SUASANA Jakarta mencekam pada hari itu, 2 Oktober 1965. Dua hari sudah lewat setelah pembunuhan enam jenderal Angkatan Darat pada 30 September 1965. Partai Komunis Indonesia dituduh bertanggung jawab dan para aktivisnya segera menjadi target penangkapan.
Njoto, Ketua II Comite Central Partai Komunis Indonesia dan salah satu menteri Kabinet Dwikora I baru pulang dari kunjungan dinas. Dia mendampingi Perdana Menteri I Soebandrio dalam turne ke Sumatera Utara. Malam telah tiba ketika ia tiba di rumahnya, Jalan Malang, Menteng Nomor 22, Jakarta Pusat. Tak sempat istirahat, ia segera mengajak istri yang sedang hamil dan enam anaknya meninggalkan rumah.
Keluarga ini mendatangi rumah para kerabat, mencari tempat mengungsi. Tak ada yang berani menampung mereka. Seorang teman di daerah Kebayoran yang justru bersedia memberi mereka tempat tinggal. Njoto hanya menitipkan istrinya, Soetarni, dan enam anaknya. Ia bergegas pergi lagi. "Kami cari tempat sendiri sendiri," kata Soetarni.
Soetarni dan anak anaknya tak lama di satu rumah. Mereka berpindah pindah. Pada suatu ketika, mereka menetap di Asrama Mahasiswa Concentratie Gerakan Mahasiswa Indonesia di daerah Gunung Sahari, Jakarta Pusat. Soetarni mengingat, pada akhir 1965, dua kali suaminya datang menjenguk. "Sekali tengah malam, sekali siang," ujarnya.
Soetarni mengatakan tidak pernah tahu tempat persembunyian suaminya. Ia menduga, Njoto masih tinggal di rumah mereka di Menteng. Bisa jadi dugaannya benar, paling tidak pada awal awal pelarian Njoto.
Amarzan Ismail Hamid, wartawan Harian Rakjat, koran yang berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia, mengatakan bertemu Njoto pada 6 Oktober pagi di Jalan Menteng. Ketika itu Njoto hendak berangkat ke Sidang Kabinet di Istana Bogor bersama M.H. Lukman, menteri negara yang juga Wakil Ketua I Comite Central Partai Komunis Indonesia.
Njoto dan Lukman sempat berdiskusi sebelum menuju Bogor. "Kalau hasil sidang jelek, kita ke Bandung. Kalau bagus, kita tetap di Jakarta," kata Amarzan menirukan pembicaraan keduanya. Ternyata, setelah sidang, mereka menganggap Soekarno masih menguasai keadaan. Mereka pun kembali ke Jakarta.
Menurut buku Gerakan 30 September/PKI Latar Belakang, Aksi, dan Penumpasannya yang diterbitkan Sekretariat Negara pada 1994, Njoto hadir di sidang atas perintah Ketua Umum D.N. Aidit dari pelariannya di Jawa Tengah. Melalui anggota Biro Khusus, Bono, ia mengirim pesan kepada Sudisman, Sekretaris Comite Central. Isinya, agar anggota Comite Central yang masih di Jakarta segera melakukan upaya penyelamatan partai. Ia juga meminta Njoto mewakilinya dalam Sidang Kabinet di Bogor.
Seorang kerabat M.H. Lukman mengisahkan, pada 5 Oktober malam, Njoto, Lukman, dan sejumlah petinggi PKI minus D.N. Aidit sempat berkumpul di kediaman Joesoef Isak, seorang wartawan yang dekat dengan Njoto, di daerah Kebayoran, Jakarta Selatan. Tapi ia mengaku tak mengetahui materi pembicaraan. "Mungkin koordinasi sebelum ke Bogor," katanya.
Ketika berdiskusi dengan Tempo pada suatu siang sebelum meninggal pada malam harinya akhir Agustus lalu, Joesoef membenarkan adanya pertemuan para petinggi PKI di rumahnya. Tapi ia tak bisa mengingat apakah pertemuan itu berlangsung sebelum atau sesudah 6 Oktober.
Kediaman Joesoef adalah salah satu tempat persembunyian favorit Njoto. Joesoef menuturkan, suatu ketika tentara sempat menggerebek rumahnya. Mereka melihat Njoto tapi membiarkannya dan justru memberi hormat karena tidak ada surat perintah penangkapan. "Sebelum jam malam selesai, Njoto kabur," kata Joesoef.
Seusai sidang kabinet di Bogor, sekelompok tentara membuntuti Njoto dan Lukman. Njoto memutuskan berpindah pindah tempat. Sebagai tokoh PKI, Njoto cukup berani ketika itu. "Dia masih keluyuran. Mungkin karena merasa PKI tidak bersalah," kata Bonnie Triana, peneliti sejarah Universitas Indonesia.
Sarbi Moehadi, 81 tahun, bekas Ketua Lembaga Kebudayaan Rakyat Pekalongan, Jawa Tengah, menyatakan Njoto sempat memimpin rapat konsolidasi di Slawi, Jawa Tengah, beberapa bulan setelah peristiwa 30 September. Menurut dia, Njoto meminta para pemimpin partai dan pegiat Lekra di daerah ini mempertahankan organisasi. Sarbi ditangkap beberapa bulan kemudian dan dipenjara 14 tahun.
Amarzan, kini 68 tahun, meragukan cerita Sarbi. Menurut dia, Jakarta paling aman untuk bersembunyi. Ke luar kota sama dengan mencari mati, katanya. Ia yakin, meski berpindah pindah, Njoto tak pernah lari ke luar Jakarta.
***
Seperti pelariannya, penangkapan Njoto masih menyisakan misteri. Sri Windarti, adik perempuannya, pernah mendapat cerita dari Edi, sopir pribadi Njoto. Menurut dia, sang sopir merasa diikuti seseorang ketika mengantar Njoto ke kantor, yang sekarang menjadi Sekretariat Negara. Edi sempat bertanya kepada Njoto: pulangnya dijemput di kantor atau di Istana Negara. "Si Mas hanya menjawab: sudah, jangan ditengok," kata Windarti.
Menurut cerita seorang pengawal Istana, kata Windarti, mobil Njoto dicegat dalam perjalanan. Tapi ia tak memperoleh cerita detail, termasuk waktu dan tempat, tentang peristiwa itu.
Irina Dayasi, anak kelima Njoto, mengatakan ada banyak versi cerita penangkapan. Versi pertama, ayahnya ditangkap dalam perjalanan pulang dari Sidang Kabinet di Bogor pada 6 Oktober. Ia menganggap versi ini paling tidak logis karena sejumlah orang mengatakan masih bertemu Njoto hingga Desember 1965. Versi kedua, Njoto ditahan setelah menemui Soebandrio. Versi ketiga, ditangkap dalam perjalanan dari kantor Kementerian Negara. Irina memperkirakan, ayahnya ditangkap sekitar Desember.
Menurut Amarzan, Njoto ditangkap dalam perjalanan di Jalan Tosari, Menteng, Jakarta Pusat. "Mobilnya disalip, lalu dicegat. Dia dikeluarkan, dipukul, kacamatanya jatuh. Itu yang saya dengar," katanya.
Sampai sekarang nasib Njoto tak jelas. Kuburannya, jika ia telah meninggal, tak diketahui. "Serba gelap," kata Irina.
Suatu ketika, beberapa tahun setelah peristiwa 30 September, beberapa temannya mendatangi seorang paranormal untuk mengetahui keberadaan Njoto. Sang dukun kerasukan dan "menjelma" menjadi Njoto. Ia menulis nama "Njoto" di papan. "Tulisannya agak miring, persis tulisan tangan Njoto," kata teman Njoto, yang menolak disebut namanya tapi ikut mendatangi dukun. Menjawab pertanyaan para "kliennya" soal keberadaan Njoto, dukun menjawab: "Ada di Jawa Barat."
Besan Soetarni, bernama Sugeng, adalah pensiunan polisi militer. Kepada Soetarni, Sugeng mengatakan pernah melihat Njoto di tahanan markas militer Guntur, Jakarta Pusat, ketika piket jaga pada suatu malam. Esoknya Njoto tidak ada lagi di tahanan itu.
Menurut Iramani, adik perempuan terkecil Njoto, ada cerita Njoto ditembak di daerah Tanjung Priok. Ia juga memperoleh versi lain, Njoto dibawa dari Rumah Tahanan Militer Budi Utomo ke daerah Bekasi, Jawa Barat, dan dihabisi di sana pada 13 Desember 1965. "Mana yang betul, saya tidak tahu," katanya.
Joesoef Isak mendapat informasi bahwa Njoto sempat ditahan selama dua hari di Rumah Tahanan Militer Budi Utomo. Cerita itu didapatnya dari seorang tentara yang tinggal di mes rumah tahanan, yang bercerita bahwa Njoto ada di situ. "Saya tanya dia: emang kamu tahu Njoto? Dia bilang pake kaca mata kan, gaya gaya Cina," kata Joesoef.
Menurut Joesoef, ciri ciri yang disebutkan tentara itu memang punya Njoto. Tapi Njoto hanya dua malam di sana. Setelah itu ia dibawa dua orang tentara entah ke mana. "Itu informasi pertama yang saya terima langsung," kata Joesoef.
Menurut Bonnie Triana, setelah diambil dari rumah tahanan militer, Njoto dihabisi di suatu tempat di Jakarta. Ia menambahkan, "Mayatnya dibuang ke Kali Ciliwung."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.