CINCIN emas itu masih melingkar di jari manisnya yang telah keriput. Di sisi dalam lingkaran terukir nama sang pemilik, Soetarni, dalam huruf italik. Inilah satu-satunya tanda cinta Njoto yang tetap menemaninya lebih dari setengah abad.
Njoto memberikan cincin tiga gram itu kepada Soetarni sebagai maskawin dalam perhelatan di Solo pada Mei 1955. "Selain cincin, tak ada lagi yang tersisa," kata Soetarni di Jakarta tiga pekan lalu. Di usianya yang senja, ningrat Mangkunegaran itu masih cukup jernih menuturkan masa lalunya.
Soetarni mengenal salah satu pemimpin Partai Komunis Indonesia itu sepuluh tahun sebelum perkawinannya. Ketika itu ia siswa Sekolah Susteran, semacam sekolah kepandaian putri setingkat SMP di Mangkunegaran, Solo. Di antara teman seangkatannya ada Sri Windarti, adik Njoto.
Satu hari, Windarti dan Njoto yang tinggal di Kemlayan, tak jauh dari Keraton Mangkunegaran, bersepeda ke Desa Palur, sekitar 10 kilometer di timur Solo. Ayah mereka menyuruh mengantar surat ke rekan bisnisnya, Nyai Nami Kesuma Darmojo. Setelah menjalankan tugas, kakak-adik itu mampir ke rumah Widna Harjono, seorang kerabat di Palur.
Pada waktu bersamaan, Soetarni dan adiknya, Soetarti, juga bertandang ke kediaman Widna. Mereka akhirnya kumpul bareng di gubuk belakang rumah. Disuguhi rujak dan hamparan sawah nan luas, obrolan mengalir renyah. Widna sempat meledek bahwa Soetarnilah jodoh Njoto. "Eh, beneran," kata Soetarni.
Pertemuan Palur berlanjut. Bila ada waktu senggang, Windarti bertamu ke rumah Soetarni di depan Stasiun Solo Balapan. Pun sebaliknya. Bila main ke Kemalayan, perempuan kelahiran 10 Juni 1928 itu kerap mendapati Njoto tengah bermain musik. Ia bisa memainkan gitar, juga drum.
Walau jarang bertemu, kata Soetarni, Njoto sering bersikap sok akrab. Kadang usilnya keluar, sebuah cubitan kerap mendarat di kulit Soetarni. "Biar dikejar," katanya dengan tawa berderai. Bila tak sempat tatap muka, pemuda itu sesekali berkirim surat, tanda hati rindu berat.
Saat-saat berbunga itu tak lama. Ketika pusat pemerintahan pindah ke Yogyakarta pada awal 1946, Njoto juga hijrah ke kota pendidikan itu setelah masuk Komite Nasional Indonesia Pusat. Sejak itu, tak ada surat ataupun selentingan kabar tentang Njoto.
Kisah dua sejoli ini berjalan sendiri-sendiri. Selain sekolah, Soetarni aktif di tim olahraga Solo. Ia mewakili kota batik itu dalam pekan olahraga nasional untuk cabang bola keranjang, olahraga semacam basket. Raden ajeng itu sempat beralih menjadi atlet anggar. Keterampilan ini ia peroleh dari ayahnya, Raden Mas Sumo Sutargio.
Dalam periode itu, Soetarni sempat dekat dengan seorang tentara. Namun hubungan itu tak sempat beranjak ke pelaminan.
Menurut Soetarni, Njoto yang sudah aktif di PKI sempat menjalin asmara dengan beberapa gadis. Setelah tragedi Madiun 1948, Njoto pindah ke Jakarta. Di sana ia tinggal bersama keluarga Cina. Njoto jadi anak kesayangan dan mendapat nama fam keluarga itu. Anak gadisnya juga jatuh hati. Sekali dua mereka nonton film bareng.
Di Jember, Jawa Timur, Njoto juga punya tambatan hati. Namun, karena lama tak ada kejelasan, ibu si gadis meminta hubungan keduanya disudahi. Ia memberikan ultimatum, bila dalam satu bulan Njoto tak juga mengajukan pinangan, anaknya akan dikawinkan dengan pria lain. Kekasih Jembernya itu menemui Njoto di Yogyakarta, dan ia dipersilakan mengikuti kehendak ibunya.
Berbarengan dengan itu, Njoto terus bergelut di partai, bergerak dari Jakarta ke Yogyakarta atau kota yang lain. Pada awal 1955, ia meninggalkan Batavia menuju Jember menggunakan kereta api untuk menengok kakeknya yang sakit. Dia menyempatkan diri singgah di Solo barang seharmal.
Sepucuk surat ia berikan kepada Iramani. Adik bungsunya itu mendapat tugas menyampaikannya ke Soetarni. Di pekarang rumah, ia mendapati Soetarni sedang menyapu halaman. Wajahnya merona begitu membaca surat yang berlembar-lembar itu.
Melalui surat yang panjang tadi, Njoto meminang Soetarni. Gadis itu tak kuasa menolak permintaan mantan kekasihnya. Deretan kata-kata dalam lembaran kertas tersebut membuatnya takluk. Di antaranya ada janji setia sehidup semati. "Juga, janji menjadi suami yang baik," kata Soetarni.
Hasrat berumah tangga itu diutarakan Njoto ke Windarti seusai Kongres Partai Komunis di Solo. Dalam santap malam yang ditemani Mula Naibaho, kawannya di Harian Rakjat, Njoto mengatakan akan melamar seorang raden ajeng. "Tak mengira sama teman saya," kata Windarti.
Tak berselang lama, datanglah keluarga Jember. Di antaranya ada Masalmah, ibu Njoto, serta kakeknya. Rombongan itu menginap di rumah Soetarminah, kakak Soetarni, yang juga tak jauh dari Stasiun Solo Balapan. "Acaranya malam," kata Iramani.
Sebulan kemudian, pesta digelar. Hampir semua kerabat Mangkunegaran hadir. Raden Mas Soemoharjomo dan Raden Ayu Hatmanti, orang tua Siti Hartinah Soeharto, menjadi pendamping kedua mempelai dalam resepsi adat Jawa itu. Menurut Iramani, kendurian itu menjadi spesial lantaran tamu undangan dihibur band teman-teman Njoto.
Pesta syukuran kembali digelar di Jember. Setelah itu, keduanya berbulan madu ke Surabaya, Bondowoso, lalu Bali. Sebulan lebih bertamasya, mereka kemudian tinggal di Jakarta.
Rumah di Jalan Bluntas, Jakarta Pusat-belakang Rumah Sakit St. Carolus-menjadi kediaman pertama. Dua anaknya lahir di sini. Setelah Njoto menjabat menteri negara dan Wakil Ketua Comite Central PKI, mereka pindah ke Jalan Malang 22, Menteng. Di sini mereka kembali dikarunai lima anak.
Soetarni merasa janji Njoto menjadi suami yang baik terpenuhi. Walau sibuk mengurus partai dan pemerintahan, perhatian Njoto tak berkurang. Kadang, pekerjaan dibawa pulang agar berkumpul dengan keluarga. Bila capai, ada saja idenya. Ia sering mengajak jalan-jalan sekadar mencari rujak atau jajanan lain. Jika sopir kedapatan sedang istirahat, mereka naik becak. "Bapak tak bisa nyopir," kata Svetlana Dayani, anak pertama Njoto.
Gaya supel nan rame Njotolah yang membuat istrinya nyaman. Sebagai seniman, sikap romantis suaminya pun kerap muncul, yang membuat Soetarni serasa terbang. "Wah, manis sekali memakai baju ini," kata Iramani mengingat puji-puji kakaknya. Bila tidak cocok, Njoto mengatakan dengan pilihan kata yang tetap indah.
Njoto juga tak segan mengajak istrinya menghadiri kegiatan kenegaraan atau acara informal lain, seperti melihat pertunjukan wayang atau ludruk. Sesekali mereka ke Senayan menyaksikan pertandingan sepak bola.
Soetarni juga bebas beraktivitas. Dia masih kerap bermain anggar. Sesekali ikut menceburkan diri ke kolam sembari menemani anak-anaknya kursus renang. Namun, status sebagai atlet ia tinggalkan. Ia memilih membesarkan buah hatinya.
Menurut Soetarni, suaminya juga pendongeng unggul. Kancil menjadi cerita favorit pengantar tidur anak-anaknya. "Tapi sering ngawur, cerita mencong-mencong, bikin sendiri," katanya. Bila turut ketiduran, Njoto suka mengigau. Kadang sampai tepuk tangan. "Kalau saya ceritakan, dia tak percaya."
Namun semua kebahagiaan itu direnggut setelah 30 September 1965. Sebagai petinggi PKI, Njoto diburu tentara. Sebelum menghilang, Njoto mengungsikan keluarganya ke daerah Kebayoran Baru. Nyatanya, Soetarni dan anak-anaknya juga dijebloskan ke penjara.
Selama sebelas tahun Soetarni berada di balik jeruji. Ia dipindah berkali-kali, dari penjara Wonogiri dan Plantungan di Jawa Tengah, hingga Bukit Duri, Jakarta. Di sel-sel itu, sipir selalu menanyakan Njoto. "Justru saya yang mau tanya di mana suami saya," jawab Soetarni. Ia baru bebas pada 1979.
Walau sebagian hidupnya habis di balik jeruji penjara, Soetarni tak pernah menyesal menjadi istri Njoto. Ia tak menyalahkan suaminya karena masuk PKI. Penjara tak melunturkan cintanya. Hanya, selain cincin emas itu, kini tak ada lagi barang kenangan Njoto. Satu per satu hilang atau sengaja dilenyapkan untuk menghindari pengejaran tentara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.