Saat itu sebenarnya Njoto punya sepeda baru, hadiah dari bapaknya. Dengan sepeda itu bocah lanang semata wayang dari tiga bersaudara ini saban pagi berangkat ke sekolah, HIS (Hollands Inlandsche School, setaraf sekolah dasar) di Jember. Tapi mengayuh sepeda saja belum cukup. Ingin benar Njoto kecil menjelajahi jalanan Jember dengan sepatu ajaib beroda yang mungkin dilihatnya di surat kabar itu.
Singkat kata, permintaan sepatu roda Njoto ini sampai juga ke telinga Raden Sosro. Beruntung, pemilik usaha pembuatan blangkon dan jamu ini mengabulkan permintaan Njoto. Sepatu roda pun dibeli. Pak Raden secara khusus memerintahkan dua penjaga Yosobusono, toko batik milik keluarga Sosro, untuk menjaga Njoto agar tidak jatuh saat belajar meluncur dengan sepatu roda.
Walhasil, saban sore setelah toko batik tutup, Njoto siap beraksi. Dua karyawan toko yang masih terhitung kerabat Pak Raden itu turut sibuk bergerak. Mereka berjaga di sisi kanan dan kiri Njoto yang limbung ke sana kemari. Lek Njot, si anak majikan, tak boleh jatuh.
Tak lama, Njoto mulai lancar bersepatu roda. "Dalam sehari saja ia sudah bisa," kata Sri Windarti, adik Njoto yang selisih dua tahun umurnya dengan sang kakak. Sri tinggal di Medan, bersama keluarga Iramani, adik bungsu Njoto yang terpaut usia 18 tahun.
***
Lelaki blasteran Solo Jember ini lahir pada 12 Januari 1927 di rumah kakeknya, Marjono, seorang pemborong yang memiliki rumah bertingkat tiga di Jember. Sejak kecil Njoto berpembawaan serius seperti bapaknya. Hobinya pun membaca, seperti yang ditekankan oleh Raden Sosro, yang mewanti wanti anak anaknya agar rajin membaca dan bukannya keluyuran.
Saat bersekolah di HIS, Njoto tinggal bersama kakek dan nenek dari pihak ibu di Kampung Tempean, Jember. Adiknya, Sri Windarti, turut serta. Ini karena Raden Sosro ingin anak anaknya bisa belajar di sekolah Belanda, yang jauh lebih teratur kurikulumnya, ketimbang sekolah rakyat untuk orang kebanyakan di Bondowoso, sekitar 30 kilometer utara Jember.
Sepulang sekolah, Njoto terkadang bermain sepak bola di lapangan tak jauh dari rumah kakeknya. Tentu juga menjelajahi jalanan dengan sepatu roda. Masa kecil yang riang.
Urusan belajar bukan berarti terabaikan. Menjelang sore, bersama Sri Windarti, dia naik dokar ke rumah seorang pengajar tambahan bernama Meneer Darmo. Waktu belajar plus ini mulai pukul lima sore hingga delapan malam.
Njoto kecil tumbuh dengan cita cita menjadi jurnalis. Kepada ayahnya, Njoto juga menyampaikan tekadnya untuk menguasai berbagai bahasa asing, seperti Inggris, Jerman, Belanda, Rusia, dan Prancis.
Sejak kecil Njoto tidak menyukai struktur sosial yang bertingkat dan cenderung kaku. Pada hari raya Idul Fitri, misalnya, dia merasa tak nyaman menyaksikan suasana feodal Jawa itu di rumah orang tuanya di Bondowoso. Ketika sanak kerabat dan para pekerja batik sowan menghadap Pak Raden, Njoto memilih cabut dari rumah, bersepeda, dan nongkrong di tempat pemandian umum Tasnan. Pemandian ini terletak sekitar tujuh kilometer dari rumah dan masih ada hingga kini.
Setamat HIS, Njoto melanjutkan sekolahnya ke Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), semacam sekolah menengah pertama, di Jember, yang bisa dimasukinya tanpa tes. Namun, ketika tentara pendudukan Jepang datang, sekolah Belanda ini tutup. Sang bapak, yang membaca situasi darurat masih akan lama, memindahkan sekolah kedua anaknya itu ke MULO yang dibuka Jepang di Solo, Jawa Tengah. Di kota batik inilah kakek dan nenek dari pihak bapak tinggal.
Di kota ini, Raden Sosro membeli rumah di Desa Kemlayan Wetan 142, di kawasan Kauman. Selain sebagai tempat tinggal kedua anaknya, rumah ini 0menjadi tempat membuka usaha batik tulis, yang memproduksi sarung batik, kain panjang, kemben, dan blangkon.
Sabar Anantaguna, salah satu penggiat di Lembaga Kebudayaan Rakyat, pernah satu sekolah dan sekelas dengan Njoto di MULO Solo. Penampilan Njoto, seingatnya, cukup rapi dan terawat. "Dia pakai celana panjang," kata Sabar, "sedangkan saya pakai celana pendek karena miskin." Di sini ia tetap bersepeda ketika pergi pulang sekolah.
Njoto pintar bergaul. Tak aneh jika guru menunjuknya sebagai ketua kelas. Bakatnya di bidang tulis menulis lebih menonjol dibanding olahraga.
Suatu ketika Njoto membuat karangan tentang para penjudi sepak bola yang kecewa. Para penjudi itu, begitu ia menulis, sudah berkumpul di pinggir lapangan siap menyaksikan pertandingan. Apa daya, hujan tiba tiba turun dan pertandingan langsung bubar. Para penjudi kecewa karena batal bertaruh. Karangan ini, seperti beberapa karangan Njoto lainnya, dibacakan guru di depan kelas.
Selain pintar menulis, Sri Windarti mengenang, kakaknya hobi menikmati musik klasik, bermain gitar, dan mengarang beberapa lagu. "Dia sendiri tidak menyanyi. Saya yang disuruh menyanyi," kata Windarti.
Njoto membentuk grup Suara Putri, yang berisi empat penyanyi remaja putri yang salah satunya adalah Windarti. Mereka berlatih bernyanyi sambil diiringi petikan gitar Njoto. Salah satunya lagu Wanita Asia, yang sempat mereka nyanyikan di stasiun radio di Solo dan belakangan direkam dalam piringan hitam. Lagu ini memuji ketegaran perempuan Asia plus menyanjung kedatangan Jepang yang melibas Belanda. Setelah Jepang hengkang pada 1945, lagu ini dilarang.
***
Tempo mencoba menelusuri rumah di Desa Kemlayan Wetan itu, tempat Njoto menghabiskan hari hari yang penuh energi. Rumah bertembok tinggi di Jalan Empu Gandring 141 itu kini menjadi rumah kos. Pintu gerbangnya yang cokelat tertutup rapat. Tembok pagar setinggi sekitar tiga meteran itu berwarna putih dan kusam. Seorang perempuan yang membuka pintu mengatakan, "Pemilik rumah tidak ada. Semuanya kos di sini." Pintu gerbang kembali ditutup. Jalanan lengang.Sri Honing, 74 tahun, warga asli Kemlayan, berkisah kepada Tempo. Honing masih ingat salah seorang warga pendatang yang bernama Njoto. "Dia bersekolah di sini," kata Sri Honing, yang tinggal tak jauh dari rumah indekos tadi. Njoto, menurut Honing, tidak lama tinggal di Kemlayan, hanya sekitar tiga tahun.
Kemlayan dikenal sebagai kampung seni. Ini tecermin dari nama kampung itu, Kemlayan, yang berasal dari kata mloyo, yang merujuk pada para penabuh gamelan Keraton Kasunanan Surakarta, yang banyak tinggal di sini.
Tempo kemudian menelusuri jejak MULO. Sekolah peninggalan Belanda itu telah berubah menjadi Sekolah Menengah Kristen Mertoyudan, dengan enam kelas dan 203 siswa. Sebuah prasasti bertahun 1924 tampil di halaman. "Saya tidak tahu dulu sekolah apa pada zaman Belanda," kata Nanik Setiawati, salah satu guru.
Di Jawa Timur, jejak rumah orang tua Njoto di Jalan P.B. Sudirman, Bondowoso, juga tertinggal samar. Rumah itu telah berubah menjadi rumah toko yang sudah tak lagi beroperasi. Menurut Umi, salah satu kerabat keluarga Njoto, toko itu sekarang dimiliki seorang pedagang Tionghoa dan sudah lama tutup. "Itu dulu rumah ayah Lek Njot," kata dia menunjuk ke seberang dari tokonya yang berjualan tape. Sebuah warung pecel ada di depan rumah. "Bapak saya yang menyewa sejak setahun lalu," kata Titut, penjual pecel.
Nasib rumah Marjono, kakek Njoto, di Kampung Tempean, Jember, tak kalah sunyi. "Pemiliknya, orang Situbondo, pulang kampung karena sakit," kata Saenal, Ketua RW. Rumah itu terletak di Gang Tiga persis berseberangan dengan makam seorang tokoh lokal, Mas Cholilah, di Jalan Samanhudi.
Jupri Ahmari, 74 tahun, sesepuh di Kampung Tempean, bertutur tentang asal mula nama kampung. "Dulu, banyak orang membuat tempe, maka disebut Tempean," katanya. Kampung ini termasuk basis komunis pada era 1960. Kini, jejak itu memudar seiring dengan berkembangnya sebuah taman pendidikan Al Quran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.