Gamang dalam politik massa, Partai Sosialis Indonesia gagal dalam pemilihan umum. Sjahrir pun terpinggirkan.
PEMILIHAN umum baru sehari berselang, 30 September 1955. Penghitungan suara belum lagi tuntas. Namun Sutan Sjahrir hakul yakin, Partai Sosialis Indonesia (PSI) kalah bertanding. ”Kita tidak mendapat dukungan rakyat,” katanya kepada sejumlah aktivis partai yang berkumpul di rumahnya di Jalan Jawa, Menteng, Jakarta Pusat.
Sebenarnya, sejumlah anggota partai masih berharap kabar lebih menggembirakan. ”Kami masih menunggu ada tambahan suara dari daerah,” kata Rosihan Anwar, yang ikut hadir di rumah Sjahrir. Rosihan, sekarang 86 tahun, saat itu adalah pemimpin harian umum Pedoman, salah satu media pendukung PSI. Ia juga calon wakil rakyat yang berlaga di daerah pemilihan Sumatera Selatan.
Hari-hari berikutnya, perhitungan suara selesai sudah. Benar kata Bung Kecil, ternyata partai yang ia dirikan pada 1948 ini hanya meraup 753 ribu suara dari total 38 juta pemilih, dan menempati urutan kedelapan. Jumlah suara itu hanya cukup mengantar lima kader PSI menuju Bandung, tempat wakil rakyat berkantor.
Toh, tiada nada kekecewaan dalam ucapan Sjahrir. ”Dia santai saja, bicaranya datar, tidak menunjukkan kekesalan,” kata Rosihan, yang juga tak terpilih menjadi wakil rakyat.
Dalam pesta politik pertama itu, empat partai tampil sebagai kampiun. Mereka adalah Partai Nasional Indonesia dengan 57 kursi, Majelis Syuro Muslim yang meraup 57 kursi, Nahdlatul Ulama dengan 45 kursi, dan Partai Komunis Indonesia yang mendapat 39 kursi.
Hasil pemilu ini membuat Partai Sosialis terasing dari koalisi pemerintahan yang dimotori Partai Nasional dengan patronnya Soekarno. Agaknya, gagasan sosialisme kerakyatan yang diusung Partai Sosialis ”kurang laku dijual”.
Tapi, jangan dulu kecewa. Masih ada pemilu ronde kedua, yakni pada 15 Desember 1955. Mungkin saja Partai Sosialis bisa meraih simpati lebih besar.
Ronde kedua pun digelar. Kali ini 35 peserta, partai dan perorangan, berlaga memperebutkan 514 kursi Konstituante. Ini lembaga yang dibentuk untuk menyusun konstitusi pengganti Undang-Undang Dasar Sementara 1950. Tapi, lagi-lagi, Partai Sosialis gagal unjuk gigi dan hanya bisa memperoleh sepuluh kursi. Empat juara dalam pemilihan sebelumnya memperoleh kursi rata-rata dua kali lipat.
Sejatinya, pertanda kekalahan Partai Sosialis sudah dirasakan sejak masa kampanye. ”Kami tidak punya sumber daya manusia yang cukup, dananya terbatas pula,” kata Rosihan.
Rosihan pun bukan kader partai. Dia merelakan namanya dicomot dan dijadikan calon anggota Dewan. ”Waktu itu koran saya, Pedoman, paling banyak dibaca di Palembang, dan kami mengira saya akan dipilih,” kata Rosihan. Apa boleh buat, perkiraan meleset. Dari daerah pemilihan Sumatera Selatan, tak ada calon Partai Sosialis yang mewakili.
Menurut Rahman Tolleng, 71 tahun, aktivis dan pengikut Sjahrir, awalnya Partai Sosialis tidak berniat mengikuti pemilihan umum. Sikap itu berubah setelah beberapa kali dilakukan pertemuan partai. Akibatnya, tanpa persiapan matang, partai ini terjun dalam kontes politik. ”Semuanya dilakukan tergesa-gesa,” kata Rahman.
Hanya dua bulan sebelum pemilihan umum, Partai Sosialis menggelar kongres kedua di Jakarta. Kongres yang di kemudian hari disebut Sjahrir, dalam sebuah artikel, sebagai ajang tamasya dan pesta bagi para peserta.
Rudolf Mrazek juga menekankan pertanda kekalahan yang tampak di masa kampanye. Penulis buku Sjahrir: Politik dan Pengasingan di Indonesia ini mengatakan bahwa Partai Sosialis menghadapi dilema untuk menceburkan diri dalam politik massa. Sebagai partai kader, rapat-rapat umum gamang dilakukan. ”Terbukanya partai merupakan proses yang sangat ragu-ragu,” katanya. Sitoroes, Sekretaris Jenderal Partai Sosialis Indonesia, menilai terbukanya partai hanya akan membuat partai tenggelam dalam aktivitas yang disebutnya sebagai ”politik murah” dan ”demagogi”.
Rosihan berkisah, Partai Sosialis tersapu gegap-gempita slogan partai rakyat miskin yang didengungkan Partai Komunis Indonesia. ”Partai Sosialis tak bisa mengumpulkan ribuan orang seperti yang dilakukan Komunis,” kata Rosihan. Rakyat miskin, yang menurut prediksi Sjahrir—dalam wawancara dengan George Kahin pada Desember 1954—sudah apatis dan mengalami kelesuan umum terhadap politik, ternyata berbondong-bondong memberikan suara.
Kepada Tempo, Apih Safari, 76 tahun, kader partai di Sumedang, Jawa Barat, menegaskan bahwa Sjahrir memang sengaja membatasi jumlah anggota partai. ”Partai itu tidak perlu banyak anggotanya, yang penting memahami teori perjuangan,” katanya. Di Sumedang, misalnya, Partai Sosialis Indonesia hanya memiliki 25 anggota.
Bukan Sjahrir jika tak percaya diri. Sjahrir tetap optimistis, tanpa pengerahan massa, partainya akan berhasil. Paling tidak, perolehan kursi bakal lebih banyak dibanding 14 kursi yang diduduki partai ini di Dewan Perwakilan Rakyat Sementara. Optimisme ini pula yang membuat Sjahrir memilih tidak melakukan pendekatan kepada tokoh masyarakat di tingkat lokal. Walhasil, seperti kita ketahui, Partai Sosialis kalah meskipun tidak gagal total.
Dua persen suara yang diperoleh Partai Sosialis, menurut Mrazek, adalah sebuah kejutan. Betapa tidak, partai ini dianggap berpengaruh besar bagi arah pemerintahan pada paruh pertama dekade setelah kemerdekaan. Pemimpinnya pernah dua kali menjadi perdana menteri. Organisasinya, menurut klaim Sjahrir, adalah yang paling rapi pada saat itu. Namun, ”Partai Sosialis menderita kekalahan yang menghancurkan, yakni kekalahan dalam politik massa,” tulis Mrazek.
Sjahrir boleh optimistis ketika para anggota partai berkumpul di rumahnya. Tapi tulisannya di sejumlah media jelas menunjukkan kekecewaan. Dalam artikel bertajuk ”Pemilihan Umum untuk Konstituante” di harian Sikap, 5 Desember 1955, ia menulis: ”Rakyat memberikan suara bukan berdasarkan motif agung. Melainkan karena mengikuti pemimpin yang mereka hormati dalam kehidupan sehari-hari. Bukan pahlawan, bukan pemuda revolusi, melainkan kiai, guru mengaji, lurah, dan mandor.”
Meski kecewa, Sjahrir tetap menunjukkan jiwa besar. ”Gambar keadaan spiritual rakyat dan bangsa kita, keadaan dan taraf pengetahuan dan kesadaran politik sudah diberikan oleh pemilihan umum ini, dan dapat diterima untuk masa depan kita,” tulisnya. Ia percaya bahwa demokrasi akan membuat bangsa ini lebih baik. ”Para politikus dengan kekurangan pengalaman dan pengetahuan mungkin dapat membawa negara ke jalan buntu, tapi seluruh rakyat akan membantu negara menemukan jalannya.”
Bagi Sjahrir, hasil pemilihan umum jelas-jelas menjadi pintu peralihan tanggung jawab urusan negara dari kaum terpelajar dan politikus—termasuk para pendiri bangsa—kepada rakyat. Dalam artikel bertajuk ”Problem the Country Faces”, dimuat majalah Atlantic Monthly, Sjahrir menulis: ”Pemilihan umum menunjukkan kesungguhan bahwa rakyat mampu mengambil bagian—meskipun kecil—dalam tanggung jawab negara.”
Mochtar Lubis, dalam Pejuang, Pemikir, dan Peminat, mengungkapkan bahwa Pemilihan Umum 1955 merupakan akhir karier politik Sjahrir. Namanya kian pudar, terpinggirkan oleh ramainya debat konstituante dan jatuh-bangun kabinet, tenggelam dalam gemuruh slogan revolusi.
Bagai meteor, Bung Kecil muncul di pentas Republik demikian cepat di usia belia, lalu hilang sekejap. ”Kegagalan Partai Sosialis dalam pemilihan umum secara pasti menutup pintu Sjahrir untuk kembali ke kedudukan tinggi dalam pemerintahan,” kata Mochtar. Sang Meteor telah hilang di angkasa luas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.