oleh: Radhar Panca Dahana
TUJUH puluh tahun barangkali rata-rata harapan hidup manusia sekarang. Seumur demikian umumnya manusia sudah "selesai". Jikapun ia masih hidup, atau tetap ingin hidup, sebenarnya ia harus mendapatkan makna baru hidupnya.
Mungkin itulah yang berlaku pada Belenggu, roman karya Armijn Pane, yang selesai ditulis tepat 70 tahun lalu. Ketika kita membacanya, saat ini, kita akan menemukan sebuah "hidup" yang baru, sebuah nilai baru, makna baru.
Lebih dari setengah abad lalu, roman karya sastrawan kelahiran Muara Sipongi, Tapanuli Selatan, 18 Agustus 1907 itu memancing bukan hanya decak kagum, melainkan juga caci maki. Tak kurang dari Sutan Takdir Alisjahbana (STA), pemimpin Pujangga Baru-tempat buku itu diterbitkan pertama kali dan kantor tempat Armijn bekerja- mengeluhkan isi roman itu yang bukan hanya, "... romantika yang gelap-gulita yang pesimistis... yang melemahkan semangat."
Dalam sebuah edisinya, Desember 1940, majalah Pujangga Baru menurunkan pelbagai komentar tentang roman yang menggegerkan itu. STA meremukkan karya itu sebagai "type yang tidak mengharukan saya". S. Djojopoespito menulis: "... sebab tidak terasa bagi saya akan kehalusan dan keindahan bahasa-(nya)".
Tapi, di bagian lain, Ida Nasution mengatakan: "Belenggu ialah perlambang pembaharuan bahasa ke arah bahasa Indonesia." M.R. Dayoh berpendapat, "Belenggu ini keuntungan mahabesar untuk literatur kita, untuk perjuangan semangat baru Indonesia."
"Semangat baru" inilah tampaknya yang kemudian lebih mengemuka pada publik. Ini membuat Dian Rakyat, penerbit milik STA, mencetak ulang novel ini beberapa kali. Hingga Zaman Baru, penerbit dari Kota Petaling Jaya, Malaysia, menerbitkannya kembali (dan menjadi rujukan utama tulisan ini) pada 1965.
Mencari Manusia
SEBAGAI karya puncaknya, Armijn memang tampak mencurahkan dengan sungguh kemampuan literer hingga isi terdalam dari hatinya, pikirannya yang kuat dan cerdas, serta akhirnya keyakinannya dalam menghadapi kenyataan zaman yang galau oleh semangat perubahan. Caci maki? Ia tak peduli. Dalam pengantar di edisi Malaysia, ia menegaskan, "Kalau Keyakinan (kapital dari pengarang-pen) sudah menjadi pohon beringin, robohlah segala pertimbangan lain-lain." Dan itu ia tunjukkan dengan sangat liat-memikat lewat tokoh-tokohnya-terutama (Sumar)Tini-dalam romannya itu.
Tini, istri (Kar)Tono, protagonis dalam Belenggu, menemukan dirinya sebagai istri juga perempuan-yang problematis. Walau pada mulanya ia hanya berkeluh tentang perhatian suami yang habis untuk pekerjaan, cemburu pada perempuan-perempuan yang "diraba-rabanya", ia akhirnya juga menemukan konflik yang lebih dalam antara dirinya dan Tono. Tentang bagaimana seorang perempuan harus berperan sebagai perempuan, sebagai istri. Sebuah ide feminis yang sungguh sangat dini di negeri ini.
Ia menentang relasi perkawinan, sebagaimana pemahaman umum saat itu, yang menempatkan perempuan "... sebagai barang simpanan, berbedak dan berpakaian, bersih-bersih, sekali setahun dijemur di luar. Menanti suami sampai (ia) suka membawa keluar." Dengan lidahnya yang tajam, ia menerjang pendapat semua orang, juga suaminya sendiri. Katanya, "Aku berhak menyenangkan pikiranku, menggembirakan hatiku. Aku manusia yang juga berkemauan sendiri."
Bahkan meminjam bibir temannya, dik Tati, ia melihat perkawinan sebagai paksaan kebudayaan yang tak seorang pun berani menyimpang darinya. "Tetapi sekarang (mbak)Yu," tulis dik Tati dalam sebuah suratnya, "sudah tiba waktunya (menolak perkawinan). Kalau mesti, aku rela binasa." Tini memang tidak sampai seekstrem dik Tati. Dalam pengertiannya yang baru, ia masih menghargai perkawinan. Bahkan membutuhkannya. Membutuhkan Tono. Begitupun suaminya. Tono pun membutuhkan perkawinan, butuh istri, membutuhkan Tini.
Namun justru dalam relasi dua kebutuhan itulah, tragik cerita ini kemudian terjadi. Tini dengan gagasan-gagasannya yang merdeka dan Tono dengan harapan-harapannya akan istri yang "berlutut, membukakan tali sepatu" atau "menunggu suami dengan senyum yang murah di rumah". Tono yang sebenarnya ragu pada pendiriannya itu, pada dirinya sendiri yang terikat oleh angan-angan yang semu. Yang terbelenggu.
Seperti katanya, "... begitulah kita seperti di belenggu oleh angan-angan... oleh angan-angannya sendiri". Belenggu itu bukan lagi semacam penjara sosial, namun terali yang ia ciptakan sendiri. Dan bahkan ketika ia mencoba melepaskan belenggu itu, dengan berpaling kepada tokoh utama ketiga, Yah (Siti Rohayah, Ny. Eni, Siti Hayati), teman lama, seorang pelacur terpaksa, yang kemudian ia temukan sebagai pasien, Tono justru kian liat membuat dirinya terikat.
Dengan pembangunan cerita yang cukup dramatis, melalui gambar-gambar skenik yang filmis (di mana bagian-bagian cerita, seperti scene dapat berlompatan begitu saja, seketika, ke ruang dan waktu yang berbeda), Armijn Pane memperlihatkan konflik dalam diri seorang manusia yang mencoba menemukan kenyataan dirinya dalam satu situasi hidup yang sangat berbeda: zaman yang sangat kontemporer.
Bentuk monologue interieur dengan cakapan-cakapan yang cerdas juga saat berhadapan dengan kedua tokoh utama lainnya-tidak hanya memperlihatkan satu pergolakan batin yang dalam dan sugestif, tapi juga berhasil menciptakan ruang yang lebih lapang pada keberadaan manusia hingga lapisan-lapisan psikologis, filosofis hingga spiritualistis.
Tak mengherankan jika R.H. Lomme, pengamat sastra Indonesia kala itu, memandang roman ini sebagai karya yang eksistensialistis. Di mana, misalnya "... diulang-ulang pertanyaan ekstensial, seperti: apa perlunya hidup, apa yang kita ketahui, apa perlunya cinta... kehidupan neraka, kita tertumbuk pada tembok... suasana keragu-raguan dan putus asa...", tulis Lomme dalam review-nya di majalah Mimbar Indonesia.
Tapi, lebih dari itu, ide Armijn tentang manusia yang mengalami krisis-karena dunia baru menyangsikan keberadaannya dan dunia lama tidak sepadan lagi dengan kebutuhannya-bukan hanya menjadi tema yang sejajar dengan apa yang diungkap oleh banyak pengarang di negeri lain (mulai dari Samuel Beckett sampai Albert Camus, dari George Orwell hingga Graham Green), tapi juga mendahului Chairil Anwar yang memposisikan dirinya sebagai "ahli waris kebudayaan dunia", maupun kaum Manifes Kebudayaan yang melihat dirinya sebagai organ dari "humanisme universal".
Belenggu Waktu
MAKA menyepakati S.K. Trimukti saat mengatakan, "apa yang diperjuangkan (Armijn) ialah semangat peradaban", saya melihat roman Belenggu menyodorkan pada kita realitas manusia Indonesia yang sebenarnya dibelenggu oleh dirinya sendiri. Sebuah kenyataan yang kita masih dapat dengan mudah menyaksikannya di sekitar kita, bahkan dalam diri kita sendiri, saat ini.
Yang membelenggu kita bukan kekuatan-kekuatan luar, entah itu negara agresor, industrialis global, kapitalis tamak, merek ternama atau Hollywood, tapi justru jiwa yang sempit, pikiran yang kerdil, dan imajinasi yang pandaklah yang memenjara kita. Jelas di situ tersirat, sebagai sebuah bangsa, waktu seolah berhenti dalam diri kita. Kita tidak mampu membuat waktu itu "berjalan". Karena kita tidak memiliki satu hal yang membuat roda waktu berderak: ide.
Bukannya "kebudayaan dunia" atau "humanisme universal" yang justru kita warisi. Namun justru belenggu "Tono dan Tini"-lah yang membuat kita kehilangan daya cipta, kehilangan Jawa yang melahirkan wayang dan Borobudur, Bali dan kecaknya, Riau dengan zapinnya, Aceh dengan seudati, atau Betawi dengan Mandra, yang darinya kita melihat bianglala kultural dari seluruh penjuru bangsa, di nusantara, di dunia.
Sebagaimana roman Armijn dituntaskan, keadaan begini pun perlu diselesaikan. Dunia baru mesti dikonstitusikan, dunia lama jangan dilalaikan, dan manusia harus ditegakkan. Seperti Tono, yang akhirnya menerima wejangan Mangunsutjipto, tokoh pergerakan Budi Utomo-yang mbalelo karena membela kejawaannya-dan ia menemukan dirinya yang "modern" tetaplah "Jawa", dunia baru itu adalah larutan baru dari ruang dan masa.
Adalah sebuah gagasan yang menemukan manusia, tidak hanya dalam koordinat yang jelas dalam peta dunia, tapi juga sosok yang tegas dalam identitas kelompoknya. Dan jika dapat kita ciptakan itu, maka dengarlah Armijn tatkala ia menyeru pada dirinya sendiri, "Perahu tumpangan keyakinanku, berlayarlah engkau, jangan enggan menempuh angin ribut, topan badai, ketempat pelabuhan yang hendak engkau tuju. Berlayarlah engkau ke dunia baru".
(44) Belenggu Penerbit: Dian Rakyat, Jakarta (1940)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.