Oleh: Asvi Warman Adam
Pertanyaan seberapa besar atau seberapa kecil peran Aidit dalam Gerakan 30 September mengimplikasikan bahwa ia terlibat dalam manuver politik tingkat tinggi tahun 1965. Versi-versi dalang peristiwa tersebut yang selama ini bersifat tunggal (PKI, Angkatan Darat, Soekarno, Soeharto, CIA, dst.) tak luput dari kritik. Peristiwa yang begitu kompleks tidak mungkin dilakukan satu orang, satu kelompok, atau satu golongan saja. Dalang peristiwa itu lebih dari satu, sehingga analisis Bung Karno sebagaimana disampaikan dalam pidato Nawaksara tahun 1967 dianggap lebih tepat. Menurut Soekarno, peristiwa itu merupakan pertemuan tiga sebab: keblingernya pimpinan PKI, subversi Nekolim, dan adanya oknum-oknum yang tidak benar.
Kalau digunakan matematika sederhana, andil masing-masing pihak yang disebut dalam pidato Nawaksara itu 33,33 persen. Tulisan ini mencoba mengelaborasi persentase tersebut. Mana yang lebih menentukan, pihak asing atau unsur dalam negeri?
Pimpinan PKI yang "keblinger" itu adalah Biro Chusus yang diketuai langsung Aidit di mana Sjam Kamaruzzaman boleh dikatakan direktur eksekutifnya. Nekolim (Neokolonialisme) tentu mengacu kepada Amerika Serikat (AS), sungguhpun arsip yang terbuka belakangan memperlihatkan bahwa Inggris dan Australia juga mendukung sepenuhnya gebrakan membasmi komunis. Namun dalam kategori pihak asing itu tentu tidak dapat diabaikan peran Uni Soviet (termasuk Pakta Warsawa, konon agen asal Cek, Ladislav Bittman, terlibat) dan RRC. Sebelum meletusnya Gerakan 30 September, dokter-dokter Cina telah keluar-masuk Istana Presiden. Arsip Jepang mengenai tahun 1965 juga perlu diperiksa.
Rumusan "oknum yang tidak benar" itu konon penghalusan dari "jenderal yang tidak benar". Proses penulisan pidato Nawaksara itu sendiri perlu diteliti karena Soekarno meminta masukan dari beberapa tokoh. Apakah yang dituju Soekarno adalah Soeharto (yang pada masa awal beraliansi dengan Nasution)? Atau termasuk juga Untung dan Latief?
"Keblingernya" Aidit disebabkan situasi yang sangat meruncing saat itu. Menjelang peristiwa itu, kekuasaan terpusat pada tiga pihak, yakni Soekarno, PKI, dan Angkatan Darat (AD). AD menguasai senjata, sedangkan PKI mendominasi dukungan massa. Kalau saat itu diadakan pemilu, niscaya partai komunis akan menang. Sebab itu kekuatan antikomunis seperti Jenderal Suhardiman mengupayakan Soekarno menjadi presiden seumur hidup agar status quo tetap terjaga. Bung Karno sendiri tidak pernah memberikan kesempatan kepada elite komunis memimpin departemen kecuali jadi menteri negara. Soekarno juga menolak usulan pembubaran Himpunan Mahasiswa Islam oleh mahasiswa kiri. Kekuatan Soekarno selain dukungan masif dari rakyat juga terletak pada kemampuan menjaga perimbangan politik. Ia akhirnya jatuh karena keseimbangan itu patah setelah meletus Gerakan 30 September.
Kondisi perekonomian yang terpuruk, suasana politik yang kian panas karena konflik tanah dan kebudayaan, konfrontasi dengan Malaysia dan agitasi terhadap pihak asing (AS dan Inggris), serta beredarnya dokumen Gilchrist dan Dewan Jenderal, menyebabkan semua pihak bersiaga. AD dapat mengkudeta Soekarno namun tidak akan didukung rakyat dan dunia internasional. PKI tidak punya senjata untuk makar. Dalam konteks ini, bila AD mengambil langkah lebih dulu dan berhasil, Presiden akan terguling dan selanjutnya PKI akan dibasmi. Karena itu, manuver Dewan Jenderal (yang keberadaannya dipercayai sang ketua) harus dicegah. Rapat antara motor Biro Chusus PKI, Sjam (pihak sipil) dengan Untung dan Latief (unsur militer) memilih cara yang "lazim" dalam sejarah revolusi Indonesia, yakni culik. Para Jenderal itu akan diculik dan dihadapkan kepada Bung Karno. Bila mereka dipecat atau dipermalukan, ancaman kudeta tidak terjadi lagi dan selanjutnya pihak kiri tentu dapat meminta kursi pimpinan departemen kepada Presiden.
Konsep culik sudah dipraktekkan sejak Desember 1945, ketika terjadi penculikan dan pembunuhan terhadap Menteri Negara Otto Iskandar di Nata. PM Sjahrir juga pernah diculik walaupun kemudian ia kembali dengan selamat. Bahkan Soekarno dan Hatta pada hakikatnya pernah diculik oleh pemuda sehari sebelum Proklamasi. Pada 1980, Soeharto berpidato bahwa ia tidak segan memerintahkan untuk menculik seorang anggota MPRS bila mereka mencoba mengubah UUD 1945. Pidato tersebut mendapat penentangan dari kelompok yang kemudian dikenal sebagai Petisi 50. Sebelum akhir pemerintahan Soeharto, anggota komando khusus TNI AD telah menculik beberapa orang aktivis.
Karena misi utamanya hanya penculikan, maka dapat dipahami keanehan struktur Gerakan 30 September yang dipimpin seorang letnan kolonel, tetapi membawahkan perwira yang lebih tinggi pangkatnya. Dengan alasan menyelamatkan Presiden, gerakan itu dipimpin oleh Komandan Batalion Cakrabirawa. Persiapan militer tidak dilakukan secara besar-besaran karena tujuannya bukan menguasai ibu kota.
Namun ternyata penculikan terhadap tujuh orang jenderal itu gagal, karena hanya tiga orang yang masih hidup ketika dibawa ke Lubang Buaya. Ketika dilapori peristiwa ini, Soekarno di pangkalan AU Halim Perdanakusuma memerintahkan agar mereka menghentikan gerakan. Terjadi kekalutan karena ternyata di dalam gerakan itu tidak ada satu komando yang dapat mengambil keputusan tunggal. Sjam hanya koordinator antara Biro Chusus dan perwira militer.
Keblingeran pertama dari Biro Chusus PKI adalah keterlibatan mereka dalam perencanaan penculikan. Keblingeran keduanya adalah meneruskan gerakan dengan menyiarkan dokumen kedua (tentang pendemisioner kabinet Dwikora) dan dokumen ketiga (penyesuaian pangkat militer tertinggi menjadi letnan kolonel) setelah terjadi kevakuman enam jam pada tanggal 1 Oktober 1965. Padahal, dalam percobaan kudeta, satu menit pun sangat berharga.
Kalau perintah Soekarno untuk menghentikan Gerakan 30 September itu dipatuhi, mungkin korban yang jatuh tidak banyak. Kalau Soeharto yang membangkang perintah Presiden untuk datang ke Halim Perdanakusuma langsung dipecat oleh Soekarno tentu sejarah Indonesia akan berbeda. Kekurangan utama Soekarno adalah karena ia menganggap enteng seorang Mayor Jenderal Soeharto.
Siapa yang diuntungkan?
Peran seseorang atau kelompok dalam suatu kegiatan berbanding lurus dengan keuntungan yang (akan) diperolehnya. Dalam peristiwa 1965 itu Soekarno adalah pihak yang dirugikan karena selanjutnya ia kehilangan jabatannya, sedangkan Soeharto sangat diuntungkan. Ia yang selama ini kurang diperhitungkan berpeluang meraih puncak kekuasaan karena para seniornya telah terbunuh dalam satu malam. Yang sangat dirugikan pula adalah bangsa Indonesia secara keseluruhan karena enam jenderal, empat perwira, seorang gadis cilik, dan sekitar setengah juta orang terbunuh setelah peristiwa tersebut. Yang paling diuntungkan dari tragedi nasional tersebut tak lain dari Nekolim.
Tahun 1965 menjadi watersheet, pembatas zaman. Terjadi perubahan drastis secara serempak dalam segala bidang. Politik luar negeri Indonesia menjadi lembek dan pro-Barat. Ekonomi berdikari berubah jadi ekonomi pasar yang bergantung pada modal asing dan utang. Polemik dalam bidang politik dan kebudayaan berganti dengan asas tunggal yang tidak membiarkan kritik.
Pergantian Duta Besar Howard Jones dengan Marshal Green bulan Juni 1965 menandai perubahan rencana AS terhadap politik Indonesia. Kelompok kiri didorong untuk melakukan suatu gerakan sehingga ada alasan bagi AD untuk menumpasnya sampai habis. Skenario model AS itu lebih didukung arsip sejarah ketimbang imajinasi seorang profesor gaek bernama Victor Fic bahwa Mao Tse Tung menyuruh Aidit mengambil kekuasaan. Anehnya, Soekarno kok mau dan membiarkannya. Selanjutnya Bung Karno akan beristirahat di danau angsa Cina.
Dialog imajiner itu berbunyi:
Mao: Kamu harus bertindak cepat.
Aidit: Saya khawatir AD akan menjadi penghalang.
Mao: Baiklah, lakukanlah apa yang saya nasihatkan kepadamu, habisi semua jenderal dan para perwira reaksioner itu dalam sekali pukul. Angkatan Darat lalu akan menjadi seekor naga yang tidak berkepala dan akan mengikutimu.
Aidit: Itu berarti membunuh beberapa ratus perwira.
Mao: Di Shensi Utara saya membunuh 20.000 orang kader dalam sekali pukul saja.
Tulisan Fic bersumber dari harian The Straits Times, Singapura, 26 April 1966, yang mengutip tulisan anonim di Harian Angkatan Bersenjata, Jakarta, 25 April 1966. Siapa penulis anonim di Jakarta itu? Menurut keterangan Salim Said yang saat itu wartawan pemula Harian Angkatan Bersenjata, harian tersebut memiliki versi bahasa Inggris. Apakah penerbitan itu bekerja sama dengan pihak AS dan Inggris? Yang jelas, arsip departemen luar negeri AS mengakui bahwa mereka memberikan daftar pengurus PKI di Indonesia kepada pihak AD melalui Adyatman, sekretaris Adam Malik. Juga mereka memberikan bantuan dana Rp 50 juta kepada KAP (Komite Aksi Pengganyangan) Gestapu yang terbentuk setelah meletus Gerakan 30 September serta dipimpin oleh Subchan Z.E. dan Harry Tjan Silalahi.
Setelah membaca berbagai buku dan arsip, saya cenderung menganggap pemikiran Soekarno bahwa Gerakan 30 September adalah pertemuan dari tiga sebab merupakan analisis yang paling lengkap dari berbagai versi tunggal yang ada. Andil ketiganya (keblingeran pimpinan PKI, Nekolim, dan oknum yang tidak benar) tidak sama. Menurut hemat saya, faktor kedua, yakni Nekolim, merupakan pemegang saham mayoritas.
Beijing, 19 September 2007
Asvi Warman Adam, Peneliti LIPI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.