Oleh: VEDI R. HADIZ
DALAM sejarah Indonesia, Sutan Sjahrir adalah eksponen utama garis ideologis yang dapat disebut perpaduan antara tradisi sosial demokrasi dan liberalisme. Sebagai sosial demokrat, ia merupakan tokoh gerakan buruh yang andal pada 1930-an, dan menaruh perhatian amat besar terhadap masalah pendidikan rakyat. Liberalismenya terlihat antara lain dalam perhatiannya yang besar pula terhadap masalah perlindungan hak-hak individu dari tirani negara. Tak mengherankan bila ia menjadi musuh besar fasisme, baik yang berasal dari luar maupun dalam negeri.
Tidaklah mengejutkan bahwa ideologi yang diperjuangkan Sutan Sjahrir mengalami rintangan pada masa Demokrasi Terpimpin maupun Orde Baru yang otoriter. Tetapi, Indonesia sekarang adalah negara demokrasi, bahkan negara demokrasi yang paling tegak di seluruh Asia Tenggara mengingat beberapa perkembangan anti-demokratis di Filipina, dan terutama Thailand, belakangan ini. Sebagai negara demokrasi, barangkali kita berharap menemukan para ahli waris garis ideologi yang diperjuangkan oleh Sutan Sjahrir di antara berbagai kekuatan politik yang sekarang bersaing secara bebas dan terbuka untuk memimpin Indonesia.
Tetapi, dalam kenyataannya, sangat sulit mengidentifikasi adanya ahli waris langsung tradisi ideologis Sutan Sjahrir di antara sekian banyak tokoh dan partai politik yang sedang menyiapkan diri untuk bertarung dalam pemilu 2009. Yang terlintas dalam benak hanya sebuah partai kecil yang dirintis oleh ekonom (almarhum) Dr Sjahrir, yang tidak bisa diharapkan secara realistis menjadi salah satu petarung utama dalam ajang pemilu.
Sebenarnya hal ini merupakan cerminan suatu fenomena sosiologi dan politik yang agak aneh. Memang, Partai Sosialis Indonesia yang dipimpin Sutan Sjahrir diketahui meraih prestasi yang amat buruk dalam Pemilu 1955: hanya mampu memperoleh lima kursi di parlemen dan dua persen suara. Tetapi hasil ini dapat dijelaskan secara sosiologis dengan menunjuk kepada struktur sosial Indonesia pada waktu itu. Basis kemasyarakatan PSI boleh dikatakan agak terbatas dengan ketidakhadiran suatu kelas menengah yang berarti, yang diharapkan akan peduli dengan soal-soal hak dan kebebasan individu. Kelas buruh Indonesia juga masih amat terbatas, apalagi banyak anggotanya dapat diperkirakan justru menjadi sumber dukungan berarti bagi Partai Komunis Indonesia (PKI) yang berseberangan dengan Sutan Sjahrir. Struktur sosial semacam ini adalah konsekuensi perkembangan kapitalisme yang relatif terbatas, dan yang sedang mengalami stagnasi pada tahun-tahun awal kemerdekaan.
Mungkin saja benar bahwa PSI pada 1950-an telah menjadi anomali sebagai partai kaum intelektual di tengah suatu masyarakat dengan tingkat pendidikan yang rendah sekali. Tetapi jumlah kaum terdidik di Indonesia sekarang cukup banyak dibandingkan setengah abad yang lalu. Kaum buruh saja memiliki tingkat melek huruf yang lumayan tinggi sebagai hasil dari sistem pendidikan nasional yang diadakan secara meluas serta sudah tidak asing lagi dengan persoalan-persoalan hak. Pola konsumsi di kota-kota besar dan kecil di Indonesia memberikan indikasi hadirnya kelas menengah yang lebih signifikan dan juga beragam, termasuk kaum profesional yang kian mempunyai ambisi sosial tinggi.
Perubahan-perubahan tersebut pada dasarnya berkaitan dengan perkembangan kapitalisme yang pesat di masa lalu, terutama sebelum keanjlokan Orde Baru. Kalaupun sebuah partai sosial demokrat atau liberal belum dapat diharapkan menang dalam pemilu di Indonesia, seharusnya ia dapat memainkan peranan yang lumayan signifikan mengingat konteks yang sudah berubah. Tetapi, adakah Indonesia memiliki suatu partai liberal andal yang dapat dikatakan mewakili kepentingan kelas menengahnya? Apakah ada partai berhaluan sosial demokrat, atau bahkan lebih radikal, yang dapat dikatakan mewakili aspirasi kaum buruh Indonesia? Sekali lagi, dalam kenyataannya partai-partai semacam ini masih absen dalam kancah politik. Kalau begitu, di mana kita bisa menemukan ahli waris ideologi Sutan Sjahrir dalam masyarakat Indonesia yang sudah sepuluh tahun menikmati alam demokrasi?
Di masa Orde Baru, sebagian pengikut Sutan Sjahrir dapat ditemukan dalam peranan sebagai teknokrat pemerintahan. Sebagian lagi dapat ditemukan di kalangan oposisi politik, dalam berbagai organisasi kemahasiswaan dan kemasyarakatan. Sebagai golongan intelijensia, pikiran mereka mencuat dalam seminar-seminar tentang masalah politik dan pembangunan dan tidak jarang pula muncul dalam halaman opini surat kabar atau majalah berita.
Tetapi suasana depolitisasi yang dikembangkan secara sistematis oleh Orde Baru praktis menutup kemungkinan untuk betul-betul berorganisasi di tingkat bawah. Sementara itu, konstituen potensial suatu partai sosial demokrat ataupun liberal berkembang dalam suatu alam pemikiran tertutup yang bergelimang materialisme vulgar.
Kelas menengah kota Indonesia mengembangkan nilai-nilai sosial politik yang konservatif, dan untuk sebagian lebih memberikan tempat bagi perluasan sentimen xenofobis yang berlandaskan ikatan primordial sempit daripada hak-hak yang bersifat universal. Persoalan hak sosial dan politik dikesampingkan demi kenikmatan kehidupan material di bawah perlindungan rezim yang otoriter. Kelas buruh pun, dengan beberapa pengecualian, praktis tak terjamah secara politik, terlepas dari kegiatan organisasi di kalangan mereka yang meningkat cukup pesat pada 1990-an.
Karena itu kaum intelijensia sosial demokrat dan liberal sudah menjadi semakin terputus dari masyarakat ketika reformasi akhirnya bergulir. Mereka tak memiliki basis sosial yang kukuh untuk menjadi pemain inti dalam pertarungan reformasi. Akibatnya masih dirasakan sekarang: partai politik di Indonesia dikuasai oleh petualang dan pialang yang tidak bervisi dan berprinsip, tidak berpikir maju, dan hanya sibuk dengan politik tawar-menawar tak berkesudahan di belakang layar.
Demokrasi Indonesia pada dasarnya memerlukan partai-partai sosial demokrat, liberal—dan bahkan yang lebih radikal—untuk memberikan isi kepada kehidupan politik dewasa ini. Demokrasi Indonesia memerlukan partai-partai yang akan memberikan makna lebih substansial kepada hak-hak formal yang sudah dimenangkan dengan susah payah sejak kejatuhan Orde Baru. Partai semacam itu dibutuhkan untuk menyediakan tantangan kepada para penjarah dan koruptor masa lalu yang masih bercokol dalam berbagai institusi publik. Dengan kata lain, demokrasi Indonesia sedang mencari para ahli waris ideologis Sutan Sjahrir, yang bukan saja intelektual piawai melainkan juga mengakar pada masyarakat serta mampu berorganisasi secara efektif.
VEDI R. HADIZ
Staf pengajar Jurusan Sosiologi, Universitas Nasional Singapura (NUS)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.