-1928. Kepustakaan Populer Gramedia membukukannya pada 2000
PERHIMPUNAN Indonesia boleh dikatakan Indonesia kecil yang terletak di tengah lautan besar bernama Eropa." Kutipan ini adalah bagian dari laporan jurnalistik Abdul Rivai untuk koran Bintang Timoer yang terbit di Batavia. Pada November 1926-Mei 1928, Rivai menjadi koresponden harian tersebut di Belanda.
Sebagai wartawan, dia menulis 41 artikel mengenai kehidupan mahasiswa Indonesia di Belanda. Tulisannya dapat membuka hati bangsa Indonesia terhadap daya upaya Perhimpunan Indonesia.
Sejarawan Hilmar Farid Setiadi menjelaskan laporan Rivai membuka cakrawala berpikir orang-orang di Tanah Air bahwa ilmu yang digunakan Belanda untuk menjajah bisa dipelajari.
(82) Pranakan Arab dan Totoknja Publikasi: Harian Matahari, Semarang (1934)
NAMA lengkapnya Abdurrahman Baswedan. Keturunan Arab yang lebih dikenal sebagai A.R. Baswedan ini pernah menjadi anggota Badan Penyelidik Usaha dan Persiapan Kemerdekaan Indonesia serta Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat. Dia juga pernah menjadi Menteri Muda Penerangan Kabinet Sjahrir.
Sosok Baswedan mulai terkenal ketika harian Matahari, terbitan 1 Agustus 1934 di Semarang, memuat tulisannya tentang nasionalisme kaum peranakan Arab. Dia mengimbau mereka bersatu membantu perjuangan Indonesia. Dua bulan kemudian dia memelopori Sumpah Pemuda Keturunan Arab. Isinya persis sama dengan Sumpah Pemuda 1928. Baswedan juga menjadi ketua Partai Arab Indonesia yang bertujuan Indonesia merdeka.
Awalnya, banyak yang menentang seruan Baswedan. "Karena hal ini dianggap sebagai ajakan untuk turun kelas, dari kelas dua ke kelas tiga," kata Anies R. Baswedan, Rektor Universitas Paramadina sekaligus cucu A.R. Baswedan. Di masa itu, memang terjadi kesenjangan pandangan dan sikap antara kaum tua atau totok Arab dengan kalangan mudanya.
(83) Masalah Tionghoa di Indonesia: Asimilasi vs Integrasi Publikasi: Mingguan Star Weekly 6 Februari 1960-25 Juni 1960. Lembaga Pengkajian Masalah Pembauran membukukannya pada 1999
MINGGUAN Star Weekly menjadi saksi sekaligus medan perdebatan tokoh Tionghoa yang menganut paham asimilasi dan integrasi. Polemik ini dipicu perjanjian dwikewarganegaraan yang ditandatangani Republik Rakyat Cina dan Indonesia. Sebagai akibat perjanjian itu, sejak 20 Januari 1960 orang-orang keturunan Tionghoa harus memilih menjadi warga Indonesia atau Cina.
Sepanjang 6 Februari sampai 25 Juni 1960, mingguan itu menurunkan tajuk rencana, artikel, dan liputan tentang isu sensitif ini. Sejumlah tokoh seperti Ong Hok Ham, Yap Thiam Hien, dan Lauw Chuan Tho alias Junus Jahja berdebat tentang konsep asimilasi atau integrasi.
Mereka yang setuju gagasan asimilasi berharap keturunan Tionghoa berbaur sehingga lebih mudah diterima warga pribumi. Sebaliknya, yang setuju konsep integrasi menuntut etnik Tionghoa diakui sebagai salah satu suku Indonesia dan tetap mempertahankan kebudayaannya.
Menurut Anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Yoseph Adi Prasetyo, konsep asimilasi yang diusung Junus Jahja dan kawan-kawan sudah tidak relevan pada masa sekarang. Karena masyarakat Tionghoa sudah mempunyai kebebasan, baik secara ekspresi kebudayaan maupun identitas.
(84) Penduduk dan Kemiskinan Penelitian: Studi kasus di pedesaan Jawa. Diterbitkan oleh Bhratara Karya Aksara (1976)
PADA awal Orde Baru, peneliti Universitas Gadjah Mada, Masri Singarimbun dan D.H. Penny dari Australia, melakukan penelitian di wilayah pedesaan Jawa. Mereka menemukan fakta bahwa kemiskinan timbul karena penduduk terlalu banyak sementara lahan semakin sedikit. Akibatnya, ada tenaga berlebih di sektor pertanian.
Menurut antropolog Universitas Gadjah Mada Sjafri Sairin, buku inilah yang pertama kali secara jujur dan berani mengatakan kemiskinan memang terjadi dan ada di Indonesia. "Dulu menyebut kemiskinan seolah merongrong pemerintah," katanya. Buku itu juga menyadarkan banyak akademisi untuk mengkaji kemiskinan secara intensif. Teori-teori yang menjelaskan ihwal kemiskinan lantas berkembang dan diperkaya dengan teori dari luar. Antara lain budaya kemiskinan oleh Oscar Lewis.
Tulisan Masri membuat isu kependudukan menjadi perhatian banyak peneliti dan akademisi berbagai universitas. "Pusat studi kependudukan kemudian menjamur di banyak universitas," Sjafri menambahkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.