MINARSIH Wiranatakoesoemah, 24 tahun, sedang menyusui putri pertamanya ketika menerima kabar bahwa suaminya, Soedarpo Sastrosatomo, telah berangkat ke New York, Amerika Serikat. Kabar mendadak ini membuat dia menangis. Tak ayal, buah hatinya, Shanti Soedarpo, ikut menangis.
Soedarpo menjadi bagian dari delegasi Indonesia yang mengikuti sidang Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk memprotes agresi militer Belanda. Berangkat pada pertengahan Mei 1948, asisten Sutan Sjahrir itu bertugas menangani pers asing. Dua pekan kemudian, Minarsih menerima telegram.
Suaminya meminta ia segera menyusul. Minarsih segera membuat paspor pertamanya: paspor Indonesia dan Belanda. Dokumen itu kelar pada 8 September 1948. Yang menandatangani paspor itu Sekretaris Jenderal Kementerian Luar Negeri Soerjotjondro.
Paspor itu-bersampul biru, setebal 48 halaman, berlaku selama tiga tahun-buah dari diplomasi Sjahrir pada Perjanjian Linggarjati, 25 Maret 1947. Sebelumnya, paspor untuk bepergian ke luar negeri dikeluarkan oleh pemerintah Hindia Belanda.
Ini siasat Sjahrir. Saat itu, pemerintah Hindia Belanda menempuh berbagai cara untuk mengecilkan kemerdekaan Indonesia. Nah, dengan memiliki paspor sendiri, identitas Indonesia sebagai sebuah negara merdeka semakin tegas.
Minarsih memakai paspor Indonesia itu saat pesawat milik maskapai Belanda, KLM, yang ditumpanginya transit di kota-kota Asia seperti Bangkok (Thailand), Karachi (Pakistan), dan Kairo (Mesir). Minarsih baru memakai paspor Belanda saat pesawatnya mendarat di Bandara Schiphol, Amsterdam, Belanda, pertengahan September 1947.
Dari sini Minarsih menuju New York. Ia masih mengingat sebuah kisah menarik lain di negeri yang ia kunjungi itu. Saat tiba di Amerika, ia menyodorkan dua paspor, paspor Indonesia dan paspor Belanda. Oleh petugas imigrasi Amerika, mungkin karena bingung pada kolom negara dalam dokumen visa Amerika Serikatnya kemudian tertulis tangan dalam bahasa Inggris: "Istri dan anak perempuan petugas Pemerintah Asing yang tidak diakui oleh pemerintah Amerika Serikat."
Lahirnya paspor pertama Indonesia adalah buah kecerdikan Sjahrir dalam diplomasi. Kepiawaiannya dalam diplomasi pun harum hingga ke mancanegara. "An Atomic Bomb of Asia" adalah julukan yang diberikan kepadanya oleh seorang diplomat India, Sarojini Naidu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.