TIBA-TIBA ia balik badan. Ajengan Masduki di depannya ia tinggalkan. Hadi Surya lari, menghidupkan motor bebek, lalu memacunya ke luar desa. Surat dalam amplop putih yang sedianya hendak disampaikan kepada Imam Darul Islam itu masih ia bawa. "Enggak tega saya setelah melihat dia," ujar Hadi, kini 47 tahun, saat ditemui di rumahnya di Bandung tiga pekan lalu.
Hadi masih ingat, pada Februari 1995, ia diutus Abdurohim Toyib, pemimpin Darul Islam Jawa Tengah, menyampaikan surat untuk Ajengan Masduki. Ketika itu, Hadi komandan Darul Islam Wilayah Semarang. Mengendarai sepeda motor dari Solo, ia menuju Desa Beji, Purwokerto, Jawa Tengah, tempat tinggal Ajengan setelah lari dari asalnya di Cianjur, Jawa Barat.
Ia bertemu dengan sang Imam di rerimbunan tanaman singkong dan ubi jalar. Di sekelilingnya empang lele seluas 600 meter persegi. Ajengan Masduki alias Damhuri, ketika itu 63 tahun, sedang santai di empangnya. Menyambut Hadi, Damhuri melepas caping, mengangguk, tersenyum, dan menghampiri.
Hadi Surya bukan orang asing bagi Ajengan. Sejak 1980-an, Hadi sering datang mengaji ke tempatnya. Pada saat yang sama, Hadi juga mengaji ke Abdullah Sungkar di Solo. Sang guru yang lari dari kejaran rezim Orde Baru ke Malaysia itu telah banyak bergaul dengan aktivis dari Afganistan, Yaman, dan Arab Saudi. Dia menekuni ajaran salafi jihadi dan kemudian mendirikan Jamaah Islamiyah. Kepada murid-muridnya, Sungkar menyatakan sejumlah ajaran Ajengan Masduki menyimpang dari Islam.
Kepada Tempo, Hadi mencontohkan, Ajengan mengajarkan kisah Raja Zulkarnaen yang bertanduk. Juga cerita lembah di Pandeglang, Rangkas Bitung, yang menjadi tempat bertemunya roh Sembilan Wali. "Kalau berdoa di sana, niscaya dikabulkan," kata Hadi.
Surat yang dikirim Abdurohim Toyib berisi pernyataan pemisahan diri Abdullah Sungkar dari Darul Islam. Tapi hati "sang kurir" menjadi luluh demi melihat Ajengan. Di ujung jalan, Hadi tertegun: "Ke mana surat itu mesti saya kasih?" Dia pun menuju rumah orang kepercayaan Ajengan, Kholid Sarbini. Surat diterima Abdul Gofar anaknya. "Saya wanti-wanti agar surat itu disampaikan ke Ajengan," kata Hadi.
Surat perpisahan itu diketik dan ditandatangani Abdul Halim alias Abdullah Sungkar dan Abu Somad alias Abu Bakar Ba'asyir. Sekitar 20 tahun bergabung di Darul Islam, keduanya keluar dan membentuk Jamaah Islamiyah pada Januari 1995. Abdul Halim menjadi amir dan Abu Somad menjadi wakilnya.
Menurut Solahudin, peneliti Darul Islam, Sungkar dan Ba'asyir masuk Darul Islam pada 1975-1976, setelah direkrut Haji Ismail Pranoto. Setahun sebelumnya, Darul Islam melakukan konsolidasi dan merekrut banyak aktivis muda Islam. Sungkar dan Ba'asyir lari ke Malaysia pada 1985. Di Johor Bahru, mereka mendirikan Pesantren Lukmanul Hakiem. Pengikutnya kebanyakan anggota Darul Jawa Tengah dan Indonesia Timur, tempat Sungkar menjadi komandan.
Hubungan Sungkar dan Ba'asyir di Malaysia semakin luas. Akses ke Timur Tengah pun terbuka. Sejak 1987, Sungkar aktif dalam pengiriman anggota Darul Islam untuk berperang melawan pasukan Uni Soviet di Afganistan. Kegiatan ini melancarkan akses ke aktivis Islam internasional. Sejak 1990, Sungkar menjadi komandan tertinggi Darul Islam dan orang kedua di bawah Ajengan Masduki.
Meski beberapa literatur menyebutkan Jamaah Islamiyah dibentuk pada 1993, menurut Hadi, ketika itu masih berupa gagasan Sungkar dan Ba'asyir. Setahun kemudian, Sungkar mengubah organisasinya menjadi Ring Darul Islam. "Masih dalam keluarga Darul Islam atau Negara Islam Indonesia, tapi sudah berbeda ajaran," katanya.
Ba'asyir berulang kali menyangkal keterlibatannya dengan Jamaah Islamiyah. Dia hanya mengakui berbeda pandangan dengan Ajengan Masduki. "Kami berpendapat Negara Islam itu sudah tak ada, namanya tak perlu disebut-sebut lagi," ujarnya dua pekan lalu usai berceramah di Masjid Iqwanul Qorib, Bandung.
Kendati begitu, Ba'asyir mengakui memiliki hubungan dengan orang-orang Darul Islam dan Negara Islam Indonesia karena kesatuan paham. "Kami kadang-kadang ziarah ke sana. Mereka orang-orang yang perjuangannya lurus," ujarnya.
Pengikut Darul Islam yang bergabung ke Jamaah Islamiyah dibaiat lagi. Sungkar memformalkan struktur organisasi seperti markaziah, mantiqiah, wakalah, dan katibah. Organisasi baru ini dibagi menjadi dua mantiqiah: satu untuk urusan luar negeri, dipimpin Hambali, dan lainnya urusan dalam negeri, dipimpin Anshori alias Ibnu Thoyib atau Abu Fatih.
Mukhlas atau Ali Ghufron, kader yang cemerlang dan baru pulang dari Afganistan, bergabung dengan Hambali. Begitu juga Amrozi, adik Mukhlas. Ketika itu, 2.000 lebih kader telah dikirim ke Afganistan. Sebagian besar dari Jawa Tengah. Hambali pun jadi orang penting. Ia berhubungan dan mendapatkan dana dari Al-Qaidah pimpinan Usamah bin Ladin.
Sebelum Jamaah Islamiyah terbentuk, Darul Islam sudah pecah menjadi tiga. Satu faksi dipimpin Ajengan, satu dipimpin Abdul Fatah Wiranagapati, dan lainnya KW-9 yang dipimpin Abi Karim. Layaknya partai politik, perpecahan dipantik masalah jabatan.
Awalnya pada 1974, ketika Darul Islam memutuskan kembali ke gerakan bersenjata. Daud Beureueh diangkat menjadi imam pertama. Tapi, tahun berikutnya, ia ditangkap dan dibui. Adah Djaelani tampil menggantikan Daud Beureueh.
Pada 1980, Adah juga dijebloskan ke penjara. Ia dianggap terlibat sepak terjang Warman, pemimpin pasukan khusus Darul Islam, yang mencari modal dengan melakukan fai-alias merampok-di berbagai tempat di Jawa Barat. Warman juga membunuh Djaja Sudjadi, pentolan Darul Islam masa Kartosoewirjo yang menolak bergabung dengan gerakan fisabilillah pimpinan Beureueh. Masduki pun mengambil alih pimpinan.
Adah menolak bergabung dengan Ajengan. Ia menganggap pengangkatan imam baru itu tak sesuai dengan prosedur karena tak melalui mekanisme dewan syura. Beberapa pengikut Adah, terutama Abi Karim, yang menguasai KW-9-Jakarta, Bogor, Tangerang, Bekasi, dan Banten-ikut menolak Ajengan.
Begitu juga Abdul Fatah Wiranagapati, yang mengklaim pengikut paling murni Kartosoewirjo. Ia menganggap mereka yang mengklaim diri sebagai pentolan tak berhak lagi menjadi anggota Darul Islam. "Alasannya, para pentolan itu menandatangani perjanjian 1962 yang menyatakan Darul Islam batal," kata Solahudin.
Hingga 2000, ada tujuh kelompok Darul Islam yang masih memegang prinsip fisabilillah, dengan konsep amal, hijrah, dan jihad yang diajarkan Kartosoewirjo. Salah satunya dipimpin Tahmid Rahmat Basuki, putra Kartosoewirjo. Tahmid awalnya bergabung dengan Adah Djaelani. Dia dan pengikutnya marah ketika Adah menggantinya dengan Abu Toto alias Panji Gumilang sebagai kepala staf umum.
Tahmid kemudian menjadi imam hasil pemilihan dewan syura di Cisarua, Jawa Barat. Langkah ini tak memuaskan Gaos Taufik, pentolan Darul Islam Sumatera, yang menganggap lebih pantas menjadi pemimpin. "Gaos merasa lebih senior," kata Solahudin.
Darul Islam pimpinan Tahmid juga tak mulus. Pengikutnya, Akdam alias Jaja, tak puas dengan keputusan Tahmid menyetop pengiriman kader Darul ke Mindanao, Filipina Selatan. Pengiriman kader ini dianggap penting setelah kamp pelatihan Afganistan tak beroperasi lagi.
Pada 1999, setahun setelah Sungkar dan Ba'asyir kembali ke Indonesia, pecah konflik Ambon. Inilah momentum kader Jamaah Islamiyah diterjunkan. Dipimpin Zulkarnaen alias Arif Sunarso, sebagian besar yang dikirim ke Ambon berasal dari Mantiqi Satu. Mantiqi Tiga yang berbasis di Sulawesi pun dibentuk.
Yang berangkat ke Ambon, selain anggota Jamaah Islamiyah, juga anggota Darul Islam yang tadinya masih mengakui kepemimpinan Ajengan. Menurut Solahudin, penolakan terlibat di Ambon membuat DI Ajengan pecah lagi. Yang ingin berjihad disebut DI Akram-diambil dari nama tokohnya. Di Ambon, DI Akram bersatu dengan Jamaah Islamiyah. Dan dalam kamp pelatihan di Mindanao pada 1993-1999, semua kader Darul yang terpecah-pecah bersatu kembali. Mereka seperti melupakan klaim "pengikut Kartosoewirjo paling murni".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.